Karakteristik Ekonomi Islam
Oleh :
Dr. H. Surachman
Hidayat, MA
(Dosen Luar Biasa STEI
Tazkia)
Sebutan “Ekonomi Islam”
melahirkan kesan beragam. Bagi sebagian kalangan, kata ‘Islam’ memposisikan
Ekonomi Islam pada tempat yang sangat esklusif, sehingga menghilangkan nilai
kefitrahannya sebagai tatanan bagi semua manusia. Bagi lainnya, Ekonomi Islam
digambarkan sebagai ekonomi hasil racikan antara aliran kapitalis dan sosialis,
sehingga ciri khas khusus yang dimiliki oleh Ekonomi Islam itu sendiri hilang.
Padahal sebenarnya
Ekonomi Islam adalah satu sistem yang mencerminkan fitrah dan ciri khasnya
sekaligus. Dengan fitrahnya Ekonomi Islam merupakan satu sistem yang dapat
mewujudkan keadilan ekonomi bagi seluruh umat. Sedangkan dengan ciri khasnya,
Ekonomi Islam dapat menunjukkan jati dirinya – dengan segala kelebihannya --
pada setiap sistem yang dimilikinya.
Ekonomi Rabbani menjadi
ciri khas utama dari model Ekonomi Islam. Chapra menyebutnya dengan Ekonomi
Tauhid. Tapi secara umum dapat dikatakan sebagai “divine economics”. Cerminan
watak “Ketuhanan” ekonomi Islam bukan pada aspek pelaku ekonominya -- sebab
pelakunya pasti manusia -- tetapi pada aspek aturan atau sistem yang harus
dipedomani oleh para pelaku ekonomi. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa semua
faktor ekonomi termasuk diri manusia pada dasarnya adalah kepunyaan Allah, dan
kepadaNya (kepada aturanNya) dikembalikan segala urusan (3: 109). Melalui
aktivitas ekonomi, manusia dapat mengumpulkan nafkah sebanyak mungkin, tetapi
tetap dalam batas koridor aturan main..”Dialah yang memberi kelapangan atau
membatasi rezeki orang yang Dia kehendaki” (42: 12; 13: 26). Atas hikmah
Ilahiah, untuk setiap makhluk hidup telah Dia sediakan rezekinya selama ia
tidak menolak untuk mendapatkannya (11: 6). Namun Allah tak pernah menjamin
kesejahteraan ekonomi tanpa manusia tadi melakukan usaha.
Sebagai ekonomi yang
ber-Tuhan maka Ekonomi Islam -- meminjam istilah dari Ismail Al Faruqi --
mempunyai sumber “nilai-nilai normatif-imperatif”, sebagai acuan yang
mengikat.. Dengan mengakses kepada aturan Ilahiah, setiap perbuatan manusia
mempunyai nilai moral dan ibadah. Setiap tindakan manusia tidak boleh lepas
dari nilai, yang secara vertikal merefleksikan moral yang baik, dan secara
horizontal memberi manfaat bagi manusia dan makhluk lainnya. Nilai moral
“samahah” (lapang dada, lebar tangan dan murah hati) ditegaskan dalam Hadits
riwayat Imam Bukhari dan Muslim, sebagai prasyarat bagi pelaku ekonomi untuk
mendapatkan rahmat Ilahi, baik selaku pedagang, konsumen, debitor maupun
kreditor. Dengan demikian, posisi Ekonomi Islam terhadap nilai-nilai moral
adalah sarat nilai (value loaded), bukan sekadar memberi nilai tambah (added
value) apalagi bebas nilai (value neutral).
Bagi paham ekonomi
naturalistis sumber daya alam adalah faktor paling penting. Sedangkan bagi
aliran monetaris yang terpenting adalah modal finansial. Tapi bagi ekonomi
Islam sumber daya manusialah (humane capital), yang ternilai, sebagai kuncinya.
Al Quran memposisikan manusia sebagai pusat sirkulasi manfaat ekonomi dari
berbagai sumber daya yang ada ( 14: 32-34). Sekaligus sebagai penerima amanah
“khilafah” dari Allah SWT, memakmurkan kehidupan di muka bumi dengan mengolah
sumber daya yang Dia sediakan (11: 61).
Karakter ini merupakan
derivasi dari karakter ummat Islam sebagai “Ummatan Wasathan”(Umat Moderat)
(2:143), yang mengemban tugas sebagai “syuhada” yakni rujukan kebenaran dan
standar kebaikan bagi umat manusia (A. Yusuf Ali:58). Dalam pencermatan
beberapa kitab tafsir, posisi “wasathan” mempunyai lebih dari satu konotasi
makna. Yang pertama maknanya “tawassuth” yakni moderat. Kedua bermakna
“tawazun” yakni seimbang (balance).
Ketiga bermakna
“khairan” yakni terbaik dan alternatif. Itu artinya, dalam Islam dan ekonomi
Islam tidak ada tempat untuk ekstrimitas. Baik ekstrimitas kapitalis maupun
sosialis. Ekonomi Islam memuji “si kaya” yang mengelola hartanya secara benar,
tetapi juga sangat peduli utuk memberdayakan “fuqara”. Kebijakan politik
ekonomi Islam tak pernah segan untuk menindak si kaya yang tidak menunaikan
hak-hak sosial dari hartanya, dan “menjewer” fuqara yang meminta belas kasihan
karena malas. Ini menempatkan Ekonomi Islam sebagai ekonomi alternatif atau
“khairan”, dan nilai lebih itu diakomodasikan tanpa keraguan.
Islam memerintahkan
kepada manusia untuk berkoperasi dalam segala hal, kecuali dalam perbuatan dosa
secara vertikal dan permusuhan horizontal (5:3). Pelaksanaannya dapat dilakukan
secara bilateral, multilateral, dari tingkat lokal hingga global, tanpa harus dihambat
oleh perbedaan apapun juga (49:13). Perwujudan pola kerjasama yang dianjurkan
Islam dapat dilakukan dalam skema apapun, tetapi tetap berlandaskan adanya
upaya perealisasian wujud tolang-menolong yang sesungguhnya. Demi tegaknya
keadilan, Allah telah meletakkan “mizan”, suatu timbangan akurat yang paling
objektif. Siapapun tidak boleh melanggarnya (36: 7). Siapapun tidak dibenarkan
jadi korban ketidak adilan.
Itulah Ekonomi Islam,
yang bersifat Ilahiah-insaniah, terbuka tapi selektif, toleran tapi tak kenal
kompromi dalam menegakkan keadilan. Semua itu untuk kesejahteraan umum di dunia
dan kebahagiaan di akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar