TEORI KONSUMSI ISLAM DAN TEORI PERMINTAAN ISLAM
Disusun
untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ekonomi Mikro dan Makro Islam
Dosen pengampu : Dharma Setiawan, MA
Dosen pengampu : Dharma Setiawan, MA
Oleh :
Ahmad Muslih (141257210)
JURUSAN SYARI`AH DAN EKONOMI ISLAM PRODI S1 PERBANKAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JURAI SIWO METRO TAHUN 2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala
limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat
sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam proses belajar Ekonomi Mikro dan
Makro Islam.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata
kuliah Ekonomi Mikro dan Makro Islam di
program studi S1 perbankan syariah di STAIN Jurai Siwo Metro. Harapan kami
semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui
masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh
kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan
yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Metro, 25 September 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Teori Konsumsi Islam
1. Pengertian dan Prinsip Konsumsi Islam
2. Perilaku Konsumen Islam
3. Konsumsi Intertemporal
4. Hubungan Terbalik Riba dan Infak
5. Hubungan Saving dan Final Spending
B. Teori Permintaan Islam
1. Pengertian dan Hukum Permintaan
2. Teori Permintaan Menurut Islam
3. Permintaan Barang Halal Dalam Pilihan Halal Haram
4. Keadan Darurat Tidak Optimal
5. Permintaan Barang Haram Dalam Keadaan Darurat
6. Hal Yang Mempengaruhi Permintaan Suatu Barang
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Konsumsi adalah kegiatan ekonomi yang penting, bahkan terkadang
dianggap paling penting. Dalam ekonomi konvesional perilaku konsumsi dituntun
oleh dua nilai dasar, yaitu rasionalisme dan utilitarianisme. Kedua nilai dasar
ini kemudian membentuk suatu perilaku konsumsi yang hedonistic materialistik
serta boros. Karena rasionalisme ekonomi konvensional adalah self-interst,
perilaku konsumsinya juga cenderung individualistik sehingga seringkali
mengabaikan keseimbangan dan keharmonisan sosial. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa prinsip dasar bagi konsumsi adalah “saya akan mengkonsumsi apa
saja dan dalam jumlah berapapun sepanjang: (1) anggaran saya memadai, (2) saya
memperoleh kepuasan yang maksimum”. Apakah perilaku konsumsi yang seperti ini
dapat dibenarkan oleh ajaran Islam?
Dalam teori
ekonomi mikro, dikenal teori permintaan. Teori permintaan berusaha menjelaskan
sifat permintaan para pembeli terhadap suatu barang. Konsumen akan melakukan
pilihan terhadap semua barang yang diinginkan berdasarkan rupiah yang
dimilikinya. Suatu rumah tangga setiap bulannya akan membutuhkan berbagai macam
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan penghasilan yang
dimiliki terbatas jumlahnya. Dengan penghasilan yang terbatas tersebut, rumah
tangga sebagai pelaku ekonomi yang rasional akan melakukan pilihan yang terbaik
untuk mengonsumsi barang-barang kebutuhannya. Tentu saja pilihan akan dilakukan
terhadap barang yang memberikan manfaat atau kepuasan yang paling tinggi.
Semakin banyak barang yang dimliki, konsumen akan merasa semakin terpenuhi
kebutuhannya. Dengan demikian konsumen menginginkan membeli barang yang
dibutuhkan serendah mungkin. Pandangan ekonomi Islam mengenai permintaan
relatif sama dengan ekonomi konvensional, namun terdapat batasan-batasan dari
individu untuk berperilaku ekonomi yang sesuai dengan aturan syariah. Dalam
ekonomi Islam, norma dan moral Islam yang merupakan prinsip Islam dalam
melakukan kegiatan ekonomi, merupakan faktor yang menentukan suatu individu
maupun masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonominya sehingga teori ekonomi
yang terjadi menjadi berbeda dengan teori pada ekonomi konvensional.
B.
Rumusan Masalah
Berdasar pada latar belakang yang
penulis paparkan di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut
1.
Apakah
yang dimaksud dengan konsumsi?
2.
Bagaimanakah prinsip-prinsip konsumsi dalam konteks Islam?
3.
Bagaimana
tentang pengertian, hukum dan teori permintaan?
4.
Bagaimanakah
teori permintaan dalam pandangan Islam?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
Apakah yang dimaksud dengan konsumsi?
2.
Mengetahui
prinsip-prinsip konsumsi dalam konteks Islam?
3.
Mengetahui
tentang pengertian, hukum dan teori permintaan?
4.
Mengetahui
teori permintaan dalam pandangan Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori
Konsumsi Islam
1.
Pengertian
dan Prinsip Konsumsi Islam
Pengertian
konsumsi secara umum adalah pemakaian dan penggunaan
barang-barang dan jasa.[1]
Konsumsi sebenarnya tidak identik dengan makan dan minum dalam istilah
teknis sehari-hari, akan tetapi juga meliputi pemanfaatan atau pendayagunaan
segala sesuatu yang dibutuhkan manusia. Tujuan konsumsi dalam Islam adalah
untuk mewujudkan maslahah duniawi dan ukhrawi. Maslahah duniawi ialah
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti makanan, minuman, pakaian,
perumahan, kesehatan, pendidikan (akal). Kemaslahatan akhirat ialah
terlaksananya kewajiban agama seperti shalat dan haji. Artinya manusia makan dan
minum agar bisa beribadah kepada Allah.
Menurut Islam,
anugerah-anugerah Allah adalah milik semua manusia. Suasana yang menyebabkan
sebagian diantara anugerah-anugerah itu berada di tangan orang-orang tertentu
tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk
mereka sendiri. Orang lain masih berhak atas anugerah-anugerah tersebut
walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam Al-Qur`an Allah SWT mengutuk dan
membatalkan argument yang dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena ketidaksediaan
mereka memberikan bagian atau miliknya ini.[2]
Jika manusia telah mendapatkan dan menikmati sesuatu, maka ia ingin
mendapatkan yang satu lainnya. Inilah karakter manusia materialis yang tidak
disetujui Islam. Karakter ini dalam ilmu ekonomi disebut homo economicus.
Konsep ini bertentangan dengan etika ekonomi Islam. Islam mengajarkan bahwa
manusia adalah homo Islamicus, bukan homo Economicus. Selanjutnya, yang harus diperhatikan adalah bahwa produk atau
segala sesuatu yang dikonsumsi itu harus halal dan thayib. Tuntutan Islam dalam
mengkonsumsi makanan dan minuman adalah mencari yang ma’ruf dan baik. Sebagai
anugerah Allah, Dia berikan segalanya kepada manusia, berupa pakaian, minuman,
makanan, perumahan, kendaraan, alat komunikasi, alat rumah tangga, dan lain-lain.
Yang terpenting adalah Allah mengingatkan kita untuk tidak berbuat boros dan
berlebih-lebihan. Termasuk dalam israf dan berlebih-lebihan adalah aktualisasi
watak manusia yang terus ingin menukar dan mengganti alat yang dikonsumsi,
padahal fungsi dan kualitas barang yang lama masih bagus.
Dalam Ekonomi Islam, konsumsi diakui sebagai salah satu
perilaku ekonomi dan kebutuhan asasi dalam kehidupan manusia. Perilaku konsumsi
diartikan sebagai setiap perilaku seorang konsumen untuk menggunakan dan
memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun Islam
memberikan penekanan bahwa fungsi perilaku konsumsi adalah untuk memenuhi
kebutuhan manusia baik jasmani dan ruhani sehingga mampu memaksimalkan fungsi
kemanusiaannya sebagai hamba dan khalifah Allah untuk mendapatkan kebahagiaan
dunia dan akherat.[3]
Dalam ekonomi Islam konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar sebagai
berikut :
a. Prinsip Keadilan.
Syarat ini mengandung
arti ganda bahwa rezeki yang dikonsumsi haruslah yang halal dan tidak
dilarang hukum. Misalnya dalam soal makanan dan minuman, yang terlarang
adalah darah, daging binatang yang telah mati sendiri, daging babi, daging
binatang yang ketika disembelih diserukan nama selain nama Allah.[4] Tiga
golongan pertama dilarang karena hewan-hewan ini berbahaya bagi tubuh sebab
yang berbahaya bagi tubuh tentu berbahaya pula bagi jiwa. Larangan terakhir
berkaitan dengan segala sesuatu yang langsung membahayakan moral dan spiritual,
karena seolah-olah hal ini sama dengan mempersekutukan tuhan. Kelonggaran
diberikan bagi orang-orang yang terpaksa, dan bagi orang yang pada suatu ketika
tidak mempunyai makanan untuk dimakan. Ia boleh makan makanan yang terlarang
itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.
b. Prinsip Kebersihan.
Obyek konsumsi haruslah sesuatu
yang bersih dan bermanfaat. Yaitu sesuatu yang baik, tidak kotor, tidak najis,
tidak menjijikkan, tidak merusak selera, serta memang cocok untuk dikonsumsi
manusia.
c. Prinsip Kesederhanaan.
Konsumsi haruslah dilakukan
secara wajar, proporsional, dan tidak berlebih-lebihan. Prinsip-prinsip
tersebut tentu berbeda dengan ideologi kapitalisme dalam berkonsumsi yang
menganggap konsumsi sebagai suatu mekanisme untuk menggenjot produksi dan
pertumbuhan. Semakin banyak permintaan maka semakin banyak barang yang
diproduksi. Disinilah kemudian timbul pemerasan, penindasan terhadap buruh agar
terus bekerja tanpa mengenal batas waktu guna memenuhi permintaan. Dalam Islam
justru berjalan sebaliknya: menganjurkan suatu cara konsumsi yang moderat, adil
dan proporsional. Intinya, dalam Islam konsumsi harus diarahkan secara benar
dan proporsional, agar keadilan dan kesetaran untuk semua bisa tercipta.
d. Prinsip kemurahan hati.
Makanan, minuman, dan segala
sesuatu halal yang telah disediakan Tuhan merupakan bukti kemurahanNya.
Semuanya dapat kita konsumsi dalam rangka kelangsungan hidup dan kesehatan yang
lebih baik demi menunaikan perintah Tuhan. Karenanya sifat konsumsi manusia
juga harus dilandasi dengan kemurahan hati. Maksudnya, jika memang masih banyak
orang yang kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan
yang ada pada kita kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat
membutuhkannya.
e. Prinsip moralitas.
Kegiatan konsumsi itu haruslah
dapat meningkatkan atau memajukan nilai-nilai moral dan spiritual. Seorang
muslim diajarkan untuk menyebutkan nama Allah sebelum makan, dan menyatakan
terimakasih setelah makan adalah agar dapat merasakan kehadiran ilahi pada
setiap saat memenuhi kebutuhan fisiknya. Hal ini penting artinya karena Islam
menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual yang berbahagia.
2. Perilaku Konsumen Islam
Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen
dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasanya.[5]
Perilaku konsumen dalam ekonomi Islam diantaranya harus meliputi :
a. Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariah yang harus terpenuhi dalam
melakukan konsumsi di mana terdiri dari: Prinsip akidah, yaitu hakikat
konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan untuk beribadah sebagai
perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk dan khalifah yang nantinya diminta
pertanggungjawaban oleh Pencipta.[6] Prinsip
ilmu, yaitu seseorang ketika akan mengkonsumsi harus mengetahui ilmu tentang
barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah
merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun
tujuannya. Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah
diketahui tentang konsumsi Islam tersebut, seseorang dituntut untuk menjalankan
apa yang sudah diketahui, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta
menjauhi yang haram dan syubhat.
b. Prinsip kwantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kwantitas yang telah
dijelaskan dalam syariat Islam, di antaranya: Sederhana, yaitu
mengkonsumsi secara proporsional tanpa menghamburkan harta, bermewah-mewah,
mubazir, namun tidak juga pelit.[7] Sesuai
antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan
dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada
tiang. Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan
untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu
sendiri.
c. Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus
diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu: Primer, adalah konsumsi
dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan
dirinya dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan
pokok. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat
kualitas hidup yang lebih baik, jika tidak terpenuhi maka manusia akan
mengalami kesusahan. Tersier, yaitu konsumsi pelengkap manusia.
d. Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya
sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:Kepentingan
umat, yaitu saling menanggung dan menolong sehingga Islam mewajibkan
zakat bagi yang mampu juga menganjurkan sadaqah, infak dan
wakaf. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam
berkonsumsi baik dalm keluarga atau masyarakat . Tidak
membahayakan orang yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan
memberikan madharat ke orang lain seperti merokok di tempat umum.
3. Konsumsi Intertemporal
a. Konsumsi intertemporal konvensional
Yang dimaksud dengan konsumsi
intertemporal adalah konsumsi yang dilakukan dalam dua waktu, yaitu masa
sekarang (periode pertama) dan masa yang akan datang (periode kedua).[8] Dalam
ekonomi konvensional, pendapatan adalah penjumlahan konsumsi dan tabungan. Atau
secara matematis tertulis:
Y
= C+S
di
mana: Y = Pendapatan
C
= Konsumsi
S = Tabungan
Misalkan pendapatan, konsumsi,
tabungan pada periode pertama adalah Y1, C1, S1 dan
pendapatan, konsumsi, tabungan pada periode kedua adalah Y2, C2,
S2 maka persamaan di atas dapat di tuliskan sebagai berikut:
Pendapatan
pada periode pertama adalah:
Y1
= C1+ S1
Pendapatan
pada periode kedua adalah:
Y2
= C2+ S2
Apabila konsumsi di periode pertama lebih kecil dari pada pendapatan di
periode pertema, maka akan terjadi saving dan konsumsi di periode kedua semakin
besar.
Y1 = C1 + S1, dan
C1 < Y1
Y2 = C2 + S2
= (C2
+ S1) + S2
b. Konsumsi intertemporal dalam Islam
Monzer Kahfz berusaha
mengembangkan konsumsi intertemporal Islam dengan membuat asumsi sebagai
berikut:
1) Islam dilaksanakan oleh masyarakat
2) Zakat hukumnya wajib
3) Tidak ada riba dalam perekonomian
4) Mudarobah wujud dalam perekonomian
5) Pelaku ekonomi bersikap rasional dengan memaksimalkan kemaslahatan
Dalam konsep Islam, konsumsi intertemporal dijelaskan oleh hadits
Rasulullah s.a.w yang maknanya adalah “yang kamu miliki adalah apa yang
telah kamu makan dan apa yang telah kamu infakkan”.[9]
Oleh karena itu, persamaan pendapatan menjadi:
Y
= (C + Infak) + S
Persamaan
ini disederhanakan menjadi:
Y
= FS + S
di mana: FS = C + Infak
FS adalah
Final Spending (konsumsi akhir) di jalan Allah.
4. Hubungan Terbalik Riba dan Infak
Hubungan terbalik (inverse relationship) antara
riba dengan infak:
(-)
Infak = f (Riba)
Semakin besar riba, semakin kecil infak, semakin kecil riba,
semakin besar infak. Dalam suatu masyarakat di mana riba telah begitu
merajalela, maka tingkat infaknya akan kecil bahkan kadangkala orang berusaha
menghindar untuk membayar za93kat yang memang merupakan kewajibannya.
Sebaliknya bila riba dihapuskan dari perekonomian, maka infak akan tumbuh
subur. Allah berfirman “Allah menghapuskan riba dan menyuburkan sedekah”
(QS 2:276).[10]
5. Hubungan Saving dan Final Spending
Untuk melihat hubungan antara saving dan final spending, kita
akan melihatnya pada final spending dalam periode pertama dan periode kedua.
Total final spending pada dua periode tersebut adalah final spending periode
pertama ditambah final spending periode kedua, atau secara matematis:
FS = FS(t=1) + FS(t=2)
di mana:
FS(t=1) = Y – S1
FS(t=2) = S1
– zS110
zS1 adalah
besarnya zakat pada periode kedua, zaka pada periode dua hanya didasarkan pada
besarnya jumlah tabungan pada periode pertama (S1).
Karena S1 =
sY1
Maka dapat ditulis:
FStotal =
FS(t=1) FS(t=2)
= (Y1 – S1) + (S1 – zS1)
= (Y1 – sY1) + (sY1
– zsY1)
= Y1 ( 1 – zs)
Dari persamaan ini, terlihat bahwa komponen ‘zs’ bertanda
negatif. Ini menunjukkan adanya hubungan terbalik antara final spending dengan
saving ratio’s’; sedangkan zakat rate ‘z’ tetap besarannya. Semakin besar ‘-s’
maka semakin kecil FS; sebaliknya semakin kecil ‘-s’ maka semakin besar FS.
B. Teori Permintaan Islam
1. Pengertian dan Hukum Permintaan
Permintaan adalah banyaknya jumlah barang yang diminta
pada suatu pasar tertentu dengan tingkat harga tertentu pada tingkat pendapatan
tertentu dalam periode tertentu dan dalam periode tertentu.[11]
Adapun permintaan menurut ekonomi Islam, misalnya Ibnu Taimiyah, permintaan
adalah hasrat atau keinginan terhadap suatu barang (raghbah fi al-syai).[12]
Dalam hukum permintaan
dijelaskan sifat hubungan antara permintaan suatu barang dengan tingkat
harganya. Hukum permintaan pada hakikatnya merupakan suatu hipotesis
yang menyatakan :
“Makin rendah harga suatu barang maka makin banyak permintaan
terhadap barang tersebut, sebaliknya makin tinggi harga suatu barang maka makin
sedikit permintaan terhadapbarang tersebut.”
Hukum (Sunnatullah) permintaan tersebut berlaku, jika
asumsi-asumsi yang dibutuhkan terpenuhi, yaitu : cateris paribus atau
dengan kata lain faktor-faktor lain selain harga dianggap tetap (tidak
mengalami perubahan).
2. Teori Permintaan Menurut Islam
Dalam ekonomi Islam,
setiap keputusan ekonomi seorang manusia tidak terlepas dari nilai-nilai moral
dan agama karena setiap kegiatan senantiasa dihubungkan kepada syariat. Al-
qur’an menyebut ekonomi dengan istilah iqtishad (penghematan, ekonomi), yang
secara literal berarti pertengahan atau moderat. Seorang muslim diminta untuk
mengambil sebuah sikap moderat dalam memperoleh dan mempergunakan sumber daya.
Dia tidak boleh israf (boros, royal, berlebih- lebihan) tetapi juga dilarang
pelit (bukhl).
Menurut Ibnu Taimiyyah,
permintaan suatu barang adalah hasrat terhadap sesuatu, yang digambarkan
dengan istilah raghbah fil al-syai. Diartikan juga sebagai jumlah barang yang
diminta. Secara garis besar, permintaan dalam ekonomi Islam sama dengan ekonomi
konvensional, namun ada prinsip-prinsip tertentu yang harus diperhatikan oleh
individu muslim dalam keinginannya.
Islam mengharuskan orang
untuk mengkonsumsi barang yang halal dan thayyib. Aturan Islam melarang seorang
muslim memakan barang yang haram, kecuali dalam keadaan darurat dimana
apabila barang tersebut tidak dimakan, maka akan berpengaruh terhadap diri
muslim tersebut. Di saat darurat seorang muslim dibolehkan mengkonsumsi barang
haram secukupnya.
Selain itu, dalam ajaran Islam,
orang yang mempunyai uang banyak tidak serta merta diperbolehkan untuk
membelanjakan uangnya untuk membeli apa saja dan dalam jumlah berapapun yang
diinginkannya. Batasan anggaran (budget constrain) belum cukup dalam membatasi
konsumsi. Batasan lain yang harus diperhatikan adalah bahwa seorang muslim
tidak berlebihan (israf), dan harus mengutamakan kebaikan (maslahah).
Islam tidak menganjurkan
permintaan terhadap suatu barang dengan tujuan kemegahan, kemewahan dan
kemubadziran. Bahkan Islam memerintahkan bagi yang sudah mencapai nisab, untuk
menyisihkan dari anggarannya untuk membayar zakat, infak dan shadaqah.[13]
3.
Permintaan
Barang Halal Dalam Pilihan Halal Haram
Seperti
yang kita ketahui dalam Islam barang terbagi menjadi halal dan haram. Konsumsi
seorang muslim dibatasi kepada barang- barang yang halal dan thayyib. Tidak ada
permintaan terhadap barang yang haram. Di samping itu dalam Islam, barang yang
sudah dinyatakan haram untuk dikonsumsi otomatis tidak lagi memiliki nilai
ekonomi, karena tidak boleh diperjualbelikan. Tetapi ada saat kita boleh
memakai barang yang haram dikarenakan situasi dan kondisi yang darurat. Seperti
penyakit yang hanya memakai obat dari barang haram. Itupun tidak boleh berlebih-
lebihan karena pada dasarnya itu tetap haram.[14]
4. Keadaan Darurat Tidak Optimal
Dalam konsep Islam, yang haram telah jelas dan begitu pula yang
halal telah jelas.[15]
Secara logika ekonomi kita telah menjelaskan bahwa bila kita dihadapkan kepada
dua pilihan, yaitu barang halal dan barang haram, optimal solution adalah
corner solution, yaitu mengalokasikan seluruh pendapatan kita untuk
mengonsumsi barang halal. Tindakan mengonsumsi barang haram berarti
meningkatkan disutility (kepuasan negatif), sebaliknya tindakan
mengurangi konsumsi barang haram berarti mengurangi disutility (kepuasan
negatif). Corner solution merupakan optimal solution karena
mengonsumsi barang haram sejumlah nihil berarti menghilangkan disutility, selain
itu mengalokasikan seluruh pendapatan untuk mengonsumsi barang halal berarti
meningkatkan utility.[16]
Sekarang bayangkanlah hipotesis yang diambil darikisah nyata di
tahun 1970 an. Sebuah pesawat terbang yang penuh penumpang jatuh di tengah
gunung salju. Setelah bertahan beberapa hari tanpa persediaan makanan yang
cukup, tidak ada hewan atau tumbuhan yang dimakan, dan dinginnya cuaca,
beberapa di antara penumpang meninggal. Memakan bangkai manusia jelas haram,
namun bila pilihannya antara memakan yang haram atau kita akan binasa, maka Islam
memberikan kelonggaran untuk dapat mengonsumsi barang haram sekadarnya untuk
bertahan hidup.
Oleh karena itu, dalam
pilihan barang halal- haram, optimal solution selalu terjadi corner
solution, yaitu mengonsumsi barang halal seluruhnya, maka setiap keadaan
darurat, yaitu keadaan yang secara terpaksa harus mengonsumsi barang haram,
pastilah bukan corner solution dan oleh karenanya pasti bukan optimal solution.
Keadaan darurat selalu bukan keadaan optimal.[17]
5.
Permintaan
Barang Haram Dalam Keadaan Darurat
Darurat
didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mengancam keselamatan jiwa. Oleh
karena itu, sifat darurat itu sendiri adalah sementara maka permintaan barang
haram pun hanya bersifat insidentil. Misalnya dalam keadaan darurat seperti
kisah jatuhnya pesawat terbang, maka permintaan akan daging bangkai manusia
hanya berlaku pada keadaan darurat itu saja. Tidak dapat kita katakan bahwa
bila telah lima hari tidak makan, maka permintaan akan daging bangkai satu
kilogram, sedangkan bila empat hari sejumlah tiga-perempat kilogram. Kita pun
tidak dapat mengatakan bahwa bila tujuh hari tidak makan, maka permintaan
daging bangkai manusia sejumlah satu setengah kilogram. Jadi seperti yang
dikemukakan diatas sebelumnya dalam keadaan darurat mengonsumsi juga tidak
boleh berlebihan.
6.
Hal-Hal
Yang Mempengaruhi Permintaan Suatu Barang
Ibnu
Taimiyyah dalam kitab Majmu’ Fatawa menjelaskan, bahwa
hal-hal yang mempengaruhi terhadap permintaan suatu barang antara lain:
a.
Keinginan
atau selera masyarakat (Raghbah) terhadap berbagai jenis barang yang berbeda
dan selalu berubah-ubah. Di mana ketika masyarakat telah memiliki selera
terhadap suatu barang maka hal ini akan mempengaruhi jumlah permintaan terhadap
barang tersebut.
b.
Jumlah
para peminat (Tullab) terhadap suatu barang. Jika jumlah masyarakat yang
menginginkan suatu barang semakin banyak, maka harga barang tersebut akan
semakin meningkat. Dalam hal ini dapat disamakan dengan jumlah penduduk, di
mana semakin banyak jumlah penduduk maka semakin banyak jumlah para peminat
terhadap suatu barang.
c.
Kualitas
pembeli (Al-Mu’awid). Di mana tingkat pendapatan merupakan salah satu ciri
kualitas pembeli yang baik. Semakin besar tingkat pendapatan masyarakat, maka
kualitas masyarakat untuk membeli suatu barang akan naik.
d.
Lemah
atau kuatnya kebutuhan terhadap suatu barang. Apabila kebutuhan terhadap suatu
barang tinggi, maka permintaan terhadap barang tersebut tinggi.
e.
Cara
pembayaran yang dilakukan, tunai atau angsuran. Apabila pembayaran dilakukan
dengan tunai, maka permintaan tinggi.
f.
Besarnya
biaya transaksi. Apabila biaya transaksi dari suatu barang rendah, maka besar
permintaan meningkat.[18]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian konsumsi secara umum
adalah pemakaian dan penggunaan barang-barang dan jasa. Dalam Ekonomi Islam, konsumsi diakui sebagai salah
satu perilaku ekonomi dan kebutuhan asasi dalam kehidupan manusia. Perilaku
konsumsi diartikan sebagai setiap perilaku seorang konsumen untuk menggunakan
dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam ekonomi Islam konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar sebagai
berikut :
1.
Prinsip
Keadilan
2.
Prinsip
Kebersihan
3.
Prinsip
Kesederhanaan
4.
Prinsip
Kemurahan Hati
5.
Prinsip
Moralitas.
Permintaan adalah
banyaknya jumlah barang yang diminta pada suatu pasar tertentu dengan tingkat
harga tertentu pada tingkat pendapatan tertentu dalam periode tertentu dan
dalam periode tertentu. Hukum permintaan pada hakikatnya merupakan suatu
hipotesis yang menyatakan :
“Makin
rendah harga suatu barang maka semakin banyak permintaan terhadap barang
tersebut, sebaliknya makin tinggi harga suatu barang maka semakin sedikit
permintaan terhadap barang tersebut.”
Secara garis besar, permintaan dalam
ekonomi Islam sama dengan ekonomi konvensional, namun ada prinsip-prinsip
tertentu yang harus diperhatikan oleh individu muslim dalam keinginannya. Islam
mengharuskan orang untuk mengkonsumsi barang yang halal dan thayyib. Aturan Islam
melarang seorang muslim memakan barang yang haram, kecuali dalam keadaan
darurat dimana apabila barang tersebut tidak dimakan, maka akan berpengaruh
terhadap diri muslim tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman
A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta, Rajawali Pers, 2010.)
Adiwarman
A. Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi Ketiga. (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2012)
Suprayitno, Eko. Ekonomi
Islam, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2005)
Hidayat, Mohammad. An
introduction the sharia economic Pengantar Ekonomi Syariah. (Jakarta: Zikrul, 2010)
Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta, Dana Bhakti Prima Yasa, 1997)
Muhammad. Ekonomi
Mikro dalam Perspektif Islam. (Yogyakarta: BPFE,2004)
Nasution, Mustafa Edi, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, (Jakarta:
kencana, 2007)
Rianto, Nur. Dasar-dasar
Ekonomi Islam, (Solo,
PT. Era Adicitra Intermedia, 2011)
Idri & Titik Triwulan Tutik, prinsip- prinsip ekonomi Islam,
(Jakarta lintas pustaka, 2008)
[1] Hidayat, Mohammad. An introduction the sharia economic
Pengantar Ekonomi Syariah. ( Jakarta: Zikrul, 2010 ), hal 230
[2] Eko Suprayitno, Ekonomi
Islam, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2005, hlm 92
[3] Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam,
Yogyakarta, Dana Bhakti Prima
Yasa, 1997, hlm. 44.
[4] Lihat Q.S Al- Baqarah 2 : 173
[5] Nur Rianto, Dasar-dasar
Ekonomi Islam, Solo,
PT. Era Adicitra Intermedia, 2011, hlm 140
[6] Lihat QS. Al-An’am : 165
[7] Lihat QS. Al-Isra: 27-29, Al-A’raf:31
[8] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, Jakarta, Rajawali
Pers, 2010. Hal. 87
[9] Ibid, hal. 91
[10] Ibid, hal. 94
[11] Muhammad. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. (Yogyakarta:
BPFE,2004), hal. 113.
[12] Adiwarman A. Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi
Ketiga. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hal. 364.
[13] Mustafa Edi Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, (Jakarta: kencana, 2007), hal. 85-89
[14] Ibid. hal. 89
[15] “Yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, di antara keduanya
terdapat syubhat, namun tidak banyak orang yang mengetahuinya. Siapa yang
menghindari yang syubhat berarti telah menjaga kesucian agama dan dirinya, dan
siapa yang terjerumus kepada barang syubhat akhirnya akan terjerumus kepada
yang haram” (HR Bukhari Muslim)
[16] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, Jakarta, Rajawali
Pers, 2010. hal. 83
[17] Ibid, hal. 84
[18] Idri & titik triwulan tutik, Prinsip- Prinsip Ekonomi Islam,
(Jakarta lintas pustaka, 2008), hal.106-107
Tidak ada komentar:
Posting Komentar