TOKOH FILSUF RASIONALIS RENE DESCARTES
Disusun untuk memenuhi tugas mandiri mata kuliah Filsafat
Dosen pengampu : Winarsih
Dosen pengampu : Winarsih
Disusun oleh:
Ahmad Muslih
(NPM.141257210)
JURUSAN SYARI`AH DAN EKONOMI ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI JURAI SIWO METRO TAHUN 2014
A. Biografi Rene Descartes
Rene Descartes lahir di
kota La Haye Totiraine, Perancis pada tanggal 31 Maret tahun 1596 M. Waktu mudanya dia sekolah Yesuit, College La Fleche. Begitu
umur dua puluh dia dapat gelar ahli hukum dari Universitas Poitiers walau tidak
pernah mempraktekkan ilmunya samasekali. Meskipun Descartes peroleh pendidikan
baik, tetapi dia yakin betul tak ada ilmu apa pun yang bisa dipercaya tanpa
matematik. Karena itu, bukannya dia meneruskan pendidikan formalnya, melainkan
ambil keputusan kelana keliling Eropa dan melihat dunia dengan mata kepala
sendiri. Berkat dasarnya berasal dari keluarga berada, mungkinlah dia
mengembara kian kemari dengan leluasa dan longgar.
Dari tahun 1616 hingga 1628, Descartes betul-betul
melompat ke sana kemari, dari satu negeri ke negeri lain. Dia masuk tiga dinas
ketentaraan yang berbeda-beda (Belanda, Bavaria dan Honggaria), walaupun
tampaknya dia tidak pernah ikut bertempur samasekali. Dikunjungi pula Italia,
Polandia, Denmark dan negeri-negeri lainnya. Dalam tahun-tahun ini, dia
menghimpun apa saja yang dianggapnya merupakan metode umum untuk menemukan
kebenaran. Ketika umurnya tiga puluh dua tahun, Descartes memutuskan
menggunakan metodenya dalam suatu percobaan membangun gambaran dunia yang
sesungguhnya. Dia lantas menetap di Negeri Belanda dan tinggal di sana selama
tidak kurang dari dua puluh satu tahun. (Dipilihnya Negeri Belanda karena
negeri itu dianggapnya menyediakan kebebasan intelektual yang lebih besar
ketimbang lain-lain negeri, dan karena dia ingin menjauhkan diri dari Paris
yang kehidupan sosialnya tidak memberikan ketenangan cukup).
Sekitar tahun 1629 ditulisnya Rules for the Direction of the Mind buku yang memberikan garis-garis besar metodenya. Tetapi, buku ini tidak komplit dan tampaknya ia tidak berniat menerbitkannya. Diterbitkan untuk pertama kalinya lebih dari lima puluh tahun sesudah Descartes tiada. Dari tahun 1630 sampai 1634, Descartes menggunakan metodenya dalam penelitian ilmiah. Untuk mempelajari lebih mendalam tentang anatomi dan fisiologi, dia melakukan penjajagan secara terpisah-pisah. Dia bergumul dalam bidang-bidang yang berdiri sendiri seperti optik, meteorologi, matematik dan pelbagai cabang ilmu lainnya. Menjadi keinginan Descartes sendiri mempersembahkan hasil-hasil penyelidikan ilmiahnya dalam buku yang disebut Le Monde (Dunia). Tetapi, di tahun 1633, tatkala buku itu hampir rampung, dia dengan penguasa gereja di Italia mengutuk Galileo karena menyokong teori Copernicus bahwa dunia ini sebenarnya bulat, bukannya datar, dan bumi itu berputar mengitari matahari, bukan sebaliknya. Meskipun di Negeri Belanda dia tidak berada di bawah kekuasaan gereja Katolik, toh dia berkeputusan berhati-hati untuk tidak menerbitkan bukunya walau dia pun sebenarnya sepakat dengan teori Copernicus. Sebagai gantinya, di tahun 1637 dia menerbitkan bukunya yang masyhur Discourse on the Method for Properly Guiding the Reason and Finding Truth in the Sciences (biasanya diringkas saja Discourse on Method).
Sekitar tahun 1629 ditulisnya Rules for the Direction of the Mind buku yang memberikan garis-garis besar metodenya. Tetapi, buku ini tidak komplit dan tampaknya ia tidak berniat menerbitkannya. Diterbitkan untuk pertama kalinya lebih dari lima puluh tahun sesudah Descartes tiada. Dari tahun 1630 sampai 1634, Descartes menggunakan metodenya dalam penelitian ilmiah. Untuk mempelajari lebih mendalam tentang anatomi dan fisiologi, dia melakukan penjajagan secara terpisah-pisah. Dia bergumul dalam bidang-bidang yang berdiri sendiri seperti optik, meteorologi, matematik dan pelbagai cabang ilmu lainnya. Menjadi keinginan Descartes sendiri mempersembahkan hasil-hasil penyelidikan ilmiahnya dalam buku yang disebut Le Monde (Dunia). Tetapi, di tahun 1633, tatkala buku itu hampir rampung, dia dengan penguasa gereja di Italia mengutuk Galileo karena menyokong teori Copernicus bahwa dunia ini sebenarnya bulat, bukannya datar, dan bumi itu berputar mengitari matahari, bukan sebaliknya. Meskipun di Negeri Belanda dia tidak berada di bawah kekuasaan gereja Katolik, toh dia berkeputusan berhati-hati untuk tidak menerbitkan bukunya walau dia pun sebenarnya sepakat dengan teori Copernicus. Sebagai gantinya, di tahun 1637 dia menerbitkan bukunya yang masyhur Discourse on the Method for Properly Guiding the Reason and Finding Truth in the Sciences (biasanya diringkas saja Discourse on Method).
Discourse ditulis dalam bahasa Perancis dan bukan Latin
sehingga semua kalangan intelegensia dapat membacanya, termasuk mereka yang tak
peroleh pendidikan klasik. Sebagai tambahan Discourse ada tiga esai. Didalamnya
Descartes menyuguhkan contoh-contoh penemuan-penemuan yang telah dilakukannya
dengan menggunakan metode itu. Tambahan pertamanya Optics, Descartes
menjelaskan hukum pelengkungan cahaya (yang sesungguhnya sudah ditemukan oleh
Willebord Snell). Dia juga mempersoalkan masalah lensa dan pelbagai alat-alat
optik, melukiskan fungsi mata dan pelbagai kelainan-kelainannya serta
menggambarkan teori cahaya yang hakekatnya versi pemula dari teori gelombang
yang belakangan dirumuskan oleh Christiaan Huygens. Tambahan keduanya terdiri
dari perbincangan ihwal meteorologi, Descartes membicarakan soal awan, hujan,
angin, serta penjelasan yang tepat mengenai pelangi. Dia mengeluarkan sanggahan
terhadap pendapat bahwa panas terdiri dari cairan yang tak tampak oleh mata,
dan dengan tepat dia menyimpulkan bahwa panas adalah suatu bentuk dari gerakan
intern. (Tetapi, pendapat ini telah ditemukan lebih dulu oleh Francis Bacon dan
orang-orang lain). Tambahan ketiga Geometri, dia mempersembahkan sumbangan yang
paling penting dari kesemua yang disebut di atas, yaitu penemuannya tentang
geometri analitis. Ini merupakan langkah kemajuan besar di bidang matematika,
dan menyediakan jalan buat Newton menemukan Kalkulus.
Mungkin,
bagian paling menarik dari filosofi Descartes adalah caranya dia memulai
sesuatu. Meneliti sejumlah besar pendapat-pendapat yang keliru yang umumnya
sudah disepakati orang, Descartes berkesimpulan untuk mencari kebenaran sejati
dia mesti mulai melakukan langkah yang polos dan jernih. Untuk itu, dia mulai
dengan cara meragukan apa saja, apa saja yang dikatakan gurunya. Meragukan
kepercayaan meragukan pendapat yang sudah berlaku, meragukan eksistensi alam di
luar dunia, bahkan meragukan eksistensinya sendiri. Pokoknya, meragukan
segala-galanya.
Ini
keruan saja membuat dia menghadapi masalah yang menghadang: apakah mungkin
mengatasi pemecahan atas keraguan yang begitu universal, dan apakah mungkin
menemukan pengetahuan yang bisa dipercaya mengenai segala-galanya? Tetapi,
lewat alasan-alasan metafisika yang cerdik, dia mampu memuaskan dirinya sendiri
bahwa dia sebenarnya "ada" ("Saya berpikir, karena itu saya
ada"), dan Tuhan itu ada serta alam di luar dunia pun ada. Ini merupakan
langkah pertama dari teori Descartes.
Makna
penting teori Descartes punya nilai ganda. Pertama, dia meletakkan pusat sistem
filosofinya persoalan epistomologis yang fundamental, "Apakah
asal-muasalnya pengetahuan manusia itu?" para filosof terdahulu sudah
mencoba melukiskan gambaran dunia. Descartes mengajar kita bahwa pertanyaan
macam itu tidak bisa memberi jawab yang memuaskan kecuali bila dikaitkan dengan
pertanyaan "Bagaimana saya tahu?". Kedua, Descartes menganjurkan kita
harus berangkat bukan dengan kepercayaan, melainkan dengan keraguan. (Ini
merupakan kebalikan sepenuhnya dari sikap St. Augustine, dan umumnya teolog
abad tengah bahwa kepercayaan harus didahulukan). Memang benar Descartes
kemudian meneruskan dan sampai pada kesimpulan teologis yang ortodoks, tetapi
para pembacanya lebih tertarik dan menaruh perhatian lebih besar kepada metode
yang dikembangkannya ketimbang kongklusi yang ditariknya. (Ketakutan gereja
bahwa tulisan-tulisan Descartes akhirnya akan menjadi bahaya, jelas sekali).
Dalam
filosofinya, Descartes menekankan beda nyata antara pikiran dan obyek material,
dan dalam hubungan ini dia membela dualisme. Perbedaan ini telah dibuat
sebelumnya, tetapi tulisan-tulisan Descartes menggalakkan perbincangan
filosofis tentang masalah itu. Permasalahan yang dikemukakannya menarik para
filosof sejak itu dan tetap tak terpecahkan.
Pengaruh besar lain dari konsepsi Descartes adalah
tentang fisik alam semesta. Dia yakin, seluruh alam --kecuali Tuhan dan jiwa
manusia-- bekerja secara mekanis, dan karena itu semua peristiwa alami dapat
dijelaskan secara dan dari sebab-musabab mekanis. Atas dasar ini dia menolak
anggapan-anggapan astrologi, magis dan lain-lain ketahayulan. Berarti, dia pun
menolak semua penjelasan kejadian secara teleologis. (Yakni, dia mencari
sebab-sebab mekanis secara langsung dan menolak anggapan bahwa kejadian itu
terjadi untuk sesuatu tujuan final yang jauh). Dari pandangan Descartes semua
makhluk pada hakekatnya merupakan mesin yang ruwet, dan tubuh manusia pun
tunduk pada hukum mekanis yang biasa. Pendapat ini sejak saat itu menjadi salah
satu ide fundamental fisiologi modern.
Descartes menggandrungi penyelidikan ilmiah dan dia
percaya bahwa penggunaan praktisnya dapat bermanfaat bagi masyarakat. Dia
pikir, para ilmuwan harus menjauhi pendapat-pendapat yang semu dan harus
berusaha menjabarkan dunia secara matematis. Semua ini kedengarannya modern.
Tetapi, Descartes, melalui pengamatannya sendiri tak pernah bersungguh-sungguh
menekankan arti penting ruwetnya percobaan-percobaan metode ilmiah.
Filosof Inggris yang masyhur, Francis Bacon, telah menyatakan perlunya penyelidikan ilmiah dan keuntungan yang bisa diharapkan dari sana beberapa tahun sebelum Descartes. Dan argumen yang terkenal Descartes yang berbunyi "saya berfikir, karena itu saya ada," bukanlah pendapatnya yang orisinal. Itu sudah pernah dikemukakan lebih dari 1200 tahun sebelumnya (walau dalam kalimat yang berbeda tentu saja) oleh St. Augustine. Hal serupa juga mengenai "pembuktian" Descartes tentang adanya Tuhan hanyalah variasi dari pendapat ontologis yang pertama kali diucapkan oleh St. Anselm (1033-1109).
Filosof Inggris yang masyhur, Francis Bacon, telah menyatakan perlunya penyelidikan ilmiah dan keuntungan yang bisa diharapkan dari sana beberapa tahun sebelum Descartes. Dan argumen yang terkenal Descartes yang berbunyi "saya berfikir, karena itu saya ada," bukanlah pendapatnya yang orisinal. Itu sudah pernah dikemukakan lebih dari 1200 tahun sebelumnya (walau dalam kalimat yang berbeda tentu saja) oleh St. Augustine. Hal serupa juga mengenai "pembuktian" Descartes tentang adanya Tuhan hanyalah variasi dari pendapat ontologis yang pertama kali diucapkan oleh St. Anselm (1033-1109).
Di tahun 1641 Descartes menerbitkan bukunya yang masyhur
Meditations. Dan bukunya Principles of philosophy muncul tahun 1644. Ke dua
buku itu aslinya ditulis dalam bahasa Latin dan terjemahan Perancisnya terbit
tahun 1647. Meskipun Descartes seorang penulis yang lincah dengan gaya prosanya
yang manis, nada tulisannya terasa kuno. Betul-betul dia tampak (mungkin akibat
pendekatannya yang rasional, dia seperti cendikiawan abad tengah. Sebaliknya
Francis Bacon, walau dilahirkan tiga puluh lima tahun sebelum Descartes, nada tulisannya
modern).
Tergambar jelas dalam tulisan-tulisannya, Descartes
seorang yang teguh kepercayaannya tentang adanya Tuhan. Dia menganggap dirinya
seorang Katolik yang patuh; tetapi gereja Katolik tidak menyukai
pandangan-pandangannya, dan hasil karyanya digolongkan ke dalam
"index" buku-buku yang terlarang dibaca. Bahkan di kalangan Protestan
Negeri Belanda (waktu itu mungkin negeri yang paling toleran di Eropa),
Descartes dituduh seorang atheist dan menghadapi kesulitan dengan penguasa.
Tahun 1649 Descartes menerima tawaran bantuan keuangan
yang lumayan dari Ratu Christina, Swedia, agar datang ke negerinya dan menjadi
guru pribadinya. Descartes amat kecewa ketika dia tahu sang Ratu ingin diajar
pada jam lima pagi! Dia khawatir udara pagi yang dingin bisa membikinnya mati.
Dan ternyata betul: dia kena pneumonia, meninggal bulan Februari 1650, cuma
empat bulan sesudah sampai di Swedia.Descartes tak pernah kawin, tetapi punya
seorang anak perempuan yang sayang mati muda.
Filosofi Descartes dikritik pedas oleh banyak filosof
sejamannya, sebagian karena mereka anggap filosofi itu menggunakan alasan yang
berputar-putar. Sebagian lagi menunjukkan kekurangan-kekurangan dalam
sistemnya. Dan sedikit sekali orang saat ini yang membelanya dengan sepenuh
hati. Tetapi, arti penting seorang filosof tidaklah terletak pada kebenaran
sistemnya; melainkan pada apakah penting tidaknya ide-idenya, atau apakah
ide-idenya ditiru orang dan berpengaruh luas. Dari ukuran ini, sedikitlah
keraguan bahwa Descartes memang seorang tokoh yang penting.
B. Pokok-pokok
Pemikiran Rene Descartes
a. Teori Utama Rene Decartes
Menurut
Rene Descartes, dia merasa akan dapat berpikir lebih luas bilamana ia berpikir
berdasarkan metode yang rasionalistis untuk menganalisis gejala alam. Dengan pemikiran
yang rasionalistis itu, orang mampu menghasilkan ilmu-ilmu pengetahuan yang
berguna seperti ilmu dan teknologi.
Kebenaran
adalah pernyataan tanpa ragu, baik logika deduktif maupun logika induktif,
dalam proses penalarannya, mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan
yang dianggapnya benar. Kenyataan ini membawa kita kepada pertanyaan; bagaimana
kita mendapatkan pengetahuan yang benar tersebut. Pada dasarnya terdapat dua
cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Pertama
adalah mendasarkan diri kepada rasio. Kedua mendasarkan diri kepada pengalaman.
Kaum
rasionalis mendasarkan diri kepada rasio dan kaum empirisme mendasarkan diri
kepada pengalaman. Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun
pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang
dianggapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan
pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia
memikirkannya. Paham ini dikenal dengan nama idealisme. Fungsi pikiran manusia
hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip
itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui manusia lewat
kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip justru
sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran
rasionil itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam
alam sekitar kita. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum
rasionalis adalah bersifat apriori dan pengalaman yang didapatkan manusia lewat
penalaran rasional.
Descartes
meneliti suatu metode berpikir yang umum yang akan memberikan pertalian dan
pengetahuan dan menuju kebenaran dalam ilmu-ilmu. Penelitian itu mengantarnya
ke matematika, yang ia simpulkan sebagai sarana pengembangan kebenaran di
segala bidang. Karya matematikanya yang paling berpengaruh ialah La Geometrie,
yang diterbitkan pada tahun 1637. Pengembangan kalkulus tidak mungkin tercapai
tanpa dia.
Ada
lima ide Descartes yang punya pengaruh penting terhadap jalan pikiran Eropa:
1. Pandangan mekanisnya mengenai alam semesta.
2. Sikapnya yang positif terhadap penjajagan
ilmiah.
3. Tekanan yang diletakkannya pada penggunaan
matematika dalam ilmu pengetahuan.
4. Pembelaannya terhadap dasar awal sikap
skeptic.
5. Penitik pusatan perhatian terhadap
epistemology.
b. Teori tentang etika Descartes.
Rene
Descartes merupakan salah satu filsuf yang tidak memfokuskan diri pada etika,
dia cenderung mendasarkan pemikirannya pada hal yang berbau epistemologi dan
metafisika, mungkin hal ini terpengaruh oleh latar belakang pemikiran Descartes
yang bersifat rasionalis atau cenderung berpikir kepada sesuatu hal yang dapat
dibuktikan untuk memperoleh sebuah kebenaran, sehingga inilah yang diduga oleh
beberapa orang sebagai kelemahan dari filsafat Descartes yang justru
mengesampingkan filsafat moral dan politik. Di dalam bukunya yang berjudul
Discourse on the Method and Meditations on First Philosophy, Descartes
menjelaskan tentang pandangan etikanya, tetapi tidak menjelaskan dimana
posisinya, apa yang dia percayai secara detail. Meskipun Descartes tidak
membahas terlalu luas etika di dalam filsafatnya, tetapi dalam
tulisan-tulisannya Descartes menyatakan tujuan dari filsafat adalah untuk
merealisasikan hidup yang bahagia, dimana manusia dapat menikmati suatu
kebahagian yang sudah dapat dicapainya dalam hidup. “For Descartes, ethics is
the science of the end of man, and this end must be determined by reason” (The
Philosophy of René Descartes – 2, 2002). Dengan kata lain akhir hidup manusia
dapat ditinjau oleh rasio manusia. Jika manusia ingin mendapatkan kehidupan yang
tenang dan bahagia di akhir hidupnya, maka dia juga harus melakukan sesuatu
yang benar. Hal ini dijelaskan dalam bukunya yang berjudul Rules for the
Direction of the Mind, dia mengatakan : “The aim of our studies should be to
direct the mind with a view to forming true and sound judgements about whatever
comes before it” (Descartes’ Ethics, 2008) . Ini berarti dia mendorong setiap
orang untuk menganalisis segala sesuatu dengan menggunakan “view” yang
dikendalikan oleh perasaan bahwa sesuatu itu baik untuk dilakukan yang artinya
memang ada yang namanya “kebenaran universal” itu.
c. Cogito ergo sum.
Segala
sesuatu perlu dipelajari, tetapi diperluakn metode yang tepat untuk
mempelajarinya. Rene Descartes pun berfikir demikian, ia mengatakan bahwa
mempelari filsafat membutuhkan metode tersendiri agr hasilnya benar- benar
logis. Ia sendiri mendapatkan metode yang di carinya itu, yaitu dengan
menyaksikan segala-galanya atau menerapkan metode keragu-raguan, artinya
kesangsian keradu-raguan ini harus meliputi seluruh pengetahuan yang dimiliki,
termasuk juga kebenaran-kebenaran yang sampai saat ini di anggap sudah final
atau pasti. Misalnya, bahwa ada suatu dunia material bahwa saya mempunyai
tubuh, kalau terdapat suatu kebenaran yang tahan dalam kesangsian yang radikal
itulah kebenaran yang sama sekali pasti dan harus dijadikan dasar bagi seluruh
ilmu pengetahuan.cogito ergo sum : saya sedang menyaksikan, ada. Cogito ergo
sum ini berasal dari kata latin ini berarti: “saya berfikir, jadi saya ada”.
Akan tetapi, yang dimaksud Rene Descartes dengan berfikir disini ialah
menyadari. Jika saya sangsikan, saya menyadari bahwa saya sangsikan. Kesangsian
secara langsung menyatakan adanya saya dalam filsafat modern, kata”cogito”
seringkali digunakan dalam arti kesadaran. Cogito ergo sum itulah menurut Rene
Descartes suatu kebenara yang tidak dapat di sangkal, betapapun besar usahaku.
Mengapa kebenaran ini bersifat pasti? Karena saya mengerti itu dengan jelas dan
terpilah-pilah (clearly and distinctly). Jadi hanya yang saya mengerti dengan
jelas dan terpilah pilah saja yang harus diterima sebagai benar. itulah norma
untuk menetukan kebenaran.[1]
Menurut
Descartes, satu-satunya hal yang tidak dapat diragukan adalah eksistensi
dirinya sendiri; dia tidak meragukan lagi bahwa dia sedang ragu-ragu. Bahkan
jika kemudian dia disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada; dia berdalih bahwa
penyesatan itu pun merupakan bukti bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan.
Aku yang ragu-ragu adalah kenyataan yang tidak dapat disangkal karena apabila kita
menyangkalnya berarti kita melakukan apa yang disebut kontradiksi performatis.
Dengan kata lain, kesangsian secara langsung menyatakan adanya aku, pikiranku
yang kebenarannya bersifat pasti dan tidak tergoyahkan. Kebenaran tersebut
bersifat pasti karena aku mengerti itu secara jernih dan terpilah-pilah atau
dengan kata lain tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Kristalisasi dari
kepastian Descartes diekspresikan dengan diktumnya yang cukup terkenal,
“cogito, ergo sum”, aku berpikir maka aku ada.
Cogito
Ergo Sum atau yang lebih dikenal dengan “aku berfikir maka aku ada” merupakan
sebuah pemikiran yang ia hasilkan melalui sebuah meditasi keraguan yang mana
pada awalnya Descartes digelisahkan oleh ketidakpastian pemikiran Skolastik
dalam menghadapi hasil-hasil ilmu positif renaissance. Oleh karena itu untuk
memperoleh kebenaran pasti Descartes memepunyai metode sendiri. Itu terjadi
karena Descartes berpendapat bahwa dalam mempelajari filsafat diperlukan metode
tersendiri agar hasil-hasilnya benar-benar logis. Ini merupakan inti dari teori
pengetahuan Rene Descartes dan memuat hal terpenting dalam filsfatnya.
Kebanyakan filsof sejak Descartes memandang penting teori pengetahuan ini, dan
sikap mereka ini disebabkan oleh Rene Descartes. “Aku befikir maka aku ada”
membuat pikiran lebih penting dari pada materi, dan pikiran saya (bagi saya
sendiri) lebih pasti daripada pikiran-pikiran orang lain. Makanya semua
filsafat yang diturunkan dari Rene Descartes cenderung pada subjektivime dan
cenderung untuk menganggap materi sebagai sesuatu hanya bisa diketahui dengan
cara menarik kesimpulan dari apa yang diketahui pikiran. Dua kecenderungan ini
ada dalam idealisme continental dan empirisme Inggris –berjaya pada yang
pertama dan di sesali pada yang kedua.[2]
Pada
waktu belakangan ini, telah ada upaya untuk menjauh darisubjektivisme tersebut
melalui filsafat yang disebut instumentalisme, filsafat modern telah banyak
sekali menerima perumusan masalah-masalahnya dari Descartes, tetapi tidak
menerima solusi-solusinya.
Setelah
meletakkan sebuah dasar yang kuat, Descartes mulai mendirikan kembali sebuah
bangunan ilmu pengetahuan. “Aku” yang terbukti ada disimpulkan dari fakta yang
aku pikirkan, maka aku ada ketika aku berfikir, dan hanya saat itu. Jika aku
berhenti berfikir, tidak ada bukti tentang eksistensiku. Aku adalah sesuatu
yang berfikir, sebuah zat yang seluruh sifat atau esensinya berupa pikiran.
Karenanya, jiwa seluruhnya berbeda dari tubuh dan lebih mudah mengetahui
daripada tubuh, sehingga seolah-olah tidak ada tubuh.
Selanjutnya
Descartes bertanya pada diri sendiri: mengapa cogito begitu nyata? Dia
menjawabnya sendiri bahwa ini hanya disebabkan oleh cogito itu jelas dan nyata.
Kemudian kemudian dia mengadopsi prinsip berikut sebagai aturan umun : Semuanya
yang aku pahami secara sangat jelas dan nyata adalah benar. Namun dia mengakui
bahwa kadang-kadang ada kesulitan dalam memahami hal-hal mana yang sebenarnya.
Konsep
“berfikir” digunakan Descartes dalam pengertian yang sangat luas. Sesuatu yang
berpikir, menurutnya, adalah sesuatu yang meragukan , memahami, menegaskan,
menolak, berkehendak, membayangkan, dan merasakan –karena perasaan, ketika
muncul dalam mimpi, adalah sebuah bentuk berpikir. Karena berpikir adalah
esensi dari pikiran, pikiran pasti selalu berpikir, bahkan ketika sedang
tertidur nyenyak.[3]
d. Ide terang benderang.
Cagito
Ergo Sum, inilah sebuah metode yang dihasilkan oleh Descartes dengan menjunjung
tinggi suatu keraguan untuk mengungkap sebuah kebenaran. Ia menyatakan bahwa
ketika seseorang bermimpi, dia pun akan mengalami hal yang sama ketika ia dalam
keadaan terjaga dari tidurnya (seolah-olah nyata). Jelaslah dalam hal ini,
antara bermimpi dengan apa yang dilakukan dikehidupan nyata tidak ada batasan
yang jelas dan tegas. Dari hal semacam inilah keraguan Descartes muncul. Dia
pun meragukan atas keberadaan dirinya, akan tetapi satu hal yang ia tidak dapat
ragukan adalah rasa ragu itu sendiri. Inilah yang menjadi basis filsafat
Descartes, yaitu saya ragu maka saya berfikir dan saya berfikir adalah ada.
Selain Cagito Ergo Sum (aku berfikir, maka aku ada), karya yang terkenal dari
Descartes lainnya adalah Discourse de la Methode dan Meditationes de prima
philosophia.
Descartes
membedakan adanya tiga ide dalam diri manusia, antara lain:
1. Innate ideas adalah ide atau pemikiran
bawaan sejak manusia tersebut dilahirkan.
2. Adventitious idea adalah ide yang berasal
dari luar diri manusia.
3. Factitious idea adalah ide yang dilahirkan
oleh fikiran itu sendiri. (Surajiyo.2008:33).
Dengan
metode Descartes itulah akhirnya memunculkan kembali bahwa segala sesuatu
haruslah dipecahkan dengan rasio (rasionalisme). Melalui pembuktian, logika dan
analisis berdasarkan fakta-fakta, dari pada melalui dogma, iman maupun ajaran
agama. Dengan kata lain, semua permasalahan dapat dilihat dari sudut pandang
realistis, bukan dari sebuah kepercayaan ato takhayul. Dari sinilah Descartes
memulai era Renaissance dimana akal lebih berpotensi digunakan dari pada hati.
Hal itu sama halnya seperti era keemasan Yunani kuno yang sangat mendewakan
akal sebelum pengaruh gereja di abad pertengahan muncul.
Keragu-raguan
Descartes hanyalah sebuah metode, sesungguhnya ia bukan ragu-ragu seperti
skepsis. Ia ragu-ragu bukan untuk ragu-ragu, melainkan untuk mencapai
kepastian. Dan tercapailah kepastian itu menurut dia. Kepastian yang terdapat
pada kesadaran inilah yang dipakai menjadi pangkal pikiran dan filsafatnya.
Karena kesadaran ini, nampaklah rasio yang menentukan pangkal untuk bertindak
seterusnya dan mengadakan sistem filsafat. Hanya rasio yang dapat membawa orang
kepada kebenaran. Rasio pulalah yang dapat memberikan pimpinan dalam segala
pikiran. Adapun yangbenar itu hanya tindakan yang terang-benderang yang disebut
dengan idees claires et distinctes. Yang dapat diutarakan dengan ide
yang demikian itu tidak masuk ke dalam wilayah filsafat. Akan tetapi apa dan siapa
yang menjamin, bahwa ide terang-benderang itu benar? Yang menjadi jaminan ialah
Tuhan sendiri. Ide yang terang-benderang ini pemberian Tuhan sebelum orang
dilahirkan. Ide itu disebutnya ideae innatae (ide bawaan). Karena itu
haruslah ide itu benar, karena pemberian yang maha benar. Jadi menurut
Descartes itu bukanlah hasil pengabstrakan yang diambil dari yang kongkrit,
melainkan sudah dimiliki orang orang waktu dilahirkan. Ide terang-benderang itu
bekal hidup, hadiah dari kebenaran sejati. Tuhan yang sungguh-sungguh ada tak
membiarkan ide-ide itu akan tak benar, sebab tak mungkin juga Tuhan memberi
pedoman yang salah.
Oleh
karena itu, menurut Descartes rasiolah yang menjadi sumber dan pangkal dari
segala pengertian dan budilah yang memegang pimpinan dalam segala pengertian.
Pikiranlah yang menjadi landasan filsafat, dengan begitu filsafat berpangkal
pada kebenaran yang fundamental dan asasi. Itu sebabnya mengapa aliran ini
disebut rasionalisme. Kedaulatan rasio diakui sepenuhnya bahkan
dilebih-lebihkan oleh Descartes dengan mengabaikan nilai pengetahuan indera,
yang menurutnya kerap kali menyesatkan manusia.
Ide-ide
menurut Descartes dibedakan menjadi tiga:
1. ide-ide yang dibawa sejak lahir,
2. ide-ide yang asing dan berasal dari luar,
3. ide-ide yang aku ciptakan.
Ide jenis kedua yang biasanya kita anggap,
seperti objek-objek luar. Kita menduganya demikian, sebagian karena alam
mengajarkan kita untuk berfikir demikian, sebagian lagi karena ide-ide semacam
itu secara independen berasal dari kehendak (yakni melalui perasaan), dan
karena itu beralasan jika aku beranggapan bawha sesuatu yang asing menanamkan
keserupaannya pada diriku. Tetapi apakan penjelasan ini benar? Ketika aku
mengatakan “di ajari oleh alam” dalam kontek ini, maksudku hanyalah bahwa aku mempunyai
suatu kecenderungan untuk memprcayainya, bukannya aku melihatnya dengan
sebuah cahaya alami. Apa yang telah terlihat oleh cahaya alami tidak bisa
ditolak, tetapi hanyalah sebuah kecenderungan yang bisa mengarah pada
kesalahan. Mengenai ide-ide yang diperoleh dari indera secara tidak sengaja
meskipun berasal dari dalam. Alasan-alasan untuk menduga bahwa ide-ide dari
indera berasal dari luar makanya tidak meyakinkan.
Selain
itu, kadangkala ada dua ide berada tentang objek eksternal yang sama, yakni
matahari yang ditangkap oleh indera dan matahari yang di percaya oleh para ahli
astronomi. Kedua ide ini tidak sama dengan matahari, dan akal menunjukkan bahwa
ide langsung berasal dari pengalaman pasti kurang menyerupai matahari menurut
kedua ide tersebut.[4]
e. Substansi.
Descartes
menerima 3 realitas atau subtansi bawaan yang sudah ada sejak kita lahir, yaitu
(1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan(res extensa,
“extention”) atau materi, dan (3) tuhan (sebagai wujud yang seluruhnya sempurna,
penyebab sempurna dari kudua realitas itu). Pikiran sesungguhnya adalah
kesadaran, tidak menambil ruang dan tak dapat di bagi-bagi menjadi bagian yang
lebih kecil. Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi,
dan tak memiliki kesadaran. Kedua subtansi berasal dari tuhan, sebab hanya
Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung apa pun. Descartes adalah seorang
dualis, yang menerapkan pembagian tegas antara realitas pikiran dan realitas
yang meluas. Manusia memiliki realitas keduanya sedangkan binatang hanya
memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan sebagaimana binatang, dan
memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat, bekerja
mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna karena dari pikirannya
ia memiliki kecerdasan.[5]
Descartes
menyimpulkan bahwa selain Tuhan, ada dua subtansi: Pertama, jiwa yang
hakikatnya adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatnya adalah keluasan.
Akan tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar aku, ia
mengalami banyak kesulitan untuk memebuktikan keberadaannya. Bagi Descartes,
satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia materiil ialah bahwa Tuhan akan
menipu saya kalau sekiranya ia memberi saya ide keluasan, sedangkan di luar
tidak ada sesuatu pun yang sesuai dengannya. Dengan dmikian, keberadaan yang
sempurna yang ada di luar saya tidak akan menemui saya, artinya ada dunia
materiil lain yang keberadaannya tidak diragukan, bahkan sempurna. (Juhaya S.
Pradja, 2000 : 67).
Berbeda
dengan para rasionalis-ateis seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert,
Descartes masih memberi tempat bagi Tuhan. Descartes masih dalam koridor
semangat skolastik yaitu penyelarasan iman dan akal. Descartes mempertanyakan
bagaimana ide tentang Tuhan sebagai tak terbatas dapat dihasilkan oleh manusia
yang terbatas. Jawabannya jelas. Tuhanlah yang meletakkan ide tentang-Nya di
benak manusia karena kalau tidak keberadaan ide tersebut tidak bisa dijelaskan.[6]
Descartes
merupakan bagian dari kaum rasionalis yang tidak ingin menafikan Tuhan begitu
saja sebagai konsekuensi pemikiran mereka. Kaum rasionalis pada umumnya
“menyelamatkan” ide tentang keberadaan Tuhan dengan berasumsi bahwa Tuhanlah
yang menciptakan akal kita juga Tuhan yang menciptakan dunia. Tuhan menurut
kaum rasionalis adalah seorang “Matematikawan Agung”. Matematikawan agung
tersebut dalam menciptakan dunia ini meletakkan dasardasar rasional, ratio,
berupa struktur matematis yang wajib ditemukan oleh akal pikiran manusia itu
sendiri.
f. Konsep tentang nature Manusia.
Descartes
memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua substansi:
jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Sebenarnya,
tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap
substansi yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, sudah nyata
bahwa Descartes menganut suatu dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya,
Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa
dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia mengatakan bahwa kontak
antara tubuh dan jiwa berlangsung dalam grandula pinealis ( sebuah kelenjar
kecil yang letaknya di bawah otak kecil). Akan tetapi, akhirnya pemecahn ini
tidak memadai bagi Descartes sendiri. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 67).
Rene
Descartes merupakan seorang filsuf rasionalis. Oleh sebab itu, semua hal yang
dapat dipikirkan dan dianggap benar oleh filsuf ini berada dalam ranah
rasional. Ketika sesuatu berada diluar rasional dan tidak dapat diinderai, maka
hal itu tidaklah benar-benar ada. Indera dan pikiran menjadi indikator untuk
mengukur kebenaran suatu hal. Rene Descartes mengemukakan ide tentang
soul-body, melahirkan Cartesian dualism yang sangat populer dan digunakan oleh
para filsuf lainnya juga :
1. Soul (dinyatakan dalam mind): sebuah
entitas yang berbeda dan terpisah dari body, lebih mudah
dipahami oleh manusia karena ada proses self reflection/self awareness yang
diasumsikan inherent pada manusia.
2. Body : entitas fisik pada manusia yang
tunduk pada prinsip mekanisme fisiologis, sama seperti yang terjadi pada hewan.
Namun pada manusia, aktivitas fisik tunduk pada perintah mind.[7]
Dengan demikian faktor mind-lah (kemampuan
untuk self-reflection) yang membedakan manusia dari binatang dan menjadikannya
makhluk yang secara intelektual lebih unggul.
Menurut
Descartes, satu-satunya hal yang tidak dapat diragukan adalah eksistensi
dirinya sendiri; dia tidak meragukan lagi bahwa dia sedang ragu-ragu. Bahkan
jika kemudian dia disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada; dia berdalih bahwa
penyesatan itu pun merupakan bukti bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan.
Aku yang ragu-ragu adalah kenyataan yang tidak dapat disangkal karena apabila
kita menyangkalnya berarti kita melakukan apa yang disebut kontradiksi
performatis. Dengan kata lain, kesangsian secara langsung menyatakan adanya
aku, pikiranku yang kebenarannya bersifat pasti dan tidak tergoyahkan.
Kebenaran tersebut bersifat pasti karena aku mengerti itu secara jernih dan
terpilah-pilah atau dengan kata lain tidak ada keraguan sedikit pun di
dalamnya. Kristalisasi dari kepastian Descartes diekspresikan dengan diktumnya
yang cukup terkenal, cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada.
Dari
pernyataan Descartes di atas, sangat jelas bahwa Descartes selalu berupaya
mencari kebenaran yang rasionalis dan sistematis, tidak mau dengan hanya
sekedar yakin. Lalu dia memulai filsafatnya dengan terlebih dahulu meragukan
segala sesuatu. Segala sesuatu diawali dengan rasio, karena iman ragu-ragu.
Gejala-gejala atau kejadian apapun yang nampak semua diragukannya, karena ia
tidak memercayai semua yang dapat ditangkap oleh inderawi. Apapun yang
dipikirkan, itulah yang dia anggap benar. Descartes meragukan segala sesuatu,
bahkan eksistensinya sekalipun. Dia meragukan apakah yang sedang dilakukan
adalah benar-benar sedang dilakukan atau hanya halusinasinya saja. Dia
meragukan apakah yang dilihat itu benar seperti apa yang dilihat atau hanya
interpretasi semu saja yang pada kenyataannya tidaklah demikian. Pada intinya,
keruguan dan keraguan sajalah yang selalu timbul. Hingga akhirnya untuk menepis
keragu-raguan akan keberadaannya sendiri ia mengemukakan teorinya “I think
therefore I am”. Ia berpikir ini merupakan suatu jawaban baginya. Sekarang
timbul pertanyaan, bagaimana ia bisa yakin bahwa yang ia pikirkan itu benar?
Mengapa ia tidak meragukan teori “I think therefore I am” yang ia kemukakan
sebagai jawaban dari keragu-raguannya. Jika memang semua harus diragukan, maka
ia juga perlu meragukan kebenaran dari teorinya tersebut.
C. Analisa terhadap Rene
Descartes
a. Pujian atau dukungan terhadap Rene
Descartes
Bertrand
Russell dalam bukunya Sejarah Filsafat Barat mengatakan bahwasannya Descartes
pantas menyandang gelar The Founder of Modern Philosophy atau Bapak Filsafat
Modern. Gelar itu diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada
zaman modern yang membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri
yang dihasilkan oleh pengetahuan rasional. Dialah orang pertama pada akhir abad
pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat yang dictinct, yang
menyimpulkan bahwa dasar filsafat adalah akal, bukan perasaan, bukan iman,
bukan ayat, serta bukan yang lainnya.
Bertnand
Russell juga mengatakan bahwa Descartes adalah orang pertama yang memiliki
kapasitas filosofis tinggi dan sangat dipengaruhi oleh fisika dan astronomi
baru. Ada sebuah kesegaran dalam pemikirannya yang tidak ditemukan dalam
pemikiran filsuf ternama sebelumnya semenjak Plato. Wataknya baik dan tidak
suka menonjolkan keilmuannya, layaknya orang-orang pintar di dunia, bukannya
seperti seorang murid. Wataknya ini luar biasa sempurna. Sangat beruntunglah
filsafat modern karena pionirnya mempunyai cita rasa sastra yang mengagumkan.
Pengaruh
keimanan yang begitu kuat pada abad pertengahan, yang tergambar dalam ungkapan
credo ut intelligam dari Anselmus itu, telah membuat para pemikir takut
mengemukakan pemikiran yang berbeda dari pendapat tokoh gereja. Apakah ada
filsuf yang mampu dan berani menyelamatkan filsafat yang dicengkram oleh iman
abad pertengahan itu? Tokoh itu adalah Rene Descartes.
b. Kritik terhadap Rene Descartes
Penganut
empirisme begitu kecewa dengan rasionalisme, karena telah menghinakan
empirisme, sementara rasionalisme meyakini bahwa kebenaran itu berpusat pada
kepastian tentang pikiran diri sendiri, sementara salah satu diri sendiri
adalah fungsi-fungdi indrawi,yang berhubungan juga dengan empirisme. Dalam
kasus ini, Immanuel Kant mengkritik habis-habisan, karena semuanya menunjukkan
bahwa rasionalisme murni berpijak atas dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang
goyah sehingga Cogito ergo sum tidak lagi dianggap titik tolak yang memadai.
c. Analisa penulis terhadap Rene Descartes
Rene
Descartes menurut penulis, merupakan seorang filsuf zaman modern yang
memberikan trobosan, alternatif, dan logika baru dalam bidang filsafat.
Descartes telah berhasil memberikan fondasi kepastian bagi pengembangan ilmu
pengetahuan, sebuah dasar yang belum pernah ditemukan oleh para pendahulunya.
Salah satunya yaitu bahwa filsafat pada masa lampau teerlalu mudah memasukkan penalaran
yang bisa-jadi-benar (belum tentu benar) ke dalam khazanah penalaran yang
sebenarnya dikhususkan bagi penalaran yang pasti. Oleh karena itu Descartes
menyatakan aturan umum dalam logika dalam bukunya Discourse bahwasanya tidak
boleh menerima hal apa saja sebagai hal yang benar jika tidak mempunyai
pengetahuan yang jelas mengenai kebenarannya.
Oleh
karena itu semua, penulis mengatakan bahwa Descartes pantas menyandang gelar
The Founder of the Modern Philosophy karena dialah pencetus rasionalisme yang
lebih mengunakan akal yang mana sebelumnya mereka masih takut akan dogma-dogma
gereja.
DAFTAR PUSTAKA
Atang Abdul Hakim dan
Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum; dari Metodologi sampai Teofilosofi. . 2008.
Bandung: Pustaka Setia.
Bertebs , K. ,.
Ringkasan Sejarah Filsafat, 1975. Yogyakarta: Kanisius.
Bakker, Anton.,
Metode-Metode Filsafat. 1986. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sudarsono. Ilmu
Filsafat; suatu pengantar. 2008. Jakarta: Rineka Cipta.
Zubaedi. Filsafat
Barat; Dari logika baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Khun.
2010. Yogyakarta: Arruzz Media.
Russell, Bertnand.
Sejarah Filsafat Barat. 2002. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tafsir, Ahmad. Filsafat
Umum.1990. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ali Maksum, Pengantar
Filsafat,
http//www.marxist.org.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar