RISIKO INVESTASI BANK ISLAM
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah Manajemen Resiko Perbankan Syari’ah
Dosen Pengampu: EstyApridasari, M. Si.
Disusun Oleh:
Ahmad Muslih
(141257210)
JURUSAN
SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM
STUDI S1 PERBANKAN SYARI’AH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
JURAI
SIWO METRO
TAHUN
2016/2017
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A.
Konsep
Dasar Risiko Investasi
B.
Bentuk
Risiko Investasi Dan Mitigasinya
C.
Isu
Terkait Risiko Investasi Pada Bank Islam
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Dasar Risiko Investasi
1.
Devinisi
dan Cakupan Risiko Investasi
Risiko investasi adalah risiko unik yang dihadapi
bank Islam. Bank
konvensional tidak menghadapi risiko ini karena tidak menyalurkan pembiayaan berbasis akad bagi hasil.Pada
bank Islam, pembiayaan bagi hasil dapat dilakukan dalam bentuk akad mudharabah,
musyarakah, Musaqaah, muzara’ah, mukharabah, dansebagainya.
Sementara
itu musyarakah dan Mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak
atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu yang diperbolehkan secara
syari’ah. Sebagaimana akad syirkah lainnya, keuntungan yang dihasilkan oleh
pengelolaan usaha bersama tersebut dibagi berdasarkan nisbah bagi hasil yang
sudah disepakati, sementara kerugian yang tejadi dibagi berdasarkan proporsi
modal yang disetorkan.[1]
Al Musaqah adalah
bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah dimana si penggarap hanya
bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan sipenggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
Al
Muzara’ah dan Mukharabah adalah kerjasama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepadasi penggarap untuk ditanami dan
di pelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen[2].
Dalam berbagai pembiayaan berbasis bagihasil tersebut,bankislam sebagai
investor ikut menanggung risiko atas kerugian pengusaha yang dibiayai tersebut.
2.
Relevansi
dengan Risiko Imbal Hasil dan Risiko Lainnya
Risiko investasi bisa terjadi akibat
risiko operasional yang mungkin timbul akibat kesalahan manusia, kesalahan itu
disebabkan karena pelanggaran, (fraud) dan/atau kelalaian (human error) karena
kurangnya informasi dan kesalahan dalam memilih debitur. Ini dapat menimbulkan
kemungkinan para debitur melakukan moral hazard atau mis-management dalam
pengelolaan usahanya. Hal ini mengakibatkan kinerja usahanya tidak membawa
hasil seperti yang diharapkan. Penyimpangan-penyimpangan tersebut memaksa bank
untuk mengabsorbsi sebagian kerugian yang seharusnya ditanggung nasabah deposan
agar nasabah tidak lari. Pendistribusian imbal hasil yang menurun atau bahkan
kerugian yang mungkin diterima oleh nasabah ditutupi dengan bagian keuntungan
yang seharusnya diperoleh pemegang saham. Ini disebut dengan
istilah displaced commercial risk. Mitigasi displaced commercial
risk membuat bank mengorbankan ekuitasnya sendiriuntuk menjaga tingkat
bagi hasil yang dapat diberikan nasabah membuat banyak masalah. Diantaranya
adalah menurunya transparasi bank islam dalam menyajikan secara andal mengenai
apa yang sebenarnya terjadi, kerugian apa yang sebenarnya terjadi kepada
stakeholder bank Islam. Jika kurangnya transparasi dalam penyajian laporan
keuangan,hal ini akan mengakibatkan turunnya reputasi bank Islam sebagai
institusi yang memiliki corporate governance yang baik.apabila reputasi bank
Islam dipertanyakan, lama-kelamaan akan mengakibatkan terjadinya penarikan dana
oleh nasabah deposan dan ini akan menimbulkan risiko likuiditas.
B.
Bentuk Risiko Investasi dan Mitigasinya
1.
Akad
Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih
pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada
pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan
kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan
keahlian dari pengelola.
Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil
dari shahibul maal dalam manajemen proyek.Sebagai orang kepercayaan,
mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang
terjadi akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal.
Sedangkan, shahibul maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara
tertentu untuk menciptakan laba yang optimal.
Tipe mudharabah berdasarkan keleluasaannya adalajMudharabah
Mutlaqah: Dimana shahibul maal memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola
(mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik
dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan
pengelolaan sesuai dengan praktik kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf).
Mudharabah Muqayyadah: Dimana pemilik dana menentukan syarat dan
pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu,
tempat, jenis usaha dan sebagainya.
Berdasarkan prinsip berbagi hasil dan berbagi risiko Keuntungan
dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya dan Kerugian
finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh
imbalan atas usaha yang telah dilakukan. Pemilik dana tidak diperbolehkan
mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari.[3]
a.
Faktor
penentu investasi mudharabah
1)
Bank
salah dalam menilai kemampuan debitur dalam mengelola usaha yang biayai bank.
Mitigasi resikonya adalah:
(a)
Membuat
devisi kusus untuk validasi data dan informasi.
(b)
Membuat
devisi kusus yang menangani pembinaan debitur dalam hal menejerial, motivasi
dan spiritual.
(c)
Membuat
standar disasi formulir kebutuhan data / informasi yang di isi debitur
(d)
Konfirmasi
dan validasi data atau informasi yang disampaukan debitur
(e)
Meminta
agungan atau jaminan
(f)
Membuat
system pemeringkatan terintegrasi dengan system seleksi dan penetapan kebijakan
jangka waktu pembiayaan usaha, tatacara pengembalian dana, pembagian
keuntungan, bidang usaha yang dapat di biayai dan sebagainya.
(g)
Bekerja
sama dengan lembaga pemerintah independen untuk memeringkat debitur secara
berkala
2)
Debitur
melakukan moral hazard
(a)
Bank
perlu mengenal lebih jauh debiturnya dengan menerapkan prinsip KYC secara
khonperensip.jika diperlukan,mudhorobah hanya bisa dilakukan dengan debitur
yang sebelumnya sudah memiliki pengalaman bertran saksi dengan bank dan
memiliki track record yang baik
(b)
Bank
perlu memastikan bahwa debitur memiliki kemampuan yang memadahi dalam menyusun
laporan keuangan dan laporan aktifitas lain yang diperlukan sebagai pertanggung
jawaban
(c)
Bank
perlu memastikan bahwa debitur sudah menggunakan dana yang diberikan bank untuk
usaha atau keperluan lain yang tidak bertentangan dengan yang disepakati dengan
akad.hal ini bisa dilakukan dengan menjaga hubungan baik melalui mekanisme
pengawasan berkala untuk memastikan bahwa debitur sudah menjalankan usahanya
dengan jujur dan evisien.
(d)
Bank
dapat melibatkan debitur dalam menentukan nisbah bagi hasil agar debitur
memiliki keterikatan morak dalam melaksanakan akad mudhorobah
3)
Kebijakan
agunan perlu disesuaikan dengan tingkat kredibilitas debitur.
(a)
Debitur
tidak menyerahkan bagi hasil sesuai perhitungan yang di sepakati
(b)
Bank
tetap mengakui haknya sebagai “ pendapatan bagi hasil “ dan “piutang bagi
hasil”
(c)
Bank
tetap mengusahakan agar debitur menyerahkan bagi hasil bank sebagai mana bank
mengusahakan pengembalian atas piutang yang lain.[4]
2.
Akad
Musyarakah
Musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat
atau kongsi) adalah bentuk umum dari usaha bagi hasil di mana dua orang atau
lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi bisa sama
atau tidak. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan
kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal. Transaksi Musyarakah dilandasi
adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai asset
yang mereka miliki secara bersama-sama dengan memadukan seluruh sumber daya.[5]
Dewan syariah Nasional MUI dan PSAK No. 106 mendefinisikan
musyarakah sebagai akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
dengan ketentuan dana bahwa keuntungan dibagi berdasarkan porsi kontribusi
dana.
Para mitra bersama-sama menyediakan dana untuk mendanai
sebuah usaha tertentu dalam masyarakat, baik usaha yang sudah berjalan maupun
yang baru, apabila salah satu mitra dapat mengembalikan dana tersebut dan bagi
hasil yang telah disepakati nisbahnya secara bertahap atau sekaligus kepada
mitra lain.
Investasi musyarakah dapat dalam bentuk kas, setara kas atau
aset nonkas. Musyarakah merupakan akad kerja sama di antara para pemilik modal
yang mencampurkan modal mereka dengan tujuan mencari keuntungan. Dalam
musyarakah, para mitra sama-sama menyediakan modal untuk membiayai suatu usaha
tertentu dan bekerja bersama mengelola usaha tersebut. Dimana modal yang ada
hasur digunakan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama
sehingga tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi atau dipinjamkan pada
pihak lain tanpa seizin mitra lainnya. Setiap mitra harus memnberi kontribusi
dalam pekerjaan dan Ia menjadi wakil mitra lain juga sebagai agen bagi usaha
kemitraan. Sehingga seorang mitra tidak dapat lepas tangan dari aktivitas yang
di lakukan mitra lainnya dalam menjalankan aktivitas bisnis yang normal.
Dengan bergabungnya dua orang atau lebih hasil yang diperoleh
diharapkan jauh lebih baik dibandingkan jika dilakukan sendiri karena di dukung
oleh kemampuan akumulasi modal yang lebih besar, relasi bisnis yang lebih luas,
keahlian yang lebih beragam, wawasan yang lebih luas, pengendalian yang lebih
tinggi, dsb.
Apabila usaha tersebut untung maka keuntungan akan dibagikan
kepada para mitra sesuai dengan nisbah yang telah disepakati (baik persentase
maupun periodenya harus secara tegas dan jelas ditentukan di dalam perjanjian),
sedangkan bila rugi akan didistribusikan kepada para mitra sesuai dengan porsi
modal dari setiap mitra. Hal tersebut sesuai dengan prinsip system
keuangan syariah yaitu pihak-pihak yang yang terlibat dalam suatu transaksi
harus bersama-sama menanggung (berbagi) risiko.
Pada dasarnya, atas modal yang ditanamkan tidak boleh ada jaminan
dari mitra lainnya karena bertentangan dengan prinsip untung muncul bersama
risiko (al ghunmu bi al ghurmi). Namun demikian, untuk mecegah mitra melakukan
kelalaian, melakukan kesalahan yang disengaja atau melanggar perjanjian yang
sudah disepakati, diperbolehkan meminta jaminan dari mitra lain atau pihak
ketiga.[6]
a.
Faktor
penentu dan mitigasi pada akad musyarakah
1)
Bank
salah dalam menilai kemampuan debitur dalam mengelolah usaha yang dibiayai oleh
bank
Mitigasi
resikonya:
(a)
Membuat
devisi kusus untuk validasi data dan informkasi
(b)
Membuad
devisi kusus yang menangani pembinaan debitur dalam hal menejerial, motivasi
dan spiritual.
(c)
Membuat
standar disasi formulir kebutuhan data / informasi yang di isi debitur
(d)
Konfirmasi
dan validasi data atau informasi yang disampaukan debitur
(e)
Membuat
system pemeringkatan terintegrasi dengan system seleksi dan penetapan kebijakan
jangka waktu pembiayaan usaha, tatacara pengembalian dana, pembagian
keuntungan, bidang usaha yang dapat di biayai dan sebagainya
(f)
Bekerja
sama dengan lembaga pemerintah independen untuk memeringkat debitur secara
berkala
2)
Modal yang
diberikan debitur dalam asset non kas berbeda dengan harga pasar
Mitigasinya
resikonya:
(a)
Mengecek
harga pasar asset non kas tersebut
(b)
Bekerjasama
dengan lembaga appraiser atau valuer independen untuk menilai asset non kas tersebut
3)
Melakukan moral
hazard
(a)
Bank
perlu mengenal lebih jauh debiturnya dengan menerapkan prinsip kyc secara
khonperensip.jika diperlukan, mudhorobah hanya bisa dilakukan dengan debitur
yang sebelumnya sudah memiliki pengalaman bertran saksi dengan bank dan
memiliki track record yang baik
(b)
Bank
perlu memastikan bahwa debitur memiliki kemampuan yang memadahi dalam menyusun
laporan keuangan dan laporan aktifitas lain yang diperlukan sebagai pertanggung
jawaban
(c)
Bank
perlu memastikan bahwa debitur sudah menggunakan dana yang diberikan bank untuk
usaha atau keperluan lain yang tidak bertentangan dengan yang disepakati dengan
akad.hal ini bisa dilakukan dengan menjaga hubungan baik melalui mekanisme
pengawasan berkala untuk memastikan bahwa debitur sudah menjalankan usahanya
dengan jujur dan evisien.
(d)
Bank
dapat melibatkan debitur dalam menentukan nisbah bagi hasil agar debitur
memiliki keterikatan morak dalam melaksanakan akad mudhorobah
(e)
Kebijakan
agungan perlu disesuaikan dengan tingkat kredibilitas debitur.
4)
Debitur menyalah
gunakan perannya sebagai patner dalam usaha bersama mitigasi resikonya
(a)
Meminta
agungan atau jaminan
(b)
Kebijakan
agungan perlu disesuaikan dengan tingkan kredibilitas debitur
(c)
Membuat
kebijakan biaya apa saja yang bisa dikenakan keusaha musyarakah. Dengan
demikian,debitur tidak dimungkinkan untuk membebankan usaha musyarakhah dengan
biaya-biaya yang tidak bermanfaat
(d)
Tidak
menyerahkan bagi hasil sesuai perhitungan yang di sepakati
(e)
Bank
tetap mengakui haknya sebagai “ pendapatan bagi hasil “ dan “piutang bagi
hasil”
(f)
Bank
tetap mengusahakan agar debitur menyerahkan bagi hasil bank sebagai mana bank
mengusahakan pengembalian atas piutang yang lain.[7]
C.
Beberapa Isu Terkait Risiko Investasi pada Bank Islam
1.
Dasar
Bagi Hasil
Ketentuan bagi
hasil adalah sebagai berikut:
a.
Penentuan
besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada
kemungkinan untung rugi
b.
Besarnya
rasio Bagi Hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh,
c.
Bagi
Hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha rugi,
kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak,
d.
Jumlah
pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan,
e.
Tidak
ada yang meragukan keabsahan Bagi Hasil.[8]
Beberapa literatur menyebutkan bahwa hasil usaha
yang
menjadi dasar perhitungan baggi hasil dapat mengacu pada salah satu dari beberapa jenis pendapatan yaitu pendapatan bruto,
atau pendapatan netto, atau laba operasi, atau laba netto. Pada dasarnya bank
boleh menggunakan prinsip bagi hasil (net revenue sharing – pendapatan netto) maupun bagi untung
(profit sharing – labanetto) dalam pembagian hasil usaha dengan debiturnya.
Bagi hasil sebaiknya tidak dilakukan dengan menggunakan acuan pendapatan bruto
(omzet). Hal ini di
dasarkan pada pertimbangan faktor keadilan. Jika perhitungan didasarkan pada pendapatan bruto otomatis
bank
tidak menanggung risiko adanya peningkatan harga pokok penjualan atau beban-beban lainnya. Semua ini hanya akan ditanggung oleh debitur,
sementara bank hanya tinggal menikmati bagihasil atas omzet semata oleh karena itu,
kondisi yang paling ideal adalah bila bagi hasil didasarkan pada laba netto setelahb dikurangi beban-beban
yang ada.Dengan demikian, penganggungan risiko bersama-sama antara bank
dengan debitur lebih terlihat di sini.[9]
2.
Kebijakan
Profit Equalization Reserve ( PER) dan Investment Risk Reserve (IRR)
Pada dasarnya PER (Profit Equalization Reserve) dan IRR (Investment
Risk Reserve) adalah sebuah Instrumen yang di gunakan untuk mengantisipasi
kerugian dari asset yang diinvestasikan, baik dari sisi Bank maupun dari
pemilik rekening simpanan/shaibul maal. Tujuannya adalah untuk memberikan
tingkat profitabilitas/kepastian yang lebih tinggi dari nature bisnis syariah,
utamanya Bank syariah yang cenderung memiliki tingkat volatilitas lebih dari
daripada Bank Konvensional dikarenakan implementasi transaksi-transaksi berakad
mudharabah/musyarakah. Dalam bahasa ekonomisnya adalah bahwa implementasi dari
PER dan IRR ditujukan untuk membantu mengelola tingkat Displaced Commercial
Risk (DCR) yang didefinisikan sebagai sebuah resiko yang muncul ketika Bank
Syariah berada dalam tekanan untuk memberikan hasil (return) yang lebih tinggi
kepada Investor/deposannya melebihi yang seharusnya diberikan berdasarkan
kontrak investasi sebelumnya. Banyak alasan yang dikemukakan terkait isu DCR
tersebut, salah satunya adalah masalah likuiditas Bank Syariah, dimana ketika
bagi hasil lebih rendah dari Bank Konvensional, dikhawatirkan akan
terjadi “fund flight” yang cukup besar dari Bank Syariah ke Bank
Konvensional dikarenakan suku bunga konvensional lebih tinggi dibanding imbal
hasil Bank Syariah, dengan demikian, likuiditas dari Bank-Bank Syariah tersebut
menjadi semakin menipis.
Profit equalization reserve (PER) sendiri menurut standar The
Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions
(AAOIFI) adalah sebagian dari pendapatan kotor dari pendapatan murabahah yang
dikeluarkan/disisihkan , sebelum mengalokasikannya ke bagian Mudharib dengan
tujuan untuk memberikan return/hasil yang lebih merata kepada pemilik rekening
dan pemegang saham. Sedangkan Investment Risk Reserve adalah sebagian dari
pendapatan Investor yang disesuaikan dengan cara mengurangi bagian dari
pendapatan mudharib yang bertujuan untuk menutupi kerugian-kerugian di masa
yang akan datang pada sebuah Investasi yang dibiayai dengan skema pembiayaan
berbentuk/berakad bagi hasil.
Secara prinsip, pada kontrak mudharabah, semua kerugian (disebabkan
oleh resiko kredit dan pasar) ditanggung oleh Investor, sedangkan
profit/keuntungan dibagi antara Investor dan mudharib secara proporsional
sesuai kontrak. Namun, setiap kerugian yang diakibatkan oleh “kesalahan dan
kelalaian” (resiko operasional), ditanggung oleh mudharib.
Namun dengan diberlakukannya PER atau IRR, Bank Syariah dapat
menjaga pembayaran kepada investor tetap berada pada level “pasar” walaupun
hasil aktual dari asset yang diinvestasikan melampaui ataupun dibawah suku
bunga pasar . PER yang diakumulasikan tersebut yang sebenarnya ekuitas dari
investor dan pemegang saham dapat ditarik kemudian untuk meratakan imbal hasil
ketika imbal hasil dari sebuah investasi menurun, begitu pula dengan akumulasi
IRR, yang sebenarnya merupakan milik investor dapat digunakan untuk menutupi
kerugian-kerugian yang dapat saja muncul dimasa yang akan datang. Sebagai
tambahan, ketika akumulasi PER tidak mencukupi dalam memberikan imbal hasil
yang “selevel” dengan suku bunga pasar, Bank Syariah dapat saja memberikan
sebagian dari porsi pendapatan mereka kepada investor/depositor. Ketersediaan
informasi yang dipublikasikan oleh Bank Syariah dalam hal praktek PER dan IRR
sangat terbatas. Dalam sebuah analisa atas pengungkapan praktek tersebut
(berdasarkan laporan tahunan 2001 – 2003), hanya sekitar 30% saja dari
bank-bank yang disurvei, yang mengungkapkan jumlah PER dalam neraca mereka
(sundararajan 2005). Kebanyakan dari Bank Sentral, menyerahkan metodologi
perhitungan mudharabah, baik PER maupun IRR, ditentukan oleh kebijakan
Bank-Bank Syariah itu sendiridan tidak ada persyaratan pengungkapan tertentu
pengawasan atas PER / IRR, selain yang timbul dari standar akuntansi yang
berlaku.[10]
3.
Dukungan
IT dalam Menurunkan Fraud dan Moral Hazard pada Akad Berbasis Bagi Hasil
Fungsi teknologi informasi (IT) telah mengalami perubahan dan
perkembangan pesat pada dekade terakhir ini. Fungsi IT yang semakin khusus
mendorong setiap bank untuk membentuk bagian, departemen, atau unit kerja
khusus tersendiri. Walaupun struktur tersebut tergantung pada berbagai factor
misalnya skla bisnis dan beban kerja, tetapi unit kerja tersebut mencerminkan 2
aspek kegiatan yaitu aspek pengembangan teknologi dan aspek operasionalnya.
Fasilitas pengolahan data yang tersedia di bank saat ini merupakan
hasil kemajuan teknologi dan kebutuhan untuk menjalankan operasi secara
sistematis dan baik sesuai dengan aliran masuk dan keluar dana bank. Fasilitas
tersebut berfungsi untuk menangani, memilih, menghitung, menyusun, melaporkan,
dan mengirimkan informasi. Jadi penggunaan IT di bank dimaksud adalah untuk
meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan data kegiatan usaha
perbankan sehingga dapat memberikan hasil yang akurat, benar, tepat waktu, dan
dapat menjamin kerahasiaan informasi (sesuai peraturan Bank Indonesia).[11]
Dalam
pelaksanaan akad berbasis bagi hasil mudharabah dan musyarakah adalah
volatilitas imbal balik yang bisa diperoleh bank yang stersnya akan
didistribusikan juga ke nasabah. Volatilitas ini bisa disebabkan
karena adanya factor-faktor diluar kendali debitur maupun bank
ataupun karena adanya fraud atau moral hazard yang dilakukan oleh debitur.Jika
hal yang kedua yang terjadi maka bank perlu bersiap instrument-instrumen
pencegahan maupun pengurangan resiko yang mungkin ditimbulkannya. Salah satu
cara yang dapat dilakukan oleh bank adalah dengan meningkatkan
dukungan IT untuk meningkatkan kelengkapan informasi yang bisa diakses bank
mengenai debiturnya termasuk bagaimana cara mereka mengelola proyek yang biayai
bank. Dukungan IT dapat dilakukan dari yang termudah sampai yang terumit.IT
juga dapat meminimalisir resiko yang timbul dari moral hazard dan fraud.
Dukungan IT dapat melibatkan search angine dan dijaring social sampai pengadaan
sisitem IT yang terintegrasi antara bank dengan debitur.
DAFTAR PUSTAKA
FahmiIrham,
ManajemenResikoTeori, Kasus, danSolusi, (Bandung :Alfabeta, 2010
Imam
Wahyudi, MirantiKartikaDewi, dkk, ManajemenRisiko Bank Islam,
Jakarta :SalembaEmpat, 2013
http://andinurhasanah.wordpress.com/2012/12/26/akad-musyarakah
http://blog.pasca.gunadarma.ac.id/2012/05/04/perkembangan-teknologi-komputer-di-perbankan
id.m.wikipedia.org/wiki/Mudharabah,
diunduh pada 20 November 2016
id.m.wikipedia.org/wiki/Musyarakah,
diunduh pada 20 November 2016
[1]Imam
Wahyudi, MirantiKartikaDewi, dkk, ManajemenRisiko Bank Islam, (Jakarta
:SalembaEmpat, 2013) hal. 169
[2]FahmiIrham,
ManajemenResikoTeori, Kasus, danSolusi, (Bandung :Alfabeta, 2010), hal. 174
[3]id.m.wikipedia.org/wiki/Mudharabah, diunduh pada 20
November 2016
[4]FahmiIrham,
ManajemenResikoTeori, Kasus, danSolusi, (Bandung :Alfabeta, 2010), hal. 174
[5]id.m.wikipedia.org/wiki/Musyarakah, diunduh pada 20
November 2016
[6]http://andinurhasanah.wordpress.com/2012/12/26/akad-musyarakah/,diunduh
padatanggal20 November 2016
[7]Imam
Wahyudi, dkk, Op. Cit.,h 184
[8]http://eprints.undip.ac.id/17332/1/FATAHULLAH.pdf,
diunduhpadatanggal20 November 2016
[9]Imam
Wahyudi, dkk. Ibid.,h.
184-186
[11]http://blog.pasca.gunadarma.ac.id/2012/05/04/perkembangan-teknologi-komputer-di-perbankan/
, diunduhpada 20 November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar