QAWA’ID FIQHIYYAH
(KAIDAH-KAIDAH
FIQHIYYAH)
Makalah Ini Disusun
Guna Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Genap Mata Kuliah Qawaidul Fiqiyah
Dosen
Pengampu: Dr. Andi Ali Akbar
Disusun Oleh :
Ahmad Muslih (141257210)
Kelas C
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM PROGRAM STUDI S1
PERBANKAN SYARI’AH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JURAI SIWO METRO TAHUN
2015/2016
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan Masalah
C.
Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Qawa’id Fiqhiyyah
B.
Perbedaan
Qawa’id Fiqhiyyah dan Qawa’id Ushuliyyah
C. Kaidah-kaidah Pokok Fiqih
1. Kaidah pertama:الأموربمقاصدها
2. Kaidah kedua :اليقين لايزال بالشّكّ
3. Kaidah ketiga:المشقّة تجلب التّيسير
4. aidah keempat :الضّرريزال
5.
Kaidah kelima :العادةمحكّمة
D.
Kaidah-kaidah Cabang
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak dahulu sampai saat ini tidak ada ulama yang mengingkari akan
penting peranan qawaid fiqhiyah dalam kajian ilmu syariah. Para ulama menghimpun
sejumlah persoalan fiqh yang ditempatkan pada suatu qawaid fiqhiyah. Apabila ada masalah fiqh yang dapat dijangkau oleh
suatu kaidah fiqh, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah kaidah fiqh tersebut.
Melalui qawaid fiqhiyah atau kaidah fiqh yang bersifat umum memberikan peluang
bagi orang yang melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh dengan
lebih mudah dan tidak memakan waktu relatif lama.
Permasalahan-permasalahan
yang muncul dalam kehidupan sehari-hari beragam macamnya. Tentunya ini
mengharuskan agar didapati jalan keluar untuk penyelesaiannya. Maka disusunlah
suatu kaidah secara umum yang diikuti cabang-cabang secara lebih mendetail
terkait permasalahan yang sesuai dengan kaidah tersebut. Adanya kaidah ini
tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap pemecahan permasahalan yang
muncul ditengah-tengah kehidupan di zaman modern ini.
Maka,
hendaklah mahasiswa memahami secara baik tentang konsep disiplin ilmu ini
karenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum Islam. Masih jarang diantara
kaum muslim yang memahami secara baik tentang pedoman penyelesaian hukum Islam.
Menjadi kewajiban sebagai seorang muslim untuk lebih memahami dan meyikapi
persoalan hukum dalam Islam karena proses kehidupan tidak terlepas dari
kegiatan hukum.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah pengertian qawa’id
fiqhiyyah?
2. Apakah perbedaan qawa’id fiqhiyyah
dengan qawaid ushuliyyah?
3. Apa saja kaidah-kaidah pokok
fiqih?
4. Apa saja kaidah-kaidah cabang
fiqih?
C. Tujuan
Penulisan
Tujuan disusunnya makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian qawa’id
fiqhiyyah?
2. Mengetahui perbedaan qawa’id
fiqhiyyah dengan qawaid ushuliyyah?
3. Mengetahui kaidah-kaidah pokok
fiqih?
4. Mengetahui kaidah-kaidah cabang
fiqih?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qawa’id Fiqhiyyah
Kata qawaid merupakan bentuk jama'
dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah'
yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan terminologi kaidah mempuyai
beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I menyatakan bahwa kaidah adalah:
القضايا الكلية التى
يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزئيات كثيرة
"Hukum yang bersifat universal (kulli) yang
diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'i yang banyak"[1]
Sedangkan menurut al-Jurjani al-Hanafi secara
terminologi fiqh berarti,:
العلم بالاحكام الشريعة العملية من ادلتها
التفصلية وهو علم مستنبط بالرأي والاجتهاد ويحتاج فيه الى النظر والتأمل
”ilmu yang
menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya
yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan
perenungan".[2]
Dari uraian pengertian diatas baik
mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang dimaksud dengan qawaid fiqhiyah
adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki:
الامر الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها
"Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah
yang yang banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu". [3]
Menurut
Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih yang
bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi
hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk
dalam ruang lingkup kaidah tersebut.[4]
B.
Perbedaan Qawa’id Fiqhiyyah dan Qawa’id Ushuliyyah
Dalam penilaian
Ibn Taimiyyah, ada perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid
fiqhiyah. Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil umum. Sementara qawaid
fiqhiyah merupakan kaidah-kaidah yang membahas tentang hukum yang bersifat
umum. Jadi, qawaid ushuliyah membicarakan tentang dalil-dalil yang bersifat
umum, sedangkan qawaidul fiqhiyyah membicarakan tentang hukum-hukum yang
bersifat umum.
Perbedaan al-qawaid fiqhiyah dan kaidah ushul fiqh secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini:[5]
Perbedaan al-qawaid fiqhiyah dan kaidah ushul fiqh secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini:[5]
a.
Qawaid ushuliyyah adalah
kaidah-kaidah bersifat kulli (umum) yang dapat diterapkan pada semua
bagian-bagian dan objeknya. Sementara qawaid fiqhiyah adalah himpunan
hukum-hukum yang biasanya dapat diterapkan pada mayoritas bagian-bagiannya.
Namun, kadangkala ada pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
b.
Qawaid ushuliyyah atau
ushul fiqh merupakan metode untuk mengistinbathkan hukum secara benar dan
terhindar dari kesalahan. Kedudukannya persis sama dengan ilmu nahwu yang
berfungsi melahirkan pembicaraan dan tulisan yang benar. Qawaid ushuliyyah
sebagai metode melahirkan hukum dari dalil-dalil terperinci sehingga objek
kajiannya selalu berkisar tentang dalil dan hukum. Misalnya, setiap amar atau
perintah menunjukkan wajib dan setiap larangan menunjukkan untuk hukum haram.
Sementara qawaid fiqhiyah adalah ketentuan (hukum) yang bersifat kulli (umum)
atau kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian masalah fiqh. Objek
kajian qawaid fiqhiyah selalu menyangkut perbuatan mukallaf.
c.
Qawaid ushuliyyah
sebagai pintu untuk mengistinbathkan hukum syara’ yang bersifat amaliyah.
Sementara qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum fiqh
yang serupa dengan ada satu illat (sifat) untuk menghimpunnya secara bersamaan.
Tujuan adanya qawaid fiqhiyah untuk menghimpun dan memudahkan memahami fiqh.
d.
Qawaid ushuliyah ada
sebelum ada furu’ (fiqh). Sebab, qawaid ushuliyyah digunakan ahli fiqh untuk
melahirkan hukum (furu’). Sedangkan qawaid fiqhiyah muncul dan ada setelah ada
furu’ (fiqh). Sebab, qawaid fiqhiyah berasal dari kumpulan sejumlah masalah
fiqh yang serupa, ada hubungan dan sama substansinya.
e.
Dari satu sisi qawaid
fiqhiyah memiliki persamaan dengan qawaid ushuliyyah. Namun, dari sisi lain ada
perbedaan antara keduanya. Adapun segi persamaannya, keduanya sama-sama
memiliki bagian-bagian yang berada di bawahnya. Sementara perbedaannya, qawaid
ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil
yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan
himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah
cakupannya semata.
C.
Kaidah-kaidah Pokok
Sebagian ulama telah mengembalikan segala kaidah kepada lima kaidah
yang mereka pandang sebagai dasar dan sendi bagi segala hukum fiqih.[6]
Lima kaidah tersebut semula dinamakan kaidah ushul,[7]
yakni kaidah pokok dari segala kaidah fiqih yang ada. Sebab segala
permasalahan-permasalahan furu’iyah dapat diselesaikan dengan kaidah pokok yang
lima tersebut walaupun seorang mujtahid belum sempat memperhatikan dasar-dasar
hukum tafsili.[8]
Al-Qadli Abu Sa’id
mengatakan bahwa ulama Syafi’iyah mengembalikan seluruh ajaran Imam Syafi’i
kepada empat kaidah. Dan ini didukung oleh Shahib al-Majami yang mengembalikan
segala kaidah itu kepada empat saja, yakni:
اليقين لايزال بالشّكّ ١
“Keyakinan itu tidak dapat dikalahkan oleh keraguan”
المشقّة تجلب التّيسير ٢
“Kesukaran dapat menarik kepada kemudahan”
الضّرريزال ٣
“Kemudharatan harus dilenyapkan”
العادةمحكّمة ٤
“Adat
kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”[9]
Al-Qadli Husein,
berpendapat bahwa kaidah yang dipandang induk itu ada lima yang disebut
panca-kaidah. Begitu pula sebagian ahli ilmu golongan muta’akhirin. Mereka
menmbahkan dari empat kaidah di atas dengan satu kaidah lagi, sehingga menjadi
lima kaidah yakni:
الأموربمقاصدها ٥
“Segala
urusan tergantung kepada tujuannya”[10]
1.
Kaidah pertama: الأموربمقاصدها
“Segala sesuatu itu tergantung pada niat”
a.
Dasar-dasar
pengambilan
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ
أَن تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُّؤَجَّلًا ۗ
وَمَن يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَن يُرِدْ ثَوَابَ
الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا ۚ
وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
“Sesuatu yang
bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang
telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami
berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala
akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan
memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”[11]
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا
لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus”[12]
إِنَّا أَنزَلْنَا
إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ
“Sesunguhnya
Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka
sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.”[13]
Hadits Nabi Saw:
انّماالأعمال بنّيّات
وانّمالامرىً مانوى[اخرجه البخارى]
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada
niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati.” (HR. Bukhori dari Umar bin Khatthab) [14]
b.
Uraian
Kaidah
Maksud dari kaidah ini
adalah bahwa hukum yang menjadi konsekuensi atas setiap perkara haruslah selalu
sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari perkara tersebut.[15]
Bila yang menjadi tujuan atau maksud dari suatu perkara adalah hal yang haram,
meskipun tampaknya baik maka hukum perkara tersebut haram. Sebaliknya, apabila
yang menjadi tujuan atau maksud dari suatu perkara adalah baik, meskipun
kelihatannya biasa-biasa saja, maka hukum perkara tersebut adalah halal.[16]
Di
dalam kaidah ini, memberi peringatan bahwa setiap perbuatan manusia, baik yang
berwujud perkataan maupun berwujud perbuatan diukur menurut niat si pelakunya.
Untuk mengetahui sejauh mana niat si pelakunya itu, haruslah kita lihat adanya
qarinah-qarinah yang dapat dijadikan alat untuk mengetahui macam niat dari
pelakunya.
Misalnya
seseorang dalam keadaan junub mengucapkan:
انّالله وإنّاإليه راجعون
“Sesungguhnya kita adalah milik Allah, dan
sesungguhnya kepada-Nya-lah kita akan kembali.”
Apabila
dengan mengucapkan itu, ia beniat berdzikir karena datangnya musibah, hukumnya
tidak haram, tetapi bila ia mengucapkan dengan niat membaca al-Quran, hukumnya
haram. Hal semacam ini maksud lafadz tergantung niat yang dilafadzkan,
terkecuali kalimat sumpah yang diucapkan di hadapan hakim, sebab kalimat sumpah
yang di hadapan hakim yang diperhitungkan adalah niat hakim.[17]
Maka jika seseorang terdakwa bersumpah di hadapan hakim: “Demi Allah, saya
tidak makan harta anak yatim”, ia meniatkan “tidak makan harta” dengan arti
yang sebenarnya, namun yang diperhitungkan ialah niat hakim yang
mengartikan kata makan harta dengan
“menggunakan”, sehingga ia di anggap melanggar sumpah, apabila menggunakan
harta itu untuk kepentingannya.[18]
2.
Kaidah kedua: اليقين
لايزال بالشّكّ
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”
a.
Dasar-dasar
pengambilan
Hadits Nabi Saw.
اِذَاوَجَدَ أَحَدُ كُمْ فِي بَصْنِهِ
شَيْئًا فَآَ شْكَلَ عَلَيْهِ اَخَرَجَ مِنْهُ شَيْ ءٌأَمْ لاَفَلاَ يَخْرُجَنَ
مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَى يَسْمَعَ صَوْتًاأَوْيَجِدْرِيْحًا (رواه مسلم عن أبى
هريرة)
“Apabila
seseorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya. Kemudian dia ragu
apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya atau belum. Maka orang tersebut
tidak boleh keluar dari mesjid sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium
baunya”.
(HR. Muslim dari Abu Hurairah).[19]
هُوَ مَا
كَانَ مُتَرَدِّدًا بَيْنَ الثُّبُوْتِ وَ عَدَمِهِ مَعَ تَسَاوِى طَرَفَىِ
الصَوَابِ وَالْخَطَاءِ دُوْنَ تَرْجِيْحِ اَحَدِهِمَا عَلَى الْاَخَرِ
“suatu
pertentangan antara kepastian dengan ketidakpastian tentang kebenaran dan
kesalahan dengan kekuatan yang sama, dalam arti tidak dapat ditarjihkan salah
satunya.”[20]
حديث
أبي سعيد الخدري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( ثم إذا شك أحدكم في صلاته
فليلق الشك وليبن على اليقين فإذا استيقن التمام سجد سجدتين فإن كانت صلاته تامة
كانت الركعة نافلة والسجدتان وإن كانت ناقصة كانت الركعة تماما لصلاته وكانت
السجدتان مرغمتي الشيطان
“Hadits Abi Said Al-Khudri berkata, bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda: “jika salah seorang dari kamu ragu dalam shalatnya maka buanglah
keragu-raguan dan condongkan kepada kepastian, apabila telah yakin shalatnya
sempurna maka segeralah melakukan sujud (sahwi) dua kali, maka jika shalatnya
sempurna rakaat yang diulangnya tadi dan dua kali sujud yang dilakukaknnya
terhitung sebagai sunnah, akan tetapi jika rakaat shalatnya kurang maka rakaat
yang belum dilakukannya terhitung sempurna shalatnya, dan dua kali sujud yang
dilakukannya tadi untuk menjauhkan dari godaan setan”[21]
Imam An-Nawawi
berkomentar terhadap hadits diatas: “hadits ini adalah pokok dari
syariat Islam, sebuah pondasi kuat dari tegaknya kaidah-kaidah fiqih. Maksudnya
adalah segala sesuatu diberi beban hukum atas dasar keberlangsungannya dengan
menggunakan pokok-pokok ajaran Islam secara yakin dan pasti serta tidak ada
keraguan yang mengganggu pikirannya. Dari hadits diatas tersurat adanya
seseorang yang yakin dia dalam keadaan suci akan tetapi terdetik dalam hatinya
keraguan dia ber”hadats”, maka yang diunggulkan adalah
dia masih dalam keadaan bersuci sampai datang bukti yang menyebutkan dia sudah
ber”hadats”.[22]
b.
Uraian
kaidah
Al-Yaqin
menurut bahasa pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya.[23] Ulama sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin yang artinya pengetahuan dan merupakan anonim
dari Asy-Syakk. Sedangkan
menurut istilah adalah: Menurut Imam Al-Jurjani Al-Yaqin adalah ”meyakini
sesuatu bahwasanya ”begini” dengan berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kecuali
dengan ”begini” cocok dengan realita yang ada, tanpa ada kemungkinan untuk
menghilangkannya”.[24] Imam Abu Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah ”pengetahuan yang bersifat
tetap dan pasti dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab
tertentu dan tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti”.[25] As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan
pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang
mendukungnya”.[26]
Asy-Syakk menurut bahasa berarti anonim dari Al-Yaqin.
Juga bisa diartikan sesuatu yang membingungkan.[27] Secara istilah Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu
yang tidak menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada”.[28] Sedangkan Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak
menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa dapat
dimenangkan salah satunya”.[29]
Jadi
maksud kaidah ini adalah: apabila seseorang telah meyakini terhadap suatu
perkara, maka yang telah diyakini ini tidak dapat dhilangkan dengan
keragu-raguan (hal yang masih ragu-ragu). Seperti orang yang telah berwudhu,
kemudian datang keraguan apakah ia telah diyakini, yakni masih ada wudhu dan
belum berhadas.
3.
Kaidah ketiga: المشقّة
تجلب التّيسير
“Kesukaran dapat menarik kepada
kemudahan.”
a.
Dasar-dasar
pengambilan
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
“Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”[31]
Hadits Nabi Saw.:
الدّيْنُ
يُسْرٌ اَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَةُ (أخرجه
البخارى عن أبى هريرة
“Agama
itu adalah mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan
mudah”. (HR. Bukhori dari Abu Hurairah)
يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا (أخرجه
البخارى عن أنس
“Mudahkanlah dan jangan mempersukar”. (HR. Bukhori dari Anas)[32]
b.
Uraian
Kaidah
Al-Masyaqqah asal kata dari شُقَّة – شُقَق menurut arti bahasa (etimologi)
adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran.[33] Maksud dari masyaqqah
yang bisa menyebabkan kemudahan disini adalah yang bisa menghilangkan tuntutan
syar’i (takhlifat al-syar’iyah). Sedangkan masyaqqah yang tidak
bisa menghilangkan tuntutan syar’i contohnya merasa berat ketika menerima had,
sakitnya razam bagi pezina, hal seperti ini tidak berpengaruh dalam meringankan
hukum syar’i.[34]
Sedangkan al-taisir
asal kata يُيَسِّر
-يَسَّرَ secara bahasa berarti kemudahan atau
kelenturan, seperti di dalam hadits nabi diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
disebutkan:[35]
إن الد ين يسر
“Agama itu mudah, tidak memberatkan”
Dari definisi secara
bahasa tersebut sudah bisa dipahami bahwa kesulitan dan kesukaran bisa menjadi
sebab kemudahan.
Jadi makna kaidah
tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa
hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran, maka
syari’ah meringankannya sehingga mampu dilaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
Dari paparan di atas terdapat kesukaran yang dihadapi mukallaf,
maka diperlukan pengecualian hukum, yang dalam pelaksanaannya diperhatikan
tabiat manusia, kondisi dan kemampuan memikul hukum. Akan tetapi ada standar
umum yang sebenarnya bukan kesukaran dan karenanya tidak menyebabkan kemudahan
di dalam pelaksanaan ibadah, seperti digigit semut pada waktu sholat, malas
berzakat padahal mencapai nishab, atau terasa lapar apabila sedang berpuasa,
dalam hal ini Dr.Wahbah az-Zuhaili membagi Al-Masyaqqah (kesukaran)
menjadi tiga tingkatan, yaitu :
1)
Al-Masyaqqah al-‘Azhimah (kesukaran yang sangat berat), seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa
dan/atau rusaknya anggota badan. Hilangnya jiwa dan/atau anggota badan
menyebabkan kita tidak bisa melakasanakan ibadah dengan sempurna. Kesukaran
semacam ini membawa kemudahan.
2)
Al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesukaran yang pertengahan, tidak sangat berat juga tidak sangat
ringan). Kesukaran semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih
dekat kepada kesukaran yang sangat berat, maka ada kemudahan di situ.
Apabila lebih dekat kepada kesukaran yang ringan, maka kemudahan di
situ. Hal ini tergantung kondisi seseorang dengan berbagai pertimbangan.
3)
Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesukaran yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, malas naik
haji padahal sudah dikategorikan mampu, dan lain sebagainya. Kesukaran (masyaqqah)
semacam ini bisa ditanggulangi dengan mudah dengan cara sabar dalam
melaksanakan ibadah.[36]
Alasannya, kemaslahatan dunia dan akhirat, taat kepada perintah Allah lebih
utama daripada kesukaran (masyaqqah) yang ringan ini, apalagi masyaqqah
ini bisa ditanggulangi.
Dari tiga
tingkatan yang penulis kutip berdasarkan pendapat Dr.Wahbah az-Zuhaili di atas,
yang menjadi kategori masyaqqah tajlib at-taisir (Kesukaran itu dapat
menarik kemudahan) adalah kategori yang pertama, alasannya karena lebih tepat
terhadap kaidah kemudharan harus dihilangkan (al-dharar yuzal),
sedangkan pada kategori kedua dan ketiga adalah apa yang dimaksud masyaqqah
tajlib at-taisir (Kesukaran itu dapat menarik kemudahan).
Adapun
dalam hal kemudahan (at-taisir) para ulama juga telah menyebutkan
sebab-sebab yang menimbulkan (akibat diperbolehkan) kemudahan (rukhsah),
yaitu:[37]
1)
Kekurangmampuan bertindak hukum ( النَّقْصُ),
Misalnya, orang gila dan anak kecil tidak wajib melaksanakan sholat, puasa,
bayar zakat dan naik haji. Dalam ilmu hukum, yang berhubungan dengan perilaku
ini disebut unsur pemaaf.
2)
Kesulitan yang umum (عُمُوْمُ اَلْبَلْوَى), seperti debu yang berserakan di jalan, maka tidak mungkin
seseorang untuk menghindar, atau adanya hama tikus yang jumlahnya sangat banyak
menyerang satu desa kemudian meninggalkan air kencingnya yang kering.
3)
Bepergian (اسَّفَرُ),
Misalnya, boleh qasar shalat, buka puasa, dan meninggalkan shalat jumat.
4)
Keadaan sakit (اَلْمَرَضُ), Misalnya, boleh bertayamum ketika sulit
memakai air, shalat fardhu sambil duduk, berbuka puasa bulan Ramadhan dengan
kewajiban qadha setelah sehat. Ditundanya pelaksanaan had sampai
terpidana sembuh, wanita yang sedang mentruasi.
5)
Keadaan terpaksa (اَلْاءِكْرَاهُ), Seperti di ancam
orang lain untuk membatalkan puasa ramadhan, sehingga membahayakan jiwanya.
6)
Lupa (اَلنِّسْيَانُ), Seperti seseorang lupa makan dan minum
pada waktu puasa.
7)
Ketidaktahuan (اَلْجَهْلُ),
Misalnya, orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian berdagang
dengan praktik riba.
4. Kaidah
keempat: الضّرريزال
“Kemudharatan harus dilenyapkan”
a.
Dasar-dasar
pengambilan
إِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
وَلَا
تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ
وَلَا
تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
Hadits Nabi
Saw.:
لاَضَرَرَ
وَلاَ ضِرَارَفِى الأِسلاَمِ
“Tidak boleh memberi mudharat kepada orang lain dan tak boleh
membalas kemudharatan dengan kemudharatan di dalam Islam.” (HR. Malik,
Ibnu Majah dan Ad-Daruqutni)
b.
Uraian kaidah
Makna dari kaidah
اَلضُّرَرُيُزَالُ“Kemudharatan harus
dihilangkan” Maksudnya
ialah jika sesuatu itu dianggap sedang atau akan bahkan memang menimbulkan
kemadharatan, maka keberadaanya wajib dihilangkan.[41]
Menurut bahasa
dharurah berasal dari kata dharar, Sedang kata dharar sendiri, mempunyai tiga
makna pokok, yaitu lawan dari manfaat (dhid al-naf’i),
kesulitan/kesempitan (syiddah wa dhayq), dan buruknya keadaan (su`ul
haal).[42]
Kata dharurah,
dalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasith mempunyai arti kebutuhan (hajah),
sesuatu yang tidak dapat dihindari (laa madfa’a lahaa), dan kesulitan (masyaqqah).[43]
Menurut
istilahnya, dharurah (darurat) mempunyai banyak definisi yang hampir sama
pengertiannya, beberapa pengertian diantaranya yaitu:
1)
Dharar
ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar
sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Nah hal seperti ini
memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas batas
tertentu.
2)
Abu
Bakar Al Jashas, mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan
seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya
karena ia tidak makan”.
3)
Menurut
Ad Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan
yang teramat sangat”.
4)
Menurut
sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari
kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
5)
Menurut Asy Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah
batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan
binasa atau nyaris binasa.[44]
Berdasarkan
pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah
kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak
diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan
manusia.
5.
Kaidah kelima: العادةمحكّمة
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan
sebagai hukum”
a.
Dasar-dasar
pengambilan
وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”[45]
Menurut As-Suyuthi seperti dikutip
Syaikh yasin bin Isa al-Fadani kata al-‘urf pada ayat diatas bisa diartikan sebagai
kebiasaan atau adat. Ditegaskan juga, adat yang dimaksud di sini adalah adat
yang tidak bertentangan dengan syariat. Namun pendapat ini dianggap lemah oleh
komunitas ulama lain. Sebab jika al-‘urf diartikan sebagai adat
istiadat, maka sangat tidak selaras dengan asbab al-nuzul-nya, dimana
ayat ini diturunkan dalam konteks dakwah yang telah dilakukan Nabi SAW kepada
orang-orang Arab yang berkarakter keras
dan kasar, juga kepada orang-orang yang masih lemah imannya.[46]
Sedangkan
Abdullah bin Sulaiman Al-Jarhazi menyatakan, sangat mungkin kaidah al-‘aadah
muhakkamah ini diformulasikan sesuai dengan muatan pesan yang terkandung
dalam al-Qur an surat Al-Nisa’ ayat 115:
وَمَن
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Barang siapa menentang Rasul setelah datangnya petunjuk dan
mengikuti selain jalan orang-orang Mukmin, maka Kami biarkan ia leluasa dalam
kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan akan Kami masukkan mereka ke dalam
neraka jahanam. Dan jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS.
Al-Nisa’:155)
Al-Jarhazi
berargumen, kata sabil adalah sinonim dengan thariq yang dalam
bahasa Indonesia memiliki arti sama, yaitu jalan. Dengan demikian, sabil
al-mukmin di sini dapat diejawantahkan sebagai sesuatu yang diyakini
sebagai etika dan norma yang baik dalam pandangan kaum muslimin, serta sudah
menjadi langganan budaya sehari-hari mereka[47].
Hadits Nabi
Saw.:
الوزن وزن أهل مكّة والمكيال مكيال أهل مدينة
“Ukuran berat (timbangan) yang dipakai adalah ukuran berat
ahli Makkah, sedangkan ukuran isi yang dipakai adalah ukuran isi ahli madinah”
(HR: Abu Dawud).
Ukuran berat atau timbangan yang
dipakai adalah timbangan ahli Makkah, karena kebiasaan penduduk Makkah adalah
pedagang. Sedangkan ukuran kapasitas (isi) yang digunakan adalah yang biasa
digunakan oleh penduduk Madinah, karena kebanyakan mereka bergerak dibidang
pertanian. Maksudnya, apabila terjadi persengketaan, maka ukuran tersebut yang
dipakai pada zaman nabi.
ما رأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“Apa yang dipandang baik oleh
orang-orang Islam, maka baik pula di sisi Allah”. (HR. Ahmad dari Abi Mas’ud)[48]
b.
Uraian Kaidah
Secara bahasa, al-‘aadah
diambil dari kata al-‘aud (العود) atau al-mu’aawadah (المعاودة)
yang artinya berulang (ألتكرار)[49].
Dalam kamus kontemporer bahasa Arab-Indonesia, aadah berarti adat
atau kebiasaan[50].
Secara umum, adat adalah sebuah
kecenderungan (berupa ungkapan atau pekerjaan) pada satu obyek tertentu,
sekaligus pengulangan akumulatif pada obyek pekerjaan dimaksud, baik dilakukan
oleh pribadi atau kelompok. Akibat pengulangan itu, ia kemudian dinilai sebagai
hal yang lumrah dan mudah dikerjakan. Aktifitas itu telah mendarah daging dan
hampir menjadi watak pelakunya[51]
Para Ulama mengartikan al-aadah
dalam pengertian yang sama dengan pengertian urf, karena substansinya
sama, meskipun dengan ungkapan yang berbeda, misalnya al-‘urf didefinisikan dengan; “Urf adalah apa yang
dikenal oleh manusia dan mengulang-ulangnya dalam ucapannya dan perbutannya
sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum”[52]
Az-Zuhaili dalam karya
monumentalnya “Ushul Fiqh al-Islami” menyatakan bahwa urf adalah “suatu
perbuatan ataupun ucapan yang telah
menjadi kebiasaan dan dikenal oleh masyarakat yang berlaku secara umum”[53].
Menurut Shalih ibn Ghanim,
sebenarnya antara al-aadah dan urf dari
segi bahasa terdapat kesamaan dalam segi mashadaqnya (sesuatu yang
ditunjuk), namun keduanya mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dari segi
mafhumnya. Menurutnya, al-aadah lebih umum dari al-urf. Al-aadah mencakup
segala jenis kebiasaan yang berulang-ulang, baik berupa perkataan maupun
perbuatan, baik berasal dari individu maupun kelompok dan tanpa memperdulikan
apakah kebiasaan itu baik ataukah jelek. Sementara cakupan urf hanya mencakup
apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘aadah
al-ammah) yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan[54].
Namun, pada akhirnya para fuqaha’ tetap memandang keduanya sebagai sesuatu yang
secara substansi sama.
Dari dua definisi diatas, ada dua
hal penting yaitu pertama, di dalam al-‘aadah ada unsur
berulang-ulang dilakukan dan kedua, dalam al-‘Urf ada unsur (al-ma’ruuf)
dikenal sebagai sesuatu yang baik. Kata-kata al-‘Urf ada hubungannya
dengan tata nilai di masyarakat yang dianggap baik. Tidak hanya benar menurut
keyakinan masyarakat tetapi juga baik untuk dilakukan dan atau diucapkan. Hal
ini erat kaitannya dengan ‘al-amr bi al-ma’ruuf wa al-nahy ‘an al-munkar’
dalam Al-qur an.
Dari
eksplorasi definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa al-‘aadah atau
al-‘urf ini didefinisikan dengan: “apa
yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘aadah al-ammah) yang
dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.”
Suatu perbuatan yang sudah menjadi
adat kebiasaan yang sangat tenar di masyarakat, tetapi karena perbuatan itu
bertentangan dengan ketentuan syari’at, misalnya dalam pesta selalu disajikan
minuman keras atau disediakan alat-alat perjudian, maka adat yang demikian itu
tidak dapat dioper menjadi ketetapan syariat yang diperbolehkan.
Oleh karena itu suatu adat
kebiasaan yang hanya terjadi pada satu segi saja dari suatu perbuatan tidak
dapat menduduki tempat suatu syarat. Demikianah menurut pendapat jumhur ulama
fiqih yang dilukiskan dalam suatu kaidah yang berbunyi:
“Adat kebiasaan yang ditetapkan
dalam suatu segi tidak dapat menduduki tempat syarat”
Umpamanya;
apabila merata pada masyarakat suatu adat kebiasaan yang mengizinkan kepada
orang yang menerima gadai mengambil manfaat dari barang yang digadaikan
(dijadikan jaminan suatu utang), maka perizinan pemanfaatan barang yang
digadaikan itu tidak menduduki suatu persyaratan dalam gadai. Dengan kata lain
bahwa dalam gadai itu tidak di
isyaratkan orang yang menerima gadai itu harus mengambil mengambil manfaat
daribarang yang digadaikan.[55]
D. Kaidah-kaidah
Cabang
1.
حرم الرّبا
Riba merupakan tambahan yang diambil atas adanya suatu utang piutang
antara dua pihak atau lebih yang telah diperjanjikan pada saat awal mulainya
perjanjian. Menrut bahasa, riba adalah zayadah, yaitu tambahan yang
diminta atas utang pokok. Dalam istilah fiqih, riba adalah pengambilan tambahan
dari harta pokok secara batil[56]
baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam.[57]
Setiap tambahan yang diambil dari transaksi utang piutang bertentangan dengan
prinsip Islam. Ibn Hajar Askali mengatakan bahwa, riba adalah kelebihan baik
itu berupa kelebihan bentuk barang maupun uang, seperti dua rupiah sebagai
penukaran dengan satu rupiah.[58]
Secara garis besar riba
dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang piutang dan riba jual beli.
Kelompok pertama terbagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah,
sedang kelompok kedua ada dua macam, yaitu riba fadl dan riba nasi’ah.[59]
a)
Riba
qardh
Riba
qardh adalah suatu tambahan atau kelebihan yang telah disyaratkan dalam
perjanjian antara pihak pemberi pinjaman dan peminjam. Dalam perjanjian
tersebut bahwa pihak pemberi pinjaman meminta adanya tambahan sejumlah tertentu
kepada pihak peminjam pada saat peminjam mengembalikan pinjamannya.
b)
Riba
jahiliyah
Riba
jahiliyah adalah utang yang
dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak dapat membayar pada waktu
yang ditentukan.[60]
Misalnya, Annisa meminjam uang sebesar Rp.10.000.000,- kepada Antony dengan
jangka waktu pengembalian satu bulan. Dalam perjanjian disebutkan bila Annisa
tidak mengembalikan pinjamnnya dalam satu bulan, maka setiap bulan
keterlambatan pembayarannya akan dikenakan tambahan 2% dari pokok pinjaman.
Dalam contoh ini, misalnya Annisa melunasi pinjamannya pada bulan kedua, maka
Annisa akan membayar sebesar Rp. 10.200.000,- (102% x Rp.10.000.000). Kelebihan
pembayaran dari pokok pinjaman sebesar Rp. 200.000,- adalah riba.[61]
c)
Riba
fadl
Riba
fadl adalah tambahan yang diberikan atas pertukaran barang yang sejenis
dengan kadar atau takaran yang berbeda. Barang yang menjadi objek pertukaran
ialah termasuk dalam jenis barang ribawi. Dua pihak melakukan transaksi
pertukaran barang yang sejenis, namun satu pihak akan memberikan barang ini dengan
jumlah, kadar atau takaran yang lebh tinggi. Maka, kelebihan atas kadar atau
takaran barang ribawi yang dipertukarkan merupakan riba.[62]
d)
Riba
nasi’ah
Riba
nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi
yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba ini
muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan
saat ini dan yang diserahkan kemudian.[63]
2.
الغرر
Kata ”al-gharar“ dalam bahasa Arab adalah isim mashdar dari
kata (غرر)
yang berkisar pengertiannya pada kekurangan, pertaruhan (al-khathr) , serta
menjerumuskan diri dalam kehancuran dan ketidakjelasan.
Sedang secara istilah, Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa : “gharar adalah sesuatau yang majhul(tidak
diketahui) akibatnya.”[64]
Menurut M.Ali Hasan gharar
adalah keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak
lain. Suatu akad yang mengandung unsure penipuan,karena tidak ada kepastian,
baik yang mengenai ada atau tidak ada objek akad,besar kecil jumlah maupun
menyerahkan objek akad tersebut.[65]
Firman Allah Swt.:
وَلا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
”Dan
janganlah (saling) memakan harta di antara kalian dengan (cara yang) batil dan
(jangan pula) membawa (urusan harta) itu kepada hakim (untuk kalian menangkan)
dengan (cara) dosa agar kalian dapat memakan sebahagian harta orang lain,
padahal kalian mengetahui.” (QS.
Al-Baqarah ayat 188)
Jika kita kaitkan dengan jual beli gharar kata “Dan janganlah (saling) memakan harta di antara kalian dengan (cara yang)
batil” merupakan suatu contoh jual beli gharar. Dimana
apabila seseorang melakukan jual beli yang mengandung gharar akan dikategorikan
sebagai memakan harta orang dengan cara yang batil dimana kalau kita lihat
pengertian gharar ini adalah ketidakjelasan. Dan akan mempunyai potensi untuk
merugikan baik si penjual ataupun si pembeli. Sebagai contoh : ada seseorang
yang memiliki pohon durian dan pohon tersebut nampak memilki bunga,si A yang
merupakan sorang penjual buah durian di pasar membayar buah durian tersebut sebelum
matang atau masih dalam keadaan bunga. Si B pun menyetujuinya dan menerima uang
dari si A yang telah membayar pohon si B. Suatu saat si A ingin memanen buah
yang telah di belinya tersebut kepada si B tetapi kenyataanya buah tersebut
kebanyakan rusak,tidak sesuai dengan harapan si A.
Dalam contoh di atas jelas kita lihat bahwa
si A dirugikan karena tidak mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan si A.
Islam merupakan agama yang paling sempurna melarang jual beli seperti itu.
dalam buku yang ditulis oleh Afzalur Rahman kitab suci Al-Qur’an dan Hadis dengan tegas telah melarang semua transaksi
bisnis yang mengandung unsur kecurangan dalam segala bentuk terhadap
pihak lain : Hal itu mungkin dalam bentuk penipuan atau kejahatan,atau
memperoleh keuntungan dengan tidak semestinya atau resiko. Yang menuju
ketidakpastian di dalam suatu bisnis atau sejenisnya.[66]
3.
بيع
الدين بالدين (Menjual
hutang dengan hutang)
Dalam
fiqh trnasaksi seperti ini dikenal dengan sebutan bai’ ad-dayn by ad-dayn atau
dalam hadits disebut bai’ al-kali bil kali ( بيع
الكاليء بالكاليء ). Bentuk
transaksi jual beli seperti ini adalah dilarang secara syariah. Sebagaimana
disebutkan dalam hadits :
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَهَى عَنْ بَيْعِ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ (رواه النسائي في الكبرى والحاكم
والدارقطني)
“Dari Ibnu Umar ra bahwasanya Nabi SAW melarang jual beli hutang
dengan hutang.” (HR. An-Nasa’i
dalam Sunan Al-Kubra, Daruquthni dan Al-Hakim).[67]
Menjual
piutang dengan hutang, bisa terjadi dalam dua
bentuk :
a.
( بيع الدين للمدين )
Menjual piutang kepada orang yang berhutang tersebut, yaitu seperti seseorang
yang berkata kapeada orang lain,
·
Saya
beli dari kamu satu mud gandum dengan harga satu dinar dengan serah terima
dilakukan setelah satu bulan.’
·
Atau
seseorang membeli barang yang akan diserahkan pada waktu tertentu lalu ketika
jatuh tempo, penjual tidak mendapatkan barang untuk menutupi utangnya, lantas
berkata kepada pembeli, ‘;Juallah barang ini kepadaku dengan tambahan waktu
lagi dengan imbalan tambahan barang’. Lalu pembeli menyetujui permintaan
penjual dan kedua belah pihak tidak saling sarah terima barang.
Cara seperti ini merupakan riba yang diharamkan, dengan kaidah
‘berikan tambahan waktu dan saya akan berikan tambahan jumlah barang.’ ( زدني في الأجل وأزيدك في القدر )
b.
( بيع الدين لغير المدين ) Menjual piutang kepada orang lain yang bukan orang yang
berhutang.
Hal ini seperti seseorang berkata
kepada orang lain, ‘Saya jual kepadamu 20 mud gandum milikku yang dipinjam oleh
fulan dengan harga sekian dan kamu bisa membayarnya kepadaku setelah satu
bulan.’ Maka transaksi jual beli seperti ini juga termasuk transaksi yang tidak
diperbolehkan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Qawa’id Fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah
fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang
berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang
termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.
Perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid fiqhiyah.
Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil umum. Sementara qawaid fiqhiyah
merupakan kaidah-kaidah yang membahas tentang hukum yang bersifat umum. Jadi,
qawaid ushuliyah membicarakan tentang dalil-dalil yang bersifat umum, sedangkan
qawaidul fiqhiyyah membicarakan tentang hukum-hukum yang bersifat umum.
Kaidah-kaidah pokok fiqih ada lima
kaidah yaitu:
1. الأموربمقاصدها
2. اليقين لايزال بالشّكّ
3. المشقّة تجلب التّيسير
4. الضّرريزال
5.
العادةمحكّمة
Ada banyak sekali kaidah-kaidah
cabang fiqh, tiga di antaranya adalah:
1.
حرم الرّبا
2.
الغرر
3.
بيع
الدين بالدين
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Muhammad
Asy-Syafii, ushul fiqh al-Islami, (iskandariyah muassasah tsaqofah al- Jamiiyah .1983)
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh,
(Jakarta. Bulan bintang. 1976)
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. (Amzah : Jakarta)
Abdul Wahab Khallaf. Ushul Fiqih.
(Semarang: Dina Utama.1994)
Imam Musbakin, Qawaid al-Fiqhiyyah, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2001)
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1990)
Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Qalam) Juz I
Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarh Majallat al-ahkam, Jilid 1
(Beirut: Dar al- Kutub al Ilmiyah)
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah Dalam Prespektif Fiqqih,
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2004)
Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 1
Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, juz 1
Imam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, juz 1
Imam An-Nawawi, Syarh An-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, juz 2
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaidh Fiqhiyah: Dalam perspektif Fiqih,
Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 2004
Muhammad Ma’Shum Zein, Sistematika Teori Hukum Islam
(Qawa’id-Fiqhiyah), Jawa Jombang:
Al-Syarifah Al-Khadijah, 2004
A.Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang
Praktis, Jakarta : Kencana, 2007.
Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqih, Telaah
Kaidah fiqih Konseptual, (Surabaya;
Khalista, 2009)
Dzajuli, A, Kaidah-kaidah
Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010)
[17]
Apabila seseorang bersumpah di hadapan hakim yang menyuruh dia bersumpah, maka
ucapannyalah yang kita pegang, yakni berdasarkan niat hakim dan niat yang
menyuruh bersumpah sendiri, berdasarkan hadits Nabi Saw.:
اليمين
على نيّة المستحلف [رواه مسلم]
“Sumpah adalah menurut niat orang yang menyuruh bersumpah” (HR.
Muslim, Syarah An-Nawawi 11;hlm. 17)
[34] Ahmad Sudirman
Abbas, Qawaidh Fiqhiyah: Dalam perspektif Fiqih, Pedoman Ilmu Jaya,
Jakarta, 2004. hlm. 84.
[35] Muhammad Ma’Shum Zein, Sistematika Teori Hukum Islam
(Qawa’id-Fiqhiyah), Jawa Jombang: Al-Syarifah Al-Khadijah, 2004. hlm. 54.
[41] As-Suyuti, Op. Cit. hal. 59
[42]Menurut Al-Jurjani dalam At-Ta’rifat hal.
138
[43]Kamus Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 538
[44]Nur Alim, Ad-Dhararu Yuzalu, http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-kemudharatan-itu.html, 10/10/2012
[56] QS.
al-Rum, 30: 39 [Dan sesuatu riba (tambahan) yang
kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar