JUAL
BELI SALAM
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hadits
Ekonomi dan Perbankan
Dosen Pengampu: M. Ramadhan H, MA
Disusun Oleh:
Ahmad Muslih (141257210)
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI S1 PERBANKAN SYARI’AHSEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO TAHUN 2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam mengatur
setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya
yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan
sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Hubungan dengan sesama
inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih
muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau
hubungan antara umat satu dengan umat yang lainnya. Salah satu bentuk hubungan
muamalah adalah dengan cara jual beli. Penjual menyediakan barang dan pembeli
yang mebeli barangnya.Tetapi pada kenyataannya konsumen kadang memerlukan barang yang tidak atau
belum dihasilkan oleh produsen sehingga konsumen melakukan transaksi jual-beli
dengan produsen dengan cara pesanan. Di dalam hukum Islam transaksi jual-beli
yang dilakukan dengan cara pesanan ini disebut denga Salam (sebutan ini
lazim digunakan oleh fuqaha Hijaz) atau Salaf (sebutan ini lazim
digunakan oleh fuqaha Iraq).[1]
Sebenarnya bagaimana
pengertian jual beli salam? Apa saja syaratnya? Tentu ini akan menjadi
pambahasan yang menarik untuk dibahas.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang penulis paparkan di atas, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud
dengan jual beli salam?
2. Bagaimanakah
dasar hukum jual beli salam?
3. Bagaimanakah
rukun dan syarat jual beli salam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jual Beli Salam
As-salam dalam istilah fiqih disebut juga as-salaf. Secara
etimologis, kedua kata tersebut memiliki makna yang sama, yaitu mendahulukan
barang dan mengakhirkan barang. Penggunaan kata as-salam biasanya
digunakan oleh orang-orang Hijaz, sedangkan penggunaan kata as-salaf biasanya digunakan oleh orang-orang Irak.
Secara
terminologis salam adalah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau
menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan
pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan di kemudian
hari.[2]Menurut
Sayyid Sabiq, as-salam atau as-salaf (pendahuluan) adalah
penjualan sesuatu dengan kriteria tertentu (yang masih berada) dalam tanggungan
dengan pembayaran segera atau disegerakan.[3] Menurut
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, salam adalah jasa
pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yangpembiayaannya dilakukan
bersamaan dengan pemesanan barang.[4] Selain
definisi tersebut, terdapat beberapa definisi lain mengenai salam yang
berkembang di kalangan fiqaha.
Fuqaha
Syafi’iyah dan Hanbali mendefinisikan jual beli salam adalah akad yang
disepakati dengan menentukan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya lebih
dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian dalam suatu majlis akad.
Sedangkan fuqaha mendefinisikan jual beli salam yaitu Jual beli yang
modalnya dibayar dahulu, sedangkan barangnya diserahkan sesuai dengan waktu
yang disepakati.[5]
Dari
beberapa definisi di atas, disimpulkan bahwa yang dimaksudjual belisalam adalah
transaksi jual beli yang pembayarannya dilaksanakan ketika akad berlangsung dan
penyerahan barang dilaksanakan di akhirsesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati oleh penjual dan pembeli.
Dalam menggunakan akad salam, hendaknya menyebutkan sifa-tsifatdari
objek jual beli salam yang mungkin bisa dijangkau oleh pembeli,baik
berupabarang yang bisa ditakar, ditimbang maupun diukur.Disebutkan juga
jenisnya dan semua identitas yang melekat pada barangyang dipertukarkan yang
menyangkut kualitas barang tersebut. Jual beli salam juga dapat berlaku untuk
mengimport barang-barang dari luar negeridengan menyebutkan sifat-sifatnya,
kualitas dan kuantitasnya. Penyerahanuang muka dan penyerahan barangnya dapat
dibicarakan bersama danbiasanya dibuat dalam suatu perjanjian.[6]Dalam
dunia bisnis modern,bentuk jual beli salam dikenal dengan pembelian dengan cara
pesan(indent).[7] Tujuan
utama dari jual beli pesanan adalah untuk salingmembantu dan menguntungkan
antara konsumen dengan produsen.
B.
Dasar Hukum Jual Beli Salam
1.
Al-Qur’an
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ
كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ
Artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya…” (Al-Baqarah 2:282)
2. Al-Hadits
Ibnu Abbas meriwayatkan
bahwa Rasulullah saw datang ke Madinah di mana penduduknya melakukan salaf
(salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun.
Beliau berkata;
“Barangsiapa yang melakukan salaf
(salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang
jelas pula, untuk jangka waktu yang
diketahui.”[8]
Hadits di atas muncul
sebagai reaksi rasulullah SAW terhadap kebiasaan orang madinah terhadap jual
beli salam dalam waktu satu atau dua tahun. Koreksian diberikan oleh Rasulullah
dalam hadits terhadap ketidak jelasan waktu penyerahan barang, atau pada
spesifikasi barang yang di perjual belikan dari segi ukuran dan kualitasnya.
Jual beli salam merupakan
jual beli yang mempunyai potensi bagi penjual untuk melakukan penipuan dari
segi kualitas kuantitas dan waktu. Oleh sebab itu Rasulullah memberikan aturan
kusus tentang masalah ini. Ini bertujuan agar pihak-pihak yang bertransaksi
tidak saling merugikan dan untuk menghindari terjadinya sengketa antara
keduanya.
Dalam hadits di atas,
jual beli salam merupakan model jual beli yang sudah biasa di praktikkan oleh
masyarakat Madinah sebelum islam masuk ke sana. Islam menerima model jual beli
salam tersebut dengan syarat. Hal itu terlihat dari koreksian islam terhadap
kebiasaan orang Madinah dengan menentukan persyaratan: jelas takarannya, ini
tentunya untuk objek yang ditakar (yang menggunakan alat ukur liter, dan
sejenisnya). Jelas timbangannya, ini tentu untuk objek yang di timbang (yang
menggunakan timbangan) dan jelas pada waktu penyerahan barang.
Jual beli salam hukumnya
sah jika dilakukan sesuai dengan memperhatikan ketentuan yang sudah disepakati
pada waktu transaksi dilakukan, baik kualitas barang, kuantitas barang, harga
dan waktu penyerahan barang.[9]
C.
Rukun dan Syarat Jual Beli Salam
Ulama
Hanafiyah menyatakan bahwa rukun jual beli salam ini hanya ijab (ungkapan dari
pihak pemesan dalam memesan barang) dan qabul (ungkapan pihak produsen untuk mengerjakan
barang pesanan). Lafaz| yang dipakai dalam jual beli pesanan (indent) menurut
ulama Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah adalah lafaz| as-salam, as-salaf,
atau al-bay’ (jual beli). Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, lafaz| yang boleh
dipergunakan dalam jual beli pesanan ini hanya as-salam dan as-salaf. Alasan
ulama Syafi’iyah adalah bahwa menurut kaidah umum (analogi) jual beli seperti
ini tidak dibolehkan, karena barang yang dibeli belum kelihatan ketika akad.
Akan tetapi, syara’ membolehkan jual beli ini dengan mempergunakan lafaz|
as-salam dan as-salaf. Oleh sebab itu, perlu pembatasan dalam pemakaian kata
itu sesuai dengan pemakaian syara’.
Adapun rukun jual
beli salam menurut jumhur ulama, selain Hanafiyah, terdiri atas:
1. Al-Aqid
Al-Aqid
adalah orang yang melakukan akad. Dalam perjanjian salam, pihak penjual disebut
dengan al-Muslam Ilaih (orang yang diserahi) dan pihak pembeli disebut
al-Muslam atau pemilik as-salam (yang menyerahkan).[10]
Keberadaan aqid sangatlah penting, sebab tidak dapat dikatakan akad jika tidak
ada aqid, begitu pula tidak akan terjadi Ijab dan qabul tanpa adanya aqid.
2.
Objek Jual Beli Salam
Yaitu
harga dan barang yang dipesan. Barang yang dijadikan sebagai objek jual beli
disebut dengan al-Muslam Fiih. Barang yang dipesan harus jelas ciri-cirinya dan
waktu penyerahannya. Harga (ra’su maalis salam) dalam jual beli salam harus
jelas serta diserahkan waktu akad.
3. Shigaat (Ijaab dan
Qabuul)
Ijaab (pernyataan
melakukan ikatan) dan qabuul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan
kehendak syari’at yang berpengaruh pada objek perikatan. Yang dimaksud dengan
"sesuai dengan kehendak syari’at" adalah bahwa seluruh perikatan yang
dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak boleh, apabila tidak sejalan dengan
kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu
oranglain, atau merampok kekayaan orang lain. Sedangkan pencantuman kalimat
"berpengaruh pada objek perikatan" maksudnya adalah terjadinya
perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain
(yang menyatakan qabul).
Adapaun
syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli salam adalah sebagai berikut:
1.
Jual beli ini pada
barang-barang yang memiliki kriteria jelas.
Jual beli salam merupakan jenis akad jual beli barang dengan kriteria tertentu dengan pembayaran tunai. Sehingga menjadi sebuah keharusan, barang yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan kriterianya dengan jelas, seperti jenis, ukuran, berat, takaran dan lain sebagainya. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh kedua belah pihak dan menghindarkan sengketa.
Dalam memberikan kriteria masuk dalam syarat ini perlu diperhatikan bahwa masalah kriteria ini akan berbeda dari zaman ke zaman. Sehingga tidak semua yang disampaikan para Ulama ahli fiqh zaman dulu sebagai kriteria barang yang tidak bisa diberikan kreteria jelas itu pasti benar, sebab dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan muncul alat yang dapat mendeteksi criteria dengan jelas sehingga dapat diserahkan sesuai dengan criteria yang disepakati ketika akad.[11]
Jual beli salam merupakan jenis akad jual beli barang dengan kriteria tertentu dengan pembayaran tunai. Sehingga menjadi sebuah keharusan, barang yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan kriterianya dengan jelas, seperti jenis, ukuran, berat, takaran dan lain sebagainya. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh kedua belah pihak dan menghindarkan sengketa.
Dalam memberikan kriteria masuk dalam syarat ini perlu diperhatikan bahwa masalah kriteria ini akan berbeda dari zaman ke zaman. Sehingga tidak semua yang disampaikan para Ulama ahli fiqh zaman dulu sebagai kriteria barang yang tidak bisa diberikan kreteria jelas itu pasti benar, sebab dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan muncul alat yang dapat mendeteksi criteria dengan jelas sehingga dapat diserahkan sesuai dengan criteria yang disepakati ketika akad.[11]
2.
Pembayaran dilakukan
pada saat akad (transaksi). Sebagaimana terfahami dari namanya, yaitu as-salam
(penyerahan), atau as-salaf (mendahulukan), maka para Ulamâ' sepakat bahwa
pembayaran jual beli salam itu harus dilakukan di muka atau kontan saat
transaksi, tanpa ada yang terhutang sedikitpun. Jika pembayaran ditunda
(dihutang) sebagaimana yang sering terjadi, maka akadnya berubah menjadi akad
jual beli hutang dengan hutang (bai’ud dain bid dain) yang terlarang dan
hukumnya haram. Diantara contoh yang terlarang, memesan barang dengan tempo
setahun, kemudian pembayaran dilakukan dengan menggunakan cek atau bank garansi
yang hanya dapat dicairkan setelah beberapa bulan berikutnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Allâh mensyaratkan pada akad salam agar pembayaran dilakukan dengan kontan. Apabila ditunda, niscaya kedua belah pihak sama-sama berhutang tanpa ada faedah yang didapat. Oleh karena itu, akad ini dinamakan dengan as-salam, karena ada pembayaran di muka. Sehingga bila pembayaran ditunda, maka itu termasuk kategori jual beli hutang dengan hutang, bahkan itulah praktik jual beli hutang dengan hutang yang sebenarnya, dan beresiko tinggi, serta termasuk praktek untung-untungan.[12]
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Allâh mensyaratkan pada akad salam agar pembayaran dilakukan dengan kontan. Apabila ditunda, niscaya kedua belah pihak sama-sama berhutang tanpa ada faedah yang didapat. Oleh karena itu, akad ini dinamakan dengan as-salam, karena ada pembayaran di muka. Sehingga bila pembayaran ditunda, maka itu termasuk kategori jual beli hutang dengan hutang, bahkan itulah praktik jual beli hutang dengan hutang yang sebenarnya, dan beresiko tinggi, serta termasuk praktek untung-untungan.[12]
3.
Penyebutan kriteria,
jumlah dan ukuran barang dilakukan saat transaksi berlangsung. Dalam akad jual
beli salam, penjual dan pembeli wajib menyepakati kriteria barang yang dipesan.
Kriteria yang dimaksud di sini ialah segala yang bersangkutan dengan jenis,
macam, warna, ukuran, jumlah barang serta setiap kriteria yang diinginkan dan
berpengaruh pada harga barang. Contoh ; Apabila Ali hendak memesan beras kepada
Budi, maka Ali wajib menyebutkan jenis beras yang diinginkan (misalnya Beras Rojolele),
asal barangnya, kualitas dan kuantitasnya, perkarung diisi berapa kilogram
serta produk tahun kapan. Kriteria-kriteria ini pasti berpengaruh pada harga.
Karena harga beras akan berbeda sesuai dengan perbedaan jenis, kualitas, asal
daerah dan tahun panennya.
4.
Jual beli salam harus
ditentukan dengan jelas tempo penyerahan barang pesanan. Kedua transaktor pada
akad jual beli salam harus ada kesepakatan tentang tempo penyerahan barang
pesanan.
5.
Barang pesanan sudah
tersedia di pasar saat jatuh tempo agar dapat diserahkan pada waktunya. Kedua
belah pihak wajib memperhitungkan ketersediaan barang pada saat jatuh tempo.
Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan
spekulasi perjudian, yang keduanya diharamkan dalam syari'at Islam. Seandainya
barang pesanan dipastikan tidak ada pada saat jatuh tempo maka jual beli salam
tidak sah. Disamping menyebabkan tidak sah, pengabaian syarat ini juga akan
sangat berpotensi memancing percekcokan dan perselisihan yang tercela. Padahal
setiap perniagaan yang rentan menimbulkan percekcokan antara penjual dan
pembeli pasti dilarang.
6.
Barang pesanan
adalah barang yang pengadaannya ada dalam tanggung jawab penjual, bukan dalam
bentuk satu barang yang telah ditentukan dan terbatas. Maksudnya, barang yang
dipesan hanya ditentukan kriterianya. Dan pengadaannya, diserahkan sepenuhnya
kepada penjual. Sehingga ia memiliki kebebasan dalam pengadaan barang yang
sesuai dengan semua kreteria dan ukuran atau jumlah yang diinginkan pembeli.
Penjual bisa mendatangkan barang miliknya yang telah tersedia atau membelinya
dari orang lain. Persyaratan ini ditetapkan agar akad salam terhindar dari
unsur gharar (penipuan). Sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo, karena
faktor tertentu, penjual tidak bisa mendatangkan barang dari miliknya atau dari
perusahaannya.
D. Hikmah
Jual Beli Salam
Di
antara hikmat-hikmat diharuskan jualbeli secara salam ialah :[13]
1. Untuk
memberi kemudahan kepada anggota masyarakat menjalankan urusan perniagaan.
2.
Untuk menanamkan perasaan tolong
menolong di antara satu sama lain.
E. Budi Pekerti
Dalam Jual Beli Salam
Di
antara budi pekerti dalam jual salam, ialah :
1. Masing-masing
hendaklah bersikap jujur dan tulus ikhlas serta hendaklah amanah dalam
perjanjian-perjanjian yang telah dibuat.
2.
Penjual hendaklah berusaha
memenuhkan syarat-syarat yang telah ditetapkan itu.
3.
Pembeli janganlah cuba menolak
barang-barang yang telah dijanjikan itu dengan membusssat berbagai-bagai alasan
palsu.
4.
Sekiranya barang yang dibawa itu
terkurang sedikit daripada syarat-syarat yang telah dibuat, masing-masing
hendaklah bertolak ansur dan mencari keputusan yang sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, M. Ali, Berbagai
Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003).
Sabiq,Sayyid, Fiqih Sunnah, Juz 12, (Bandung: Al-Ma’arif,
1988).
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
al-Zuhaili,Wahbah, al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, Juz IV, (Damaskus: Darul Fikr, 2008)
Mustafa Kamal, et. al., Fikih Islam, (Yogyakarta: Citra
Karsa Mandiri, 2003)
Antonio, Muhammad Syafi’i Bank Syariah, (Jakarta: Gema Insani,
2001)
Enizar, Hadits Ekonomi..,
Chairuman pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam
Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
1994).
Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah.
Ibnul Qayyim, I'lâmul Muwaqqi'in,