Secara bahasa, maqashid merupakan jama’ dari kata maqshid yang berarti kesulitan dari apa yang
ditujukan atau yang dimaksud.Secara akar bahasa, maqashid berasal dari kata qashada, yaqshidu, qashdan,
qashidun, yang berarti keinginan yang kuat, berpegang teguh, dan sengaja.[1]
Sedangkanasy-syari’ah
berasal dari akar kata syara’a,
yasri’u, syar’an yang berarti
memulai pelaksanaan suatu pekerjaan, dengan
demikian asy-syari’ah mempunyai pengertian pekerjaan yang
baru mulai dilaksanakan. Syara’a juga berarti menjelaskan, menerangkan,
dan juga menunjukkan jalan. Syar’a
lahum syar’an berarti mereka
telah menunjukkan jalan kepada
meraka atau bermakna sanna yang berarti menunjukkan jalan ataupun juga
peraturan.[2]Jadi, secara bahasa syari’ah menunjukkan kepada tiga pengertian, di
antaranya yaitu sumber tempat air minum, jalan yang lurus dan terang dan juga
awal dari pada pelaksanaan suatu pekerjaan.[3]
Secara
istilah, maqasid syari’ah berarti bertujuan untuk Allah dan Rasul-Nya dalam
merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum
yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.[4]
Pembagian Maqasid Syari’ah
Abu Ishaq
al-Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum disyari’atkan Allah untuk mewujudkan
kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kemaslahatan
yang akan diwujudkan itu menurut al-Syatibi terbagi kepada tiga tingkatan,
yaitu kebutuhan dharuriyat, kebutuhan hajiyat, dan kebutuhan tahsiniyat.[5]
a.
Kebutuhan Dharuriyat
Kebutuhan
dharuriyat ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan
primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak dipenuhi ini tidak terpenuhi, akan
terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Ada
lima hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu memelihara agama, memelihara
jiwa, memelihara akal, memelihara kehormatan dan keturunan, serta memelihara
harta. Untuk memelihara lima pokok inilah syari’at islam diturunkan. Setiap
ayat hukum bila diteliti akan ditemukan alasan pada pembentukannya yang tidak
lain adalah alasan untuk memelihara lima pokok di atas. Misalnya, firman Allah
dalam mewajibkan jihad:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ
لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan perangilah mereka itu,sehingga tidak ada
fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.”[6]
Dan firman-Nya dalam mewajibkan qishash:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
“Dan dalam qishash itu ada jaminan
kelangsungan hidup bagimu. Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.”[7]
Dari
ayat pertama dapat diketahui tujuan disyari’atkan perang adalah untuk
melancarkan jalan dakwah bilamana terjadi gangguan dan mengajak umat manusia
untuk menyembah Allah. Dan dari ayat kedua diketahui bahwa mengapa
disyari’atkannyan qishash karena dengan itu ancaman terhadap keidupan manusia
dapat dihilangkan.
b.
Kebutuhan Hajiyat
Kebutuhan
hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan skunder,sesuatu
yang diperlukan keberadaannya untuk kemudahan dalam hidup. Jika tidak ada maka
akan membawa kesulitan dalam hidup, namun tidak sampai mengancam
keselamatannya. Syari’at islam menghilangkan segala kesulitan itu. Adanya hukum
rukhshah (keringanan) adalah sebagai contoh dari kepedulian syari’at Islam
terhadap kebutuhan ini.
Dalam
lapangan ibadat, Islam mensyari’atkan beberapa hukum keringanan bilamana
kenyataannya mendapat kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif.
Misalnya, Islam membolehkan tidak berpuasa bilamana dalam perjalanan dalam jara
tertentu dengan syarat diganti pada hari yang lain dan demikian juga halnya
dengan orang-orang yang sedang sakit. Kebolehan meng-qasar shalat adalah dalam
rangka memenuhi kebuuhan hajiyat ini.
Dalam
lapangan mu’amalat disyari’atkan banyak macam akad (kontrak), serta macam-macam
jual beli, sewa-menyewa, syirkah (perseroan) dan mudharobah
(berniaga dengan orang lain dengan perjanjian bagi laba).dalam lapangan ‘uqubat
(sanksi hukum), islam mensyari’atkan hukuman diyat (denda) bagi pembunuhan
tidak disengaja, dan menangguhkan hukuman potong tangan atas seseorang yang
mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan. Sebuah
kesempitan menimbulkan keringanan dalam syari’at islam adalah ditarik dari
petunjuk-petunjuk ayat Al-Qur’an juga. Misalnya surat al-Maidah ayat 6:
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍَ
“Dan Dia Allah tidak sekali-kali
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.
c.
Kebutuhan Tahsiniyat
Kebutuhan takhsiniyat adalah sesuatu yang sepatutnya ada karena
tuntutan kesopanan dan adat istiadat. Jika tidak maka akan mencederai kesopanan
dan dinilai tidak pantas. Hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat
istiadat misalnya menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan
berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.
Dalam
berbagai kehidupan bidang kehidupan, seperti ibadah, mu’amalah, ‘uqubah, Allah
telah mensyari’atkan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsiniyat.
Dalam lapangan ibadah, kata Abd. Wahab khallaf umpamanya, islam mensyari’atkan
bersuci baik dari najis atau hadas, baik pada badan maupun pada tempat
lingkungan. Islam menganjurkan berhias ketika hendak ke Masjid, menganjurkan
memperbanyak ibadah sunnah.
Dalam
lapangan mu’amalat, islam melarang boros, kikir, menaikan harga,
monopoli, dan lain-lain. Dalam bidang ‘uqubat, Islam mengharamkan
membunuh anak-anak dan kaum wanita dalam peperangan, dan melarang melakukan muslah
(menyiksa mayit dalam peperangan).
Tujuan
Syari’at seperti tersebut tadi bisa di simak dalam beberapa ayat, misalnya ayat
6 Surat al-Maidah:
وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Tetapi Dia hendak membersihkan
kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Ketiga tingkatan di atas berderet secara urut. Artinya,
ketika terjadi sebuah kasus pertentangan antara dharuriyah dan hajiyah atau
takhsiniyah, maka yang diutamakan adalah yang dharuriyah. Misalnya shalat,
ketika pada satu kasus tidak bisa menutup aurat maka shalatnya tetap harus
dilakukan, dan tidak boleh menggugurkan shalat gara-gara tidak bisa menutup
aurat. Namun dalam keadaan normal, tingkatan-tingkatan ini saling melengkapi,
yang takhsiniyat melengkapi hajiyat, kemudian melengkapi dharuriyat.
DAFTAR PUSTAKA
Lihasanah,
Ahsan, “al-Fiqh al-Maqashid ‘Inda
al-Imami al-Syatibi'”, Mesir: Dar
al-Salam, 2008,
Efendi, Satria, “Ushul
Fiqh”, Jakarta:Kencana Prenada Media
Group, 2005.
Umar
Hasbi, “Nalar Fiqih Kontemporer”, Jakarta:
Gaung Persada Press, 2007.
[1]Ahsan Lihasanah, “al-Fiqh
al-Maqashid ‘Inda al-Imami al-Syatibi'”, Dar al-Salam: Mesir, 2008,
hal. 11
[2]Hasbi Umar, “Nalar Fiqih
Kontemporer”, Gaung Persada Press: Jakarta, 2007, hal. 36
[3]ibid
[4]Satria
Efendi, “Ushul Fiqh”, Kencana Prenada Media Group: Jakarta, 2005, hal.233
[5]Ibid.
[6]QS.
Al-Baqarah:193
[7]QS.
Al-Baqarah:179
Tidak ada komentar:
Posting Komentar