Sumber Gambar: http://pustakamediasyariah.blogspot.com/2015/05/makalah-pes-konsep-produksi-dalam-islam.html |
DEFINISI
Produksi merupakan nadi kegiatan ekonomi. Dalam kehidupan ekonomi, tidak akan pernah ada kegiatan konsumsi, distribusi, atupun perdagangan barang dan jasa, tanpa diawali proses produksi. Secara umum, produksi merupakan proses untuk menghasilkan suatu barang dan jasa atau proses peningkatan utility (nilai) suatu benda. Menurut istilah ekonomi, produksi merupakan suatu proses (siklus) kegiatan-kegiatan ekonomi untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu dengan memanfaatkan faktor-faktor produksi (amal, modal, tanah) dalam waktu tertentu.
Dalam
perspektif Islam, definisi produksi tidak jauh berbeda dengan apa yang
disebutkan di atas. Akan tetapi, ada beberapa nilai yang membuat sistem
produksi Islam menjadi sedikit berbeda. Dalam Islam, barang yang ingin
diproduksi, proses produksi, serta proses distribusi harus sesuai dengan
nilai-nilai Islam. Dalam arti, semua kegiatan yang bersentuhan dengan proses
produksi dan distribusi harus dalam kerangka halal. Untuk itu, terkadang Islam
memberikan pembatasan produksi terhadap barang-barang mewah dan bukan merupakan
barang kebutuhan pokok. Dengan tujuan, untuk menjaga resources yang ada dan tetap optimal.
Bagi
seorang produsen muslim, ada beberapa nilai yang dijadikan sebagai sandaran
motivasi untuk melakukan proses produksi. Pertama,
profit bukanlah merupakan satu-satunya elemen pendorong bagi seorang muslim
untuk melakukan produksi, sebagaimana halnya yang terjadi pada sistem
kapitalisme. Walaupun demikian, Islam tidak menafikan hal tersebut. Dalam
konteks teori produksi dalam Islam, profit yang halal dan adil menjadi salah
satu motivator bukan merupakan satu-satunya tujuan.
Kedua,
seorang produsen muslim harus memperhatikan dampak sosial (social return) sebagai akibat atas proses produksi yang dilakukan.
Produksi, harus memperhatikan efek negatif yang dapat merugikan lingkungan,
seperti; limbah produksi, pencemaran lingkungan, kebisingan, ataupun hal lain
yang dapat mengganggu ketentraman hidup masyarakat. Dengan adanya proses
produksi pada suatu lingkungan masyarakat diharapkan, akan mampu mengatasi
salah satu problematika sosial, yaitu masalah pengangguran. Human Resources Manager (bagian
personalia) seharusnya melakukan recruitment
terhadap masyarakat yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing, sehingga
salah satu masalah sosial dapat diselesaikan.
Selain
itu, barang yang diproduksi seorang muslim, harus merefleksikan kebutuhan dasar
masyarakat. Ada beberapa barang dan jasa yang menjadi prioritas dan didahulukan
untuk diproduksi. Seyogyanya,
produsen muslim tidak akan memproduksi barang dan jasa yang bersifat tersier
dan sekunder, selama kebutuhan primer masyarakat terhadap barang dan jasa belum
terpenuhi.
Ketiga,
nilai-nilai spiritualisme. Dalam berproduksi, seorang muslim harus
memperhatikan nilai-nilai spiritualisme. Dalam arti, nilai tersebut harus
dijadikan sebagai penyeimbang untuk melakukan produksi. Di samping produksi
bertujuan untuk mendapatkn profit yang maksimal, seorang muslim harus mempunyai
keyakinan bahwa apa yang ia lakukan hanyalah semata-mata untuk mencari ridla
Allah. Segala kegiatan produksi yang dilakukan oleh seorang muslim, harus dalam
kerangka menjaga perintah dan larangan Allah. Dalam menetapkan harga atas
barang dan jasa seyogyanya tidak ada
pula pihak yang terdzalimi, harus tetap menjaga nilai-nilai keadilan. Upah yang
diberikan kapada karyawan harus mencerminkan daya dan upaya yang telah
dilakukan oleh karyawan, sehingga tidak terdapat pihak yang tereksploitasi.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai spiritualisme merupakan pondasi
dasar bagi seorang muslim untuk melakukan produksi. Allah berfirman;
“ Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan “.(Al Qashas; 77).
Dari
penjelasan di atas, dapat dikatakan, Islam telah memberikan beberapa petunjuk
bagi umatnya untuk memanfaatkan dan mengoptimalkan terhadap titipan Allah yang
berupa kemampuan dan pemberian fasilitas-fasilitas kehidupan untuk menghasilkan
barang dan jasa demi kemaslahatan hidup bersama. Segala sesuatu harus
ditempatkan pada porsinya dan harus ada keseriusan serta kesungguhan dalam mengerjakannya.
Untuk itu, Islam sangat menganjurkan adanya profesionalisme kerja dalam proses
produksi. Dengan adanya konsep tersebut maka hasil yang akan didapatkan bisa
optimal dan lebih effisien. Rasulullah bersabda; “Sesungguhnya Allah suka kepada seorang hamba yang sungguh-sungguh dan
serius dalam pekerjaannya (profesional)”.
Planning
(perencanaan) merupakan sebuah kelaziman bagi proses produksi. Kegagalan dalam
membuat perencanaan, sama halnya dengan merencanakan sebuah kegagalan.
Perencanaan mempunyai peran penting terhadap eksistensi dan pertumbuhan sebuah
perusahaan. Segala elemen yang mendukung terhadap eksistensi sebuah perusahaan
harus ditentukan dan dideskripsikan secara jelas dan matang. Sehingga, insya
Allah kita akan dapat dengan mudah untuk menentukan kebijakan dan strategi
perusahaan. Menurut teori manajemen, ada beberapa langkah yang harus ditempuh
oleh seorang produsen demi eksistensi sebuah perusahaan. Langkah tersebut
adalah; planning, organizing, actuating,
dan controlling.
Produksi
mempunyai dimensi ibadah bagi seorang muslim. Dengan alasan, apa-apa yang telah
dan akan dilakukan seorang produsen muslim hanyalah semata-mata mencari ridla
Allah. Sehingga, semua langkah yang ditempuh, mempunyai nilai ibadah di hadapan
Allah. Selain itu, produksi merupakan suatu usaha untuk membangun infrastruktur
sebuah masyarakat. Sehingga akan terbentuk sebuah masyarakat yang kokoh dan
kuat terhadap sebuah tantangan dan perubahan zaman. Sesungguhnya, seorang
muslim yang kuat, lebih baik daripada seorang muslim yang lemah. Seperti halnya
sesuatu yang membuat sebuah kewajiban tidak sempurna tanpanya, maka sesuatu itu
wajib adanya.
FAKTOR PRODUKSI
Di
kalangan para ekonom muslim, belum ada kesepakatan tentang faktor-faktor
produksi. (M. Nejatullah S., 1400). Faktor produksi yang disebutkan
masing-masing ulama terdapat perbedaan. Antara lain, Al Maududi dan Abu Suud
menjelaskan faktor produksi terdiri atas tanah (land), modal (capital),
kerja (labor). Berbeda dengan yang
disampaikan oleh M.A. Mannan, beliau menyebutkan, faktor produksi hanyalah
tanah, dan kerja. Menurut Mannan, capital
bukanlah merupakan faktor produksi yang independen, dikarenakan capital bukan merupakan faktor ashal(asli), ia hanya merupakan
manifestasi dan barang musytaq
(hasil) atas suatu pekerjaan. Sebenarnya, capital
merupakan derivasi dari faktor produksi kerja(labor). Dalam term konvensional, capital yang telah diberikan menuntut adanya return, dan biasanya berupa interest
rate (bunga). Walau demikian, terdapat kritik atas pendapat Mannan, yang
menjelaskan bahwa capital bukan
merupakan faktor independen dalam proses produksi;
- Kita menyadari, capital merupakan manifestasi amal yang telah dikerjakan. Akan tetapi, dewasa ini capital sudah dianggap sebagai faktor yang independen dan mempunyai peran sendiri bagi produksi. Dalam sistem produksi modern, capital merupakan sebuah kelaziman bagi proses produksi yang akan dilakukan. Diakui, capital mempunyai kontribusi yang cukup berarti dalam proses menghasilkan barang dan jasa ketika bergabung dengan faktor produksi yang lainnya. Selain itu, dengan adanya capital, barang dan jasa yang dihasilkan mempunyai utility lebih dari yang lain.
- Yang dimaksud dengan capital, bukanlah uang semata. Uang hanya merupakan medium of exchange (alat pembayaran) yang akan berubah menjadi capital setelah uang tersebut diinvestasikan. Dalam pemahaman ekonomi, capital adalah semua infrastruktur yang berfungsi untuk menjaga eksistensi sebuah perusahaaan. Seperti; mesin, alat-alat produksi, transportasi, dan lainnya. Atas kontribusinya dalam meningkatkan nilai suatu barang dan jasa, capital berhak mendapat return (kompensasi). Return yang diberikan tidak harus berupa harga yang fixed (pre-determined), akan tetapi bisa diwujudkan dengan uang sewa ataupun prosentase (bagi hasil) atas profit yang didapatkan.
Menurut
Al Najjar, faktor produksi hanya terdiri dari dua elemen, yaitu kerja (labor), dan capital. Al Najjar berpendapat, land
merupakan bagian dari capital,
sedangkan manajemen merupakan manifestasi pekerjaan. Abu Sulaiman menyatakan,
kerja bukanlah merupakan faktor produksi, pemikiran tersebut muncul berdasarkan
atas falsafah kapitalisme yang menganggap produksi merupakan tujuan akhir
kegiatan ekonomi. Menurut dia, faktor produksi hanya terdiri capital, dan land (M. Nejatullah Siddiqi, ibid). Menurut syariah, hukum asal
dalam bermuamalah (bertransaksi) adalah ibahah
(diperbolehkan) sepanjang tidak ditemukan nash atau dalil yang melarang atas
langkah dan tindakan yang kita ambil. Maka, tidak ada salahnya apabila kita (Islam)
mengadopsi pemikiran konvensionl tentang faktor-faktor yang berfungsi sebagai
elemen penunjang kegiatan produksi. Dapat disimpulkan, faktor-faktor produksi
adalah kerja, modal (capital) ,dan
sumber daya alami (natural resources),
dengan pemahaman yang berbeda.
- Kerja (Amal)
Dalam
perspektif Islam, kerja adalah segala daya dan upaya yang telah dicurahkan oleh
manusia, baik berupa fikriyah
(pemikiran, ide, konsep), ataupun jasadiyah
(tenaga, gerakan) untuk menghasilkan atau meningkatkan kemanfaatan atas barang
atau jasa yang diperbolehkn secara syara’. Definisi kerja yang dijelaskan Islam
sangat luas. Di sini, kerja akan dipersempit maknanya menjadi sebuah
kreatifitas untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibenarkan secara syara’.
Seperti rutinitas dalam sebuah industri atau perusahaan, perdagangan,
pertanian, kedokteran, pendidikan, ataupun jasa-jasa lain yang bermanfaat bagi
kehidupan masyarakat. Pemberian Allah atas segala kemampuan dan sumber-sumber
kehidupan menuntut sebuah kewajiban bagi manusia untuk melakukan proses
pemberdayaan, sehingga mendatangkan kemanfataan bagi kehidupan manusia. Dalam
melakukan pekerjaan, ada dua tujuan yang ingin dicapai oleh seorang muslim,
yaitu materialisme dan spiritualisme (akhirat). Dalam pandangan Islam, setiap langkah
dan gerakan manusia dalam bekerja akan mempunyai nilai-nilai ibadah
(spiritual), jika diniatkan dalam kerangka mencari ridla Allah. (Abdul Sami’ Al
Mishri; 1402). Dapat dikatakan, pekerjaan yang kita lakukan merupakan ibadah
kita dalam berekonomi. Rasulullah bersabda;”
Bekerja merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim”. Riwayat lain
menyatakan;”Bekerja secara halal
merupakan kewajiban atas kewajiban lain yang telah kita lakukan”. (Muhammad
bin Al Hasan As Syaibani: 1357). Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda; “ Barang siapa terlelap tidur karena
kelelahan mencari rizki yang halal, maka orang tersebut tidur dalam ampunan
Allah” (ibid).
Dalam
Al Qur’an Allah memberikan beberapa petunjuk kepada manusia tentang tata cara
mencari rizki, Allah berfirman:
” Dialah yang menjadikan bumi itu
mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian
dari rizki-Nya. Dan hanya kapada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”.
(Al Mulk: 15).
Dalam
ayat lain Allah berfirman; “ Apabila
telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung” (Al
Jum’ah; 10).
Dalam
beberapa hadist, Rasulullah memberikan beberapa motivasi pada muslim untuk giat
bekerja dan menghindarkan diri dari sikap meminta-minta dan bergantung pada
orang lain. Rasul bersabda; ”Apa yang
dimakan oleh seseorang tidak lebih baik dari apa yang dimakannya atas hasil
usahanya sendiri, sesungguhnya Nabi Daud as. memakan dari apa yang dihasilkan
dari usahanya”. Dalam hadist lain, Nabi bersabda;” Pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar demi mendapatkan rizki, jauh
lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain”. (Shahih Bukhari,
jilid III).
Bekerja
merupakan pondasi dasar sebuah kegiatan produksi, bekerja juga berfungsi
sebagai pintu pembuka rizki. Menurut Ibnu Khaldun, bekerja merupakan unsur yang
paling dominan bagi proses produksi dan merupakan sebuah ukuran yang benar
(standart) atas sebuah nilai. Proses produksi akan sangat bergantung terhadap
usaha atau kerja yang dilakukan oleh karyawan, baik secara kualitatif atau
kuantitatif. Ibnu Khaldun menjelaskan, faktor produksi yang lain berfungsi
sebagai komplementer atas daya dan upaya manusia dalam menghasilkan barang dan
jasa. Selain itu, dengan adanya profesionalisme dalam bekerja akan meningkatkan
nilai atas hasil produksi. Pendapat tersebut telah mendahului dari apa yang
dituliskan oleh Adam Smith. (Ibnu Khaldun; 1978). Ibnu Khaldun berpendapat :
“
Ketahuilah, sesungguhnya bekerja dilakukan untuk memiliki dan bertujuan untuk
menghasilkan sesuatu, maka untuk mendapatkan rizki harus ada usaha dan kerja
walaupun untuk mendapatkannya ada beberapa cara. Allah berfirman; “ Maka
carilah rizki di sisi Allah “. Usaha yang kita lakukan semata-mata atas kuasa
dan ilham Allah, segala sesuatu dari Allah, akan tetapi kita perlu melakukan
usaha manusiawi dalam setiap pekerjaan kita, walaupun obyek yang kita kerjakan
bisa tumbuh dengan sendirinya, seperti hewan, tumbuhan, dan tambang, tetap dibutuhkan
usaha manusia untuk mendapatkan manfaatnya seperti yang kita lihat…. (Ibnu
Khaldun, 1978).
Etika Kerja dan Penetapan Upah
Bekerja
merupakan inti kegiatan ekonomi, tanpa adanya bekerja, maka roda kegiatan
ekonomi tidak akan pernah dapat berjalan. Berdasarkan atas urgensi kerja bagi
kegiatan ekonomi, Islam mempunyai beberapa etika yang harus dijadikan sebagai
pegangan. Baik etika yang mengatur tentang hubungan antar pekerja dengan
pengusaha, pekerja dan pengusaha dengan lingkungan sekitar (negara), ataupun
kriteria pekerjaan yang diperbolehkan oleh syariah. Bekerja merupakan kewajiban
bagi setiap individu dan masyarakat, tidak ada alasan untuk bermalas-malasan
dan bergantung kepada pihak lain demi tegaknya sebuah kehidupan masyarakat.
Bekerja merupakan fardlu kifayah,
jika bekerja itu dapat mendorong kegiatan ekonomi yang dapat menghadirkan
barang dan jasa yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Seluruh individu
masyarakat akan berdosa apabila tidak ada seorangpun yang mau untuk melakukan
kegiatan tersebut. Selain itu, Islam telah memberikan beberapa nilai ataupun
konsep dasar atas bekerja. Di antaranya, dalam bekerja harus ada kesungguhan
dan kejujuran (siddiq), keadilan, kepercayan (amanah), dan keikhlasan.
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah
menyukai kesungguhan seorang hamba ketika melakukan sebuah pekerjaan”. (
Jalaluddin as Suyuthi, 1401).
Dalam
konteks ekonomi makro, negara mempunyai beberapa peran yang harus dijalankan
untuk mengatur dan mengawasi jalannya kegiatan ekonomi. Akan tetapi, peran yang
dijalankan negara tidak berhubungan dengan intervensi atas kebebasan individu
untuk memilih jenis pekerjaan yang diminati serta penetapan upah pekerja.
(Muhammad al Mubarak; 1400). Adapun peran negara dalam kehidupan ekonomi adalah
sebagai berikut;
- Menyediakan lapangan pekerjaan serta melakukan training dan pembinaan terhadap warga, serta mendorong bagi para investor untuk melakukan investasi bagi kegiatan ekonomi untuk mencapai kemaslahatan bersama (altruisme).
- Mengawasi jalannya kegiatan ekonomi, hubungan karyawan dan pengusaha, menciptakan suasana kondusif bagi proses produksi serta menentukan tingkat upah dan waktu pembayarannya.
- Mempunyai wewenang terhadap pihak tertentu untuk melakukan kegiatan ekonomi yang bersifat dlaruriyah bagi kehidupan masyarakat ataupun melarang kegiatan ekonomi yang dapat merusak tatanan sosial ekonomi masyarakat
Ibnu
Taimiyah berpendapat,
“
Ketika masyarakat sangat membutuhkan pertanian, tekstil, ataupun konstruksi
bangunan maka negara mempunyai wewenang untuk memaksa terhadap pihak tertentu
untuk merealisasikannya ketika mereka menolak melakukan pekerjaan tersebut ,
tentunya tetap ada kompensasi. Tidak dimungkinkan bagi mereka untuk meminta
tambahan atas kompensasi yang seharusnya
mereka dapatkan, dan dimungkinkan bagi masyarakat untuk mendzalimi mereka,
dengan memberikan sesuatu yang bukan haknya.
(Ibnu Taimiyah; Al Hisbah fi al Islam)
Berdasarkan
penjelasan Ibnu Taimiyah, dapat dipahami seorang karyawan berhak mendapatkan
upah atas segala sesuatu yang telah dilakukan. Islam mewajibkan kepada umatnya
untuk memberikan upah kepada para karyawan atas jerih payah dan usaha yang
dilakukan, ketentuan tersebut untuk menghapus sistem feodalisme yang
mengeksploitasi pikiran dan tenaga karyawan. Dalam pemberian upah Islam tidak memberi
ketentuan tentang macam upah yang harus diberikan serta mekanisme
pembayarannya. Tetapi, Islam memberikan satu syarat ketika kita memberikan
upah, yaitu prinsip keadilan. Penentuan kadar dan jumlah upah yang harus
diberikan kepada karyawan tidak hanya berdasarkan kekuatan pasar (supply and demand) yang terkadang
menimbulkan kedzaliman pada salah satu pihak. Upah yang diberikan karyawan
harus cukup meng-cover kebutuhan
dirinya dan keluarganya, ulama’ fiqh menyebutnya dengan “ Had al Kifayah “ (batas kecukupan). Proses pembayaran upah
tersebut harus kontan dan tidak diperbolehkn adanya unsur kesengajaan untuk
mengakhirkannya. Allah berfirman:
“ Kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)-mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya … “ (At Thalaq; 6)
Rasulullah
bersabda: “ Berikanlah upah kepada para
pekerja, sebelum kering keringatnya “ (Ibnu Majah dan Thabari, jilid I).
Hubungan
yang terjadi antara pengusaha dan karyawan, merupakan hubungan kerja (kontrak).
Pemerintah tidak mempunyai hak untuk melakukan intervensi terhadap kesepakatan
yang ada, ia hanya memiliki wewenang untuk mengawasi dan mengatur kegiatan
ekonomi. Hak intervensi baru dapat dijalankan, ketika terjadi tindak kedzaliman
dan eksploitasi di antara keduanya. Pemerintah bisa melakukan ijbar (pemaksaan) terhadap pengusaha dan
karyawan untuk melakukan kegiatan produksi guna memenuhi kebutuhan dasar
masyarakat. Dalam kondisi tersebut, intervensi pemerintah merupakan suatu
kewajiban untuk mencegah terjadinya tindak kedzaliman dan eksploitasi. Ibnu
Taimiyah berpendapat:
“
Pemerintah mempunyai hak intervensi dalam kegiatan ekonomi. Pemerintah
mempunyai hak untuk melakukan ijbar terhadap pihak yang terkait untuk melakukan
kegiatan produksi guna memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Atas usaha yang
telah dilakukan, pihak terkait berhak mendapatkan ajr mitsli (kompensasi). Upah
yang diberikan oleh pemerintah tidak boleh kurang dari ajr mitsli, begitu juga
sebaliknya, pihak terkait tidak boleh meminta sesuatu lebih dari ajr mitsli.
Usaha yang dilakukan pemerintah merupakan bentuk tas’irul amal (penentuan
kerja)”.
(Ibnu
Taimiyah, al Hisbah fil Islam).
- Modal (Capital)
Menurut
pandangan ekonom, capital adalah
bagian dari harta kekayaan yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa,
seperti mesin, alat produksi, equipment
(peralatan), gedung, fasilitas kantor dan transportasi, dan lainnya. Dalam
operasionalnya, capital mempunyai
kontribusi yang cukup berarti bagi terciptanya barang dan jasa. Sebagai
konsekwensi, capital berhak
mendapatkan kompensasi atas jasa yang telah diberikan. Dalam kapitalisme, capital berhak mendapatkan interest rate (bunga) sebagai return of loans (kompensasi pinjaman).
Merujuk
pada Islam sebagai peta kehidupan ekonomi, kembalian pinjaman (return of loans) yang diberikan
dibedakan berdasarkan atas jenis komoditas yang dipinjamkan (invested). Apabila capital yang diinvestasikan berupa uang, maka konsep syariah yang
bisa digunakan adalah profit loss sharing
(bagi hasil). Namun, jika yang diinvestasikan berupa mesin dan peralatan
lainnya, yang wajib dibayarkan adalah biaya sewa atas peralatan tersebut.
Berdasarkan
jangka waktu penggunaan capital,
asset (capital) bisa dibedakan menjadi dua macam, fixed asset (aset tetap) dan variable
asset (aset berubah). Fixed asset
adalah capital yang digunakan untuk
beberapa proses produksi dan tidak terjadi perubahan, seperti bangunan, mesin,
dan peralatan. Variable asset adalah capital yang digunakan untuk satu proses
produksi dan akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan proses produksi
yang dilakukan, seperti; labor,
sumber energi, bibit, pupuk dan lainnya. Seperti halnya capital yang digunakan untuk kegiatan perdagangan, pertanian,
ataupun peternakan.
Urgensi Capital
Capital
bisa kita dapatkan dengan cara mengambil dari sebagian income yang diproyeksikan untuk kegiatan investasi sebagai ganti
atas kegiatan konsumsi yang kita lakukan (dengan cara menyimpan). Dengan adanya
kegiatan tersebut, capital yang akan
didapatkan oleh masyarakat akan menjadi besar sebagai akumulasi atas dana-dana
tersebut. Sebagai efek domino, kegiatan produksi akan semakin berkembang dan
roda perekonomian dapat berjalan.
Capital
mempunyai peranan penting dalam kehidupan ekonomi, capital merupakan sesuatu yang lazim bagi perkembangan kegiatan produksi
dalam Islam. Kita tidak akan mampu menghasilkan barang dan jasa, tanpa adanya
kontribusi capital. Capital merupakan faktor komplemen bagi
faktor produksi lainnya. Kita menyadari akan pentingnya capital dalam dunia ekonomi, namun kita tidak boleh menafikan
eksistensi human resources (tenaga
kerja) dalam melakukan kegiatan ekonomi. Adalah sebuah kelaziman bagi
masyarakat muslim untuk melakukan investasi bagi perkembangan dan kemajuan
manusia, baik intelektualitas ataupun kemampuan (skills) yang dimiliki. Mimpi tersebut bisa diwujudkan dengan cara
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, training
center, atau lembaga lainnya. Sosok manusia harus diperhatikan keselamatan
dan kesehatannya, untuk itu diperlukan pendirian rumah sakit, medical center, dan lainnya. Akhirnya,
akan didapatkan sumber daya insani yang mempunyai kemampuan, ketrampilan, dan
kesehatan yang cukup berarti untuk mengimbangi mesin dan peralatan produksi.
(Theodore W. Schultz, 1961).
Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan untuk memahami konsep modal. Kita harus
bisa membedakan antara proses investasi dan membelanjakan uang yang kita
miliki. Seseorang yang membelanjakan tabungannya untuk kegiatan mudharabah
dalam pertanahan atau membeli saham di pasar modal, hal tersebut bukan
merupakan kegiatan investasi. Karena hal tersebut tidak membentuk kumpulan
modal baru. Lain halnya, jika seseorang menggunakan uangnya untuk kegiatan
produksi, maka hal itu dinamakan investasi.
Harta
merupakan pokok kehidupan, tanpa adanya harta segala kegiatan kehidupan akan
mandul adanya. Untuk itu, Islam mempunyai beberapa petunjuk dalam kerangka
membelanjakan harta. Islam mendorong seorang muslim untuk pandai dalam
melakukan kegiatan konsumsi, harus ada prinsip keadilan, tidak boros dan tidak
bakhil. Allah berfirman :
“ Dan orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir,
dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian “. (Al
Furqan; 67)
Dalam
berkonsumsi, kita tidak boleh terlalu boros dan jangan terlalu bakhil, akan
tetapi harus ada keseimbangan di antara keduanya. Sebaik-baik perkara adalah
tengah-tengah (keseimbangan). Islam memerintahkan kepada pribadi muslim untuk
pandai-pandai dalam melakukan konsumsi, selain itu, Islam juga mengajak muslim
untuk melakukan investasi sebagai pengganti atas penimbunan harta yang dilarang
oleh agama. Allah berfirman:
“ Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib
Nasrani benar-benar memakan harta orang dengn jalan yang batil dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan
emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah
kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih “. (At Taubah;
34).
Dalam
konteks ayat tersebut, terdapat perbedaan dalam konsep penyimpanan dan
penimbunan harta. Iddikhor
(penyimpanan) adalah sebuah konsep tentang penyimpanan sebagian income dalam waktu tertentu dengan
tujuan untuk investasi dan pre-caution
(dana talangan untuk jaga-jaga). Sedangkan Iktinaz
(penimbunan) adalah konsep penyimpanan harta tanpa adanya transaksi atas harta
tersebut. Harta dibiarkan tersimpan tanpa adanya pembelanjaan. Dengan adanya
kegiatan tersebut, current money
(peredaran uang) yang ada di dalam pasar akan berkurang, sehingga pasar tidak
dapat berjalan secara normal. Akan terjadi mismatch
antara money supply dengan money demand dalam mekanisme pasar.
Ulama fiqh menafsirkan, iktinaz
adalah harta yang tidak dikeluarkan zakat atasnya dan tidak dimanfatkan dalam
kegiatan ekonomi. Dengan adanya konsep zakat, akan terjadi kegiatan investasi
tidak langsung. Dalam arti, dana zakat yang diberikan kepada para mustahik, akan menjaga kebutuhan dasar
mereka terhadap barang dan jasa. Demand
yang dilakukan para mustahik, akan menggairahkan sektor produksi sehingga
pendapatan dan kesejahteraan bersama tetap terjaga (altruisme).
Dalam
kegiatan investasi, negara juga dapat ikut andil di dalamnya. Usaha yang
dilakukan dengan cara menyediakan infrastruktur bagi kegiatan ekonomi,
membangun sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan ekonomi, seperti;
perbankan, bank sentral, departemen keuangan, dan lainnya. Investasi yang
dilakukan pemerintah bisa diwujudkan dengan membangun fasilits umum (public property), seperti; air port, pelabuhan, transportasi, dan
lainnya. Di samping itu, negara tidak boleh melalaikan perannya dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal tersebut dimaksudkan demi terciptanya sumber
daya insani yang mempunyai kecukupan dalam intelektualitas, etika, ataupun
kemampuan (skills).
Substansi Kembalian Modal dalam Islam (Return of Capital)
Ulama
fiqh tidak berbeda pandangan tentang konsep capital
dengan para ekonom. Capital adalah
bagian dari harta kekayaan yang dimaksudkan untuk menghasilkan barang dan jasa,
akan tetapi fokus pembahasan tersebut terletak pada konsep harta yang bersifat
umum. Menurut As Suyuthi, harta adalah segala sesuatu yang dimungkinkan untuk
dimiliki oleh manusia dan bermanfaat bagi lingkungan. Imam Syafi’I berpendapat,
harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai dan dapat diperjualbelikan,
dan diwajibkan bagi yang merusaknya untuk mengganti. (R. Sayyid al Iwadhi,
1400).
Pengertian
tersebut, tidak berbeda jauh dengan definisi harta kekayaan yang meliputi segala
barang ekonomi yang dapat dimiliki oleh individu dalam waktu tertentu. Untuk
itu, sebenarnya definisi ulama tentang konsep harta sangat luas, dan bisa
mencakup pengertian capital. Islam
mempunyai batasan dan aturan yang jelas tentang penggunaan harta. Pemilik
hakiki atas harta hanyalah Allah semata, manusia merupakan wakil Allah yang
diberikan kekuasaan oleh Allah untuk memakmurkan bumi serta memberdayakan
segala fasilitas kehidupan yang telah diberikan Allah demi terciptanya sebuah
kemaslahatan. Untuk itu, kepemilikan manusia atas harta benda bukanlah
merupakan kepemilikan mutlak, sebuah kepemilikan yang hanya terbatas pada
pemanfaatan jika terdapat kebutuhan.
Selain
itu, Islam menganjurkan pada umatnya untuk memberdayakan dan memanfaatkan harta
kekayaan yang ada demi menjaga eksistensi sebuah kehidupan. Muslim, juga
diwajibkan untuk menyerahkan hak orang lain terhadap harta kekayaan dengan
membayar zakat, infaq, ataupun sadaqah pada kerabat atau orang yang
membutuhkan. Untuk mengakomodasi keinginan manusia dalam memberdayakan harta
kekayaan, Islam mempunyai beberapa konsep dasar, ataupun kaidah umum dalam
bermuamalah, seperti tata cara berkonsumsi, jual beli, investasi, musyarakah, dan lainnya. Sebagai
penyeimbang, Islam juga memberikan batasan ataupun larangan dalam melakukan
kegiatan ekonomi, seperti larangan atas penipuan, jual beli barang haram,
ataupun proses produksi yang dilarang. Pelarangan tersebut dimaksudkan untuk
menjaga hak masing-masing pihak serta mencegah terjadinya dlarar bagi pihak lain. Islam juga memberikan hak kepada masyarakat
untuk mengawasi kegiatan individu dalam memanfaatkan harta kekayaan supaya
tidak terjerumus dalam bisnis yang sia-sia. Seperti palarangan terhadap safih (buta dalam ekonomi) untuk men-tasarruf-kan hartanya. Allah berfirman:
“ Dan janganlah kamu serahkan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka
belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka
kata-kata yang baik “.(An Nisaa; 5).
Adapun
return of capital yang berhak
diterima oleh pemilik modal yang menginvestasikannya, adalah prosentase
tertentu dari profit yang diterima dalam suatu usaha. Return yang berhak diterima orang lain atas investasi yang
diberikan dalam suatu usaha, berdasarkan atas perbedaan jenis harta kekayaan
yang diinvestasikannya. Harta investasi bisa berupa mesin, peralatan produksi,
transportasi, ataupun uang.
- Fixed Asset
Pemanfaatan
alat-alat produksi, mesin, bangunan, sarana transportasi dan lainnya dapat
meningkatkan efisiensi. Namun, dalam waktu yang sama peralatan dan mesin
tersebut mengalami penyusutan nilai (depresiasi). Pemanfaatan dan penyusutan
nilai tersebut, menuntut kompensasi untuk menegakkan nilai-nilai keadilan.
Kompensasi yang diberikan atas pemanfaatan dan penyusutan nilai disebut dengan
konsep ajr (upah). Ulama fiqh yang
telah membahas tentang konsep ajr dan
ijarah adalah Ibnu Hazm al Andalusi.
Ibnu Hazm berpendapat, Ijarah bisa diterapkan dalam semua jenis barang yang
mempunyai nilai manfaat dan tidak rusak
ketika digunakan. Dalam arti, kemanfaatan atas barang tersebut tetap ada, dan
barang tidak mengalami kerusakan. Makanan tidak bisa disewakan, karena kemanfaatan
yang ada hanya sekali dan barang mengalami kerusakan. Bersandar atas keterangan
yang dijelaskan oleh Ibnu Hazm, alat mesin, peralatan produksi, transportasi,
dan bangunan bisa dijadikan sebagai obyek sewa.
Dalam
fixed asset, akad yang digunakan
lebih tepat dengan akad al Ijarah, bukan
akad musyarakah. Misal; ada dua pihak yang mempunyai kemampuan berbeda, pihak I
mempunyai peralatan produksi, sedang pihak II mempunyai kecakapan dalam
menjalankan bisnis. Skim yang tepat untuk menjalankan usaha tersebut, pihak I
menyewakan peralatan kepada pihak II dengan memberikan upah tertentu dan dalam
waktu tertentu. Dalam akad tersebut, tidak tepat apabila menggunakan akad
mudharabah. Dalam arti, pihak I memberikan kemampuan dan usahanya, pihak II
memberikan peralatan dan modalnya. Kemudian kedua pihak melakukan partnership dan bersekutu dalam untung
dan rugi. Dalam hal ini, ulama lebih memilih akad Ijarah daripada akad
Mudharabah dengan beberapa alasan;
- Sempurnanya syarat-syarat akad al Ijarah, sebagaimana disebutkan Ibnu Hazm
- Mudah melakukan perhitungan matematis terhadap penggunaan peralatan berhubungan dengan upah yang harus dibayarkan.
- Rendahnya resiko investasi atas kontribusi peralatan produksi dalam menghasilkan barang. Dalam arti, fixed asset mempunyai peran yang lebih besar dalam proses produksi dibandingkan dengan faktor lainnya
- Tidak sempurnanya syarat Mudharabah, ra’sul maal (modal) yang diberikan biasanya berupa uang.
Walaupun
begitu, ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa return of capital yang diberikan kepada pemiliknya, bisa dari
keuntungan yang didapatkan (prosentase
tertentu). Ibnu Qudamah menyatakan, Mudharabah tidak bisa dengan menggunakan
barang dagangan sebagai modal, dikarenakan mudharabah merupakan salah satu
bentuk perdagangan atas barang, akan tetapi seseorang boleh menyerahkan barang
yang dimiliki, atau hewan ternak bagi orang yang bekerja dengan hewan tersebut,
kemudian hasil yang didapatkan dari barang dan hewan tersebut dapat dibagi
dengan prosentase tertentu, hal tersebut diqiyaskan dengan Musaqah dan
Muzara’ah. (Ibnu Qudamah, jilid V).
b.
Financial Asset
Financial
asset
adalah sebuah modal yang berupa uang yang diinvestasikan untuk membiayai proses
produksi. Skim yang digunakan untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut dapat
menggunakan Syirkah. Sebuah skim yang terdiri atas kerja sama dari beberapa
pihak dengan kemampuan yang berbeda untuk melakukan sebuah usaha. Apabila satu
pihak mempunyai kemampuan untuk memberikan modal berupa uang, sedangkan pihak
yang lain mempunyai kecakapan untuk menjalankan bisnis maka kesepakatan (akad)
yang dipakai bisa menggunakan akad Mudharabah. Berdasarkan prinsip Mudharabah,
masing-masung pihak mempunyai hak dan kewajiban yang sama atas keuntungan dan
kerugian berdasarkan kesepakatan. Prinsip Mudharabah menjelaskan apabila bisnis
yang dijalankan mendatangkan keuntungan maka keuntungan tersebut dibagikan
kepada masing-masing pihak berdasarkan prosentase tertentu. Namun, bila terjadi
kerugian, kerugian tersebut dikembalikan kepada pemilik modal, kerugian yang
diterima oleh pelaku bisnis adalah segala daya dan upaya serta waktu yang telah
dicurahkan (Abu Bakar Jabir al-Jazairi 1396 H)
Dalam
konsep Mudharabah terdapat kaidah ar-ribhu
‘ala ma ittafaqa wal khasarah ‘ala qadri al-malaini, keuntungan yang
didapatkan berdasarkan atas kesepakatan (presentase), dan kerugian yang timbul
dibagikan atas usaha yang telah dilakukan (kontribusi usaha dan modal).
Masing-masing pihak bersekutu dalam hal keuntungan dan kerugian. Islam tidak
bisa mengakomodasi sebuah ketentuan prosentase tertentu misalnya 5 % atau 10 %
atas modal yang telah diberikan dalam partnership. Dalam arti, uang yang telah
diberikan menuntut kompensasi tetap, misalnya 5 % atau 10 % dalam waktu
tertentu tidak memandang terhadap usaha yang dijalankan baik untung atau rugi.
Konsep tersebut dinamakan dengan sistem pranata bunga. Sistem tersebut tidak
bisa diterima dalam Islam dikarenakan dapat menimbulkan kedzaliman dan
eksploitasi terhadap salah satu pihak. Kedzaliman yang ada jelas akan menafikan
prinsip keadilan sebagai maqasidu
al-syariah. Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman: “wahai hamba-Ku sesungguhnya Aku haramkan kedzaliman atas diri-Ku dan
Aku jadikan kedzaliman sebagai sesuatu yang diharamkan, maka janganlah saling
berbuat dzalim, (HR Muslim).
Menurut
pandangan sebagian ekonom return of
capital diperbolehkan dengan beberapa alasan. Ada beberapa teori yang
digunakan oleh ekonom untuk melakukan
justifikasi terhadap interest rate. (Teori Abstinence menegaskan bahwa ketika
kreditor menahan diri (absen), ia menagguhkan keinginannya memanfaatkan uangnya
sendiri semata-mata untuk memenuhi keinginan orang lain. Ia meminjamkan modal
yang semestinya dapat mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri, jika
peminjam menggunakan uang tersebut untuk memenuhi keinginan pribadi ia dianggab
wajib membayar sewa atas uang yang dipinjamnya. Ini sama halnya ia membayar
sewa terhadap rumah, perabotan, atau kendaraan. Realitanya kreditor hanya akan
meminjamkan uang yang tidak ia gunakan sendiri, kreditor hanya akan meminjamkan
uang berlebih dari yang ia perlukan. Dengan demikian sebenarnya kreditor tidak
menahan diri atas apapun, tentu ia tidak boleh menuntut imbalan atas hal yang
tidak dilakukannya. Teori Opportunity Cost beranggapan bahwa dengan meminjamkan
uangnya berarti kreditor menunggu atau menahan diri untuk tidak menggunakan
modal sendiri guna memenuhi keinginan sendiri, hal itu serupa dengan memberikan
waktu kepada peminjam. Dengan waktu itulah yang berhutang memiliki kesempatan
untuk menggunakan modal pinjaman untuk memperoleh keuntungan, hal itu dijadikan
alasan bagi kreditor berhak untuk menikmati sebagian keuntungan yang diperoleh.
Sebenarnya, masih banyak teori lainnya seperti teori produktif- konsumtif,
teori kemutlakan produktivitas modal dan lain-lain).
Dalam
Islam teori tersebut tidak dibenarkan. Kompensasi yang diterima harus
merefleksikan atas usaha yang dihasilkan. Salah satu teori yang digunakan
sebagai justifikasi pengambilan interest
rate adalah teori nilai uang pada masa mendatang lebih rendah dibanding
masa sekarang, atau konsep inflasi. Inflasi secara umum dapat dipahami sebagai
meningkatnya harga barang secara keseluruhan. Dengan demikian terjadi penurunan
daya beli uang (purchasing power).
Oleh karena itu menurut faham ini pengambilan bunga atas uang sangatlah logis
sebagi kompensasi penurunan daya beli uang selama dipinjamkan. Argumentasi
tersebut sangat tepat seandainya dalam dunia ekonomi yang terjadi hanyalah
inflasi, tanpa ada deflasi atau stabilitas harga.
- Bumi (land)
Land
(bumi) meliputi segala sesuatu yang ada di perut bumi, di atas bumi, atau di
sekitar bumi yang menjadi sumber-sumber ekonomi seperti pertambangan, pasir,
tanah pertanian, sungai, dan lain sebagainya. Bumi bisa diberdayakan untuk
pertanian peternakan, pendirian kawasan industri, perdagangan, sarana transportasi,
ataupun pertambangan. Di awal kedatangan Islam, bumi hanya diberdayakan untuk
sektor pertanian sehingga fokus pembahasan ulama fiqh terletak pada tatacara
pemberdayaan bumi oleh orang lain, serta penentuan return yang harus dibayarkan. Pembahasan fiqh terfokus pada konsep
Ijarah, Muzara’ah, ataupun Musaqah.
Adapun
wujud kepedulian kaum muslimin terhadap sektor pertanian adalah semasa
kekhalifahan Umar bin Khatab telah dibuat saluran irigasi, pembuatan dam dan
saluran air lainnya di negara-negara yang telah dikuasai oleh Islam. Hal
tersebut dimaksudkan untuk mengatur penggunaan air bagi pengairan sawah.
Untuk
mewujudkan keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi, Islam mewajibkan kepada
umatnya untuk memanfaatkan bumi seoptimal mungkin. Hal tersebut diindikasikan
dengan adanya keinginan kaum muslim kepada Umar Bin Khatab untuk membagi
tanah-tanah hasil taklukan, seperti halnya dengan ghanimah (rampasan perang). Setelah Irak berhasil dikuasai,
berdasarkan hasil musyawarah dengan sahabat lainnya Umar menetapkan bahwa bumi
tersebut tetap menjadi milik penuh pemiliknya, akan tetapi pemilik harus
membayar Kharaj. Umar ra. juga
menarik kembali tanah-tanah yang telah diberikan Rasul kepada Bilal bin Harist
al Mazni. Umar ra. berkata :
“
Sesungguhnya Rasul memberikan itu, bukan untuk menghalangi masyarakat lainnya.
Namun, untuk kamu berdayakan, maka ambillah apa yang kamu mampu untuk
mengelolanya dan kembalikanlah bagian yang lainnya. “
Mekanisme pemberdayaan bumi
Ulama
fiqh berbeda pendapat tentang mekanisme yang dapat digunakan untuk
memberdayakan lahan pertanian oleh orang lain dan penentuan return yang berhak diperoleh
masing-masing pihak. Sebagian pendapat, mekanisme yang tepat adalah Muzaraah,
akan tetapi ulama lain menolaknya dan menawarkan konsep penyewaan dengan uang (al-ijarah);
1.
Muzaraah.
Al-Muzaraah
adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap,
dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si-penggarap untuk
ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu misalnya setengah
atau sepertiga dari hasil panen sesuai
dengan kesepakatan (Sayyid Sabiq, 1397). Dengan konsep tersebut mencerminkan
nilai tolong menolong dan saling melengkapi dalam melakukan sesuatu. Terkadang
kita temukan orang yang mempunyai lahan yang cukup potensial tetapi tidak mampu
menggarapnya, dan sebaliknya. Dengan demikian ditemukan kerja sama dua orang
yang mempunyai kemampuan berbeda dalam satu wadah kemaslahatan. Ke-absahan Muzaraah berdasarkan atas hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar bahwa Rasulullah pernah memberikan tanah Khaibar
kepada penduduknya untuk digarap dengan imbalan hasil buah-buahan dan tanaman
(al-Bukhari, ibid).
Pendapat
ulama sangat beragam tentang ke-absahan Muzaraah,
ada sebagian ulama yang melarang tentang operasionalnya, seperti Ikrimah,
Mujahid, Abu Hanifah. Pendapat tersebut berlandaskan atas larangan Nabi tentang
konsep Muzaraah dengan prosentase tertentu. Larangan Nabi dalam Hadits tersebut
tidak bersifat mutlak. Ada hadits lain yang dapat dijadikan pegangan dalam
aplikasi Muzaraah. Dengan catatan return
yang dibagikan merupakan hasil dari usaha yang dilakukan dan dengan prosentase
yang jelas. Ibnu Hazm dan Ibnu Qudamah menambahkan, konsep Muzaraah telah
dilakukan oleh Nabi sampai beliau meninggal, kemudian diteruskan oleh Khulafa
al-Rasyidin dan para istri Nabi SAW (Ibnu Qudamah, Ibid).
2.
Sewa Tanah (al-Ijarah).
Ulama
membolehkan pelaksanaan Muzaraah dengan menggunakan uang, makanan, atau segala
sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai harta. Ibnu Qudamah menuliskan,
sebagian besar ulama memperbolehkan menyewa lahan (tanah) untuk pemberdayaan
sektor pertanian dan peternakan dengan menggunakan emas, perak, atau komoditas
lain selain makanan. Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh
Imam Ahmad. Selain itu mekanisme Muzaraah diperkuat oleh hadits Rafi’ Ibnu
Khadij yang memperbolehkan menyewakan tanah dengan menggunakan uang, namun,
Ibnu Hazm mempunyai konsep lain. Ibnu Hazm tidak memperbolehkan menyewakan
lahan dengan menggunakan dinar, dirham ataupun makanan. Menurut beliau hanya
ada tiga mekanisme dalam upaya memberdayakan lahan pertanian:
a. Diberdayakan oleh pemiliknya sendiri dengan
ditanami
b. Diserahkan kepada orang lain untuk digarap
tanpa adanya kompensasi
c. Memberikan otoritas kepada pihak lain untuk
diberdayakan, diikuti dengan adanya bagi hasil, misalnya setengah , sepertiga,
atau seperempat.
Setelah
kita membaca atas hadits yang disebutkan, tidak ada nash yang secara jelas mengharamkan mekanisme yang ada. Larangan
tersebut ada, ketika terdapat sebuah ketentuan yang dapat merugikan pihak lain,
seperti memaksa kepada penggarap untuk menanam sesuatu di luar batas
kemampuannya atau memperkerjakan seseorang tanpa adanya upah. Penjelasan di
atas memberikan pemahaman bahwa akad yang terjadi atas lahan pertanian atau
lainnya bisa menggunakan konsep Muzaraah atau
Ijarah dengan catatan tidak
menimbulkan kedzaliman pada salah satu pihak.
PENUTUP
Dalam
sistem kapitalisme return yang
diterima oleh pemilik modal berdasarkan atas kekuatan supply and demand dalam mekanisme pasar (harga pasar). Dengan
catatan mekanisme pasar dalam kondisi perfect
competition, seperti apa yang dituliskan Adam Smith. Kondisi tersebut
merupakan sesuatu yang langka terjadi. Dalam realita mekanisme pasar, terutama
dari sisi permintaan terhadap faktor produksi, sering terjadi distorsi baik
berupa ihtikar (penimbunan barang), false demand dan lain sebagainya. Di
sisi yang lain, terdapat perserikatan buruh dan perkumpulan lainnya (sisi
penawaran). Kondisi kekuatan tersebut tidak seimbang, dan tidak membantu dalam
menetapkan kembalian (return) yang kompetitif terhadap faktor-faktor produksi.
Dengan begitu mekanisme pasar beroperasi jauh dari kondisi normal seperti yang
digambarkan Adam Smith, sehingga penentuan return
yang disandarkan pada kekuatan pasar tidak terjadi keseimbangan. Dalam hal ini
intervensi pemerintah merupakan sebuah keniscayaan.
Dalam
Islam, penentuan kembalian (return) atas faktor-faktor produksi dibedakan
berdasarkan macamnya, ada kalanya berupa upah (sewa) dan juga musyarakah atas
keuntungan yang mungkin didapatkan. Penentuan besarnya return bisa berdasarkan atas kekuatan pasar, dengan catatan tidak
boleh melanggar prinsip dasar dan etika yang telah ditentukan oleh Islam. Pasar
dapat kita gunakan sebagai standart untuk menentukan harga, akan tetapi kita
tidak boleh mengabaikan prinsip keadilan. Pasar merupakan tahapan dari beberapa
tahapan dalam penentuan harga, yang berfungsi sebagai pelengkap atas
kaidah-kaidah umum yang telah ditetapkan Islam dan terkadang dalam kondisi
darurat diperlukan intervensi pemerintah di dalamnya. Dengan demikian, kita
bisa menjawab pertanyaan atas return
yang harus dibayarkan oleh sebuah perusahaan terhadap faktor-faktor produksi
yang tidak beroperasi dengan sistem bunga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar