Hal Menarik Lainnya

Selasa, 16 April 2019

QAWA’ID FIQHIYYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQHIYYAH)



QAWA’ID FIQHIYYAH
(KAIDAH-KAIDAH FIQHIYYAH)


Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Genap Mata Kuliah Qawaidul Fiqiyah
Dosen Pengampu: Dr. Andi Ali Akbar

Disusun Oleh :

Ahmad Muslih    (141257210)

Kelas C

JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM PROGRAM STUDI S1 PERBANKAN SYARI’AH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JURAI SIWO METRO TAHUN 2015/2016

DAFTAR ISI

BAB I             PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan
BAB II            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Qawa’id Fiqhiyyah
B.     Perbedaan Qawa’id Fiqhiyyah dan Qawa’id Ushuliyyah
C.     Kaidah-kaidah Pokok Fiqih
1.      Kaidah pertama:الأموربمقاصدها
2.      Kaidah kedua :اليقين لايزال بالشّكّ
3.      Kaidah ketiga:المشقّة تجلب التّيسير
4.      aidah keempat :الضّرريزال
5.      Kaidah kelima :العادةمحكّمة
D.    Kaidah-kaidah Cabang

BAB III          PENUTUP
A.    Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
  

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
                Sejak dahulu sampai saat ini tidak ada ulama yang mengingkari akan penting peranan qawaid fiqhiyah dalam kajian ilmu syariah. Para ulama menghimpun sejumlah persoalan fiqh yang ditempatkan pada suatu qawaid fiqhiyah. Apabila ada masalah fiqh yang dapat dijangkau oleh suatu kaidah fiqh, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah kaidah fiqh tersebut. Melalui qawaid fiqhiyah atau kaidah fiqh yang bersifat umum memberikan peluang bagi orang yang melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh dengan lebih mudah dan tidak memakan waktu relatif lama.    
Permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari beragam macamnya. Tentunya ini mengharuskan agar didapati jalan keluar untuk penyelesaiannya. Maka disusunlah suatu kaidah secara umum yang diikuti cabang-cabang secara lebih mendetail terkait permasalahan yang sesuai dengan kaidah tersebut. Adanya kaidah ini tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap pemecahan permasahalan yang muncul ditengah-tengah kehidupan di zaman modern ini.
          Maka, hendaklah mahasiswa memahami secara baik tentang konsep disiplin ilmu ini karenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum Islam. Masih jarang diantara kaum muslim yang memahami secara baik tentang pedoman penyelesaian hukum Islam. Menjadi kewajiban sebagai seorang muslim untuk lebih memahami dan meyikapi persoalan hukum dalam Islam karena proses kehidupan tidak terlepas dari kegiatan hukum.
 
B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Apakah pengertian qawa’id fiqhiyyah?
2.      Apakah perbedaan qawa’id fiqhiyyah dengan qawaid ushuliyyah?
3.      Apa saja kaidah-kaidah pokok fiqih?
4.      Apa saja kaidah-kaidah cabang fiqih?
C.    Tujuan Penulisan
            Tujuan disusunnya makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui pengertian qawa’id fiqhiyyah?
2.      Mengetahui perbedaan qawa’id fiqhiyyah dengan qawaid ushuliyyah?
3.      Mengetahui kaidah-kaidah pokok fiqih?
4.      Mengetahui kaidah-kaidah cabang fiqih?
           
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Qawa’id Fiqhiyyah
            Kata qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan terminologi kaidah mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I menyatakan bahwa kaidah adalah:
القضايا الكلية التى يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزئيات كثيرة
"Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'i  yang banyak"[1]

Sedangkan menurut al-Jurjani al-Hanafi secara terminologi fiqh berarti,:
العلم بالاحكام الشريعة العملية من ادلتها التفصلية وهو علم مستنبط بالرأي والاجتهاد ويحتاج فيه الى النظر والتأمل

”ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan".[2]
            Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang dimaksud dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki:
الامر الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها
"Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu".  [3]

            Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.[4]

B.     Perbedaan Qawa’id Fiqhiyyah dan Qawa’id Ushuliyyah
            Dalam penilaian Ibn Taimiyyah, ada perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid fiqhiyah. Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil umum. Sementara qawaid fiqhiyah merupakan kaidah-kaidah yang membahas tentang hukum yang bersifat umum. Jadi, qawaid ushuliyah membicarakan tentang dalil-dalil yang bersifat umum, sedangkan qawaidul fiqhiyyah membicarakan tentang hukum-hukum yang bersifat umum.
Perbedaan al-qawaid fiqhiyah dan kaidah ushul fiqh secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini:[5]
a.     Qawaid ushuliyyah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum) yang dapat diterapkan pada semua bagian-bagian dan objeknya. Sementara qawaid fiqhiyah adalah himpunan hukum-hukum yang biasanya dapat diterapkan pada mayoritas bagian-bagiannya. Namun, kadangkala ada pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
b.     Qawaid ushuliyyah atau ushul fiqh merupakan metode untuk mengistinbathkan hukum secara benar dan terhindar dari kesalahan. Kedudukannya persis sama dengan ilmu nahwu yang berfungsi melahirkan pembicaraan dan tulisan yang benar. Qawaid ushuliyyah sebagai metode melahirkan hukum dari dalil-dalil terperinci sehingga objek kajiannya selalu berkisar tentang dalil dan hukum. Misalnya, setiap amar atau perintah menunjukkan wajib dan setiap larangan menunjukkan untuk hukum haram. Sementara qawaid fiqhiyah adalah ketentuan (hukum) yang bersifat kulli (umum) atau kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian masalah fiqh. Objek kajian qawaid fiqhiyah selalu menyangkut perbuatan mukallaf.
c.     Qawaid ushuliyyah sebagai pintu untuk mengistinbathkan hukum syara’ yang bersifat amaliyah. Sementara qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum fiqh yang serupa dengan ada satu illat (sifat) untuk menghimpunnya secara bersamaan. Tujuan adanya qawaid fiqhiyah untuk menghimpun dan memudahkan memahami fiqh.
d.    Qawaid ushuliyah ada sebelum ada furu’ (fiqh). Sebab, qawaid ushuliyyah digunakan ahli fiqh untuk melahirkan hukum (furu’). Sedangkan qawaid fiqhiyah muncul dan ada setelah ada furu’ (fiqh). Sebab, qawaid fiqhiyah berasal dari kumpulan sejumlah masalah fiqh yang serupa, ada hubungan dan sama substansinya.
e.     Dari satu sisi qawaid fiqhiyah memiliki persamaan dengan qawaid ushuliyyah. Namun, dari sisi lain ada perbedaan antara keduanya. Adapun segi persamaannya, keduanya sama-sama memiliki bagian-bagian yang berada di bawahnya. Sementara perbedaannya, qawaid ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata.

C.    Kaidah-kaidah Pokok
            Sebagian ulama telah mengembalikan segala kaidah kepada lima kaidah yang mereka pandang sebagai dasar dan sendi bagi segala hukum fiqih.[6] Lima kaidah tersebut semula dinamakan kaidah ushul,[7] yakni kaidah pokok dari segala kaidah fiqih yang ada. Sebab segala permasalahan-permasalahan furu’iyah dapat diselesaikan dengan kaidah pokok yang lima tersebut walaupun seorang mujtahid belum sempat memperhatikan dasar-dasar hukum tafsili.[8]
            Al-Qadli Abu Sa’id mengatakan bahwa ulama Syafi’iyah mengembalikan seluruh ajaran Imam Syafi’i kepada empat kaidah. Dan ini didukung oleh Shahib al-Majami yang mengembalikan segala kaidah itu kepada empat saja, yakni:
اليقين لايزال بالشّكّ ١
“Keyakinan itu tidak dapat dikalahkan oleh keraguan”
المشقّة تجلب التّيسير ٢
“Kesukaran dapat menarik kepada kemudahan”
الضّرريزال  ٣
“Kemudharatan harus dilenyapkan”
العادةمحكّمة  ٤
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”[9]
            Al-Qadli Husein, berpendapat bahwa kaidah yang dipandang induk itu ada lima yang disebut panca-kaidah. Begitu pula sebagian ahli ilmu golongan muta’akhirin. Mereka menmbahkan dari empat kaidah di atas dengan satu kaidah lagi, sehingga menjadi lima kaidah yakni:
الأموربمقاصدها  ٥
“Segala urusan tergantung kepada tujuannya”[10]
1.      Kaidah pertama:        الأموربمقاصدها
“Segala sesuatu itu tergantung pada niat”
a.       Dasar-dasar pengambilan
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَن تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُّؤَجَّلًا ۗ وَمَن يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَن يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا ۚ وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”[11]
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus”[12]
 إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ
“Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.”[13]
Hadits Nabi Saw:
انّماالأعمال بنّيّات وانّمالامرىً مانوى[اخرجه البخارى]
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati.” (HR. Bukhori dari Umar bin Khatthab) [14]
b.      Uraian Kaidah
                        Maksud dari kaidah ini adalah bahwa hukum yang menjadi konsekuensi atas setiap perkara haruslah selalu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari perkara tersebut.[15] Bila yang menjadi tujuan atau maksud dari suatu perkara adalah hal yang haram, meskipun tampaknya baik maka hukum perkara tersebut haram. Sebaliknya, apabila yang menjadi tujuan atau maksud dari suatu perkara adalah baik, meskipun kelihatannya biasa-biasa saja, maka hukum perkara tersebut adalah halal.[16]
                        Di dalam kaidah ini, memberi peringatan bahwa setiap perbuatan manusia, baik yang berwujud perkataan maupun berwujud perbuatan diukur menurut niat si pelakunya. Untuk mengetahui sejauh mana niat si pelakunya itu, haruslah kita lihat adanya qarinah-qarinah yang dapat dijadikan alat untuk mengetahui macam niat dari pelakunya.
                        Misalnya seseorang dalam keadaan junub mengucapkan:
انّالله وإنّاإليه راجعون
“Sesungguhnya kita adalah milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kita akan kembali.”
                        Apabila dengan mengucapkan itu, ia beniat berdzikir karena datangnya musibah, hukumnya tidak haram, tetapi bila ia mengucapkan dengan niat membaca al-Quran, hukumnya haram. Hal semacam ini maksud lafadz tergantung niat yang dilafadzkan, terkecuali kalimat sumpah yang diucapkan di hadapan hakim, sebab kalimat sumpah yang di hadapan hakim yang diperhitungkan adalah niat hakim.[17] Maka jika seseorang terdakwa bersumpah di hadapan hakim: “Demi Allah, saya tidak makan harta anak yatim”, ia meniatkan “tidak makan harta” dengan arti yang sebenarnya, namun yang diperhitungkan ialah niat hakim yang mengartikan  kata makan harta dengan “menggunakan”, sehingga ia di anggap melanggar sumpah, apabila menggunakan harta itu untuk kepentingannya.[18]


2.      Kaidah kedua:            اليقين لايزال بالشّكّ
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”
a.       Dasar-dasar pengambilan
Hadits Nabi Saw.
اِذَاوَجَدَ أَحَدُ كُمْ فِي بَصْنِهِ شَيْئًا فَآَ شْكَلَ عَلَيْهِ اَخَرَجَ مِنْهُ شَيْ ءٌأَمْ لاَفَلاَ يَخْرُجَنَ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَى يَسْمَعَ صَوْتًاأَوْيَجِدْرِيْحًا (رواه مسلم عن أبى هريرة)
“Apabila seseorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya. Kemudian dia ragu apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya atau belum. Maka orang tersebut tidak boleh keluar dari mesjid sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).[19]

هُوَ مَا كَانَ مُتَرَدِّدًا بَيْنَ الثُّبُوْتِ وَ عَدَمِهِ مَعَ تَسَاوِى طَرَفَىِ الصَوَابِ وَالْخَطَاءِ دُوْنَ تَرْجِيْحِ اَحَدِهِمَا عَلَى الْاَخَرِ
“suatu pertentangan antara kepastian dengan ketidakpastian tentang kebenaran dan kesalahan dengan kekuatan yang sama, dalam arti tidak dapat ditarjihkan salah satunya.”[20]
حديث أبي سعيد الخدري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( ثم إذا شك أحدكم في صلاته فليلق الشك وليبن على اليقين فإذا استيقن التمام سجد سجدتين فإن كانت صلاته تامة كانت الركعة نافلة والسجدتان وإن كانت ناقصة كانت الركعة تماما لصلاته وكانت السجدتان مرغمتي الشيطان
“Hadits Abi Said Al-Khudri berkata, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “jika salah seorang dari kamu ragu dalam shalatnya maka buanglah keragu-raguan dan condongkan kepada kepastian, apabila telah yakin shalatnya sempurna maka segeralah melakukan sujud (sahwi) dua kali, maka jika shalatnya sempurna rakaat yang diulangnya tadi dan dua kali sujud yang dilakukaknnya terhitung sebagai sunnah, akan tetapi jika rakaat shalatnya kurang maka rakaat yang belum dilakukannya terhitung sempurna shalatnya, dan dua kali sujud yang dilakukannya tadi untuk menjauhkan dari godaan setan”[21]
                        Imam An-Nawawi berkomentar terhadap hadits diatas: “hadits ini adalah pokok dari syariat Islam, sebuah pondasi kuat dari tegaknya kaidah-kaidah fiqih. Maksudnya adalah segala sesuatu diberi beban hukum atas dasar keberlangsungannya dengan menggunakan pokok-pokok ajaran Islam secara yakin dan pasti serta tidak ada keraguan yang mengganggu pikirannya. Dari hadits diatas tersurat adanya seseorang yang yakin dia dalam keadaan suci akan tetapi terdetik dalam hatinya keraguan dia ber”hadats”, maka yang diunggulkan adalah dia masih dalam keadaan bersuci sampai datang bukti yang menyebutkan dia sudah ber”hadats”.[22]
b.      Uraian kaidah
                        Al-Yaqin menurut bahasa pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya.[23] Ulama sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin yang artinya pengetahuan dan merupakan anonim dari Asy-Syakk. Sedangkan menurut istilah adalah: Menurut Imam Al-Jurjani Al-Yaqin adalah ”meyakini sesuatu bahwasanya ”begini” dengan berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kecuali dengan ”begini” cocok dengan realita yang ada, tanpa ada kemungkinan untuk menghilangkannya”.[24] Imam Abu Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah ”pengetahuan yang bersifat tetap dan pasti dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab tertentu dan tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti”.[25] As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”.[26]
                        Asy-Syakk menurut bahasa berarti anonim dari Al-Yaqin. Juga bisa diartikan sesuatu yang membingungkan.[27] Secara istilah Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada”.[28] Sedangkan Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.[29]
                        Jadi maksud kaidah ini adalah: apabila seseorang telah meyakini terhadap suatu perkara, maka yang telah diyakini ini tidak dapat dhilangkan dengan keragu-raguan (hal yang masih ragu-ragu). Seperti orang yang telah berwudhu, kemudian datang keraguan apakah ia telah diyakini, yakni masih ada wudhu dan belum berhadas.

3.      Kaidah ketiga:            المشقّة تجلب التّيسير
“Kesukaran dapat menarik kepada kemudahan.”
a.       Dasar-dasar pengambilan
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ
“dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”[30]
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”[31]
Hadits Nabi Saw.:
الدّيْنُ يُسْرٌ اَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَةُ (أخرجه البخارى عن أبى هريرة
“Agama itu adalah mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah”. (HR. Bukhori dari Abu Hurairah)
يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا (أخرجه البخارى عن أنس
“Mudahkanlah dan jangan mempersukar”. (HR. Bukhori dari Anas)[32]
b.      Uraian Kaidah
             Al-Masyaqqah asal kata dari  شُقَّة شُقَق  menurut arti bahasa (etimologi) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran.[33] Maksud dari masyaqqah yang bisa menyebabkan kemudahan disini adalah yang bisa menghilangkan tuntutan syar’i (takhlifat al-syar’iyah). Sedangkan masyaqqah yang tidak bisa menghilangkan tuntutan syar’i contohnya merasa berat ketika menerima had, sakitnya razam bagi pezina, hal seperti ini tidak berpengaruh dalam meringankan hukum syar’i.[34]
             Sedangkan al-taisir asal kata يُيَسِّر -يَسَّرَ  secara bahasa berarti kemudahan atau kelenturan, seperti di dalam hadits nabi diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan:[35]
إن الد ين يسر
“Agama itu mudah, tidak memberatkan”
             Dari definisi secara bahasa tersebut sudah bisa dipahami bahwa kesulitan dan kesukaran bisa menjadi sebab kemudahan.
             Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran, maka syari’ah meringankannya sehingga mampu dilaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
             Dari paparan di atas terdapat kesukaran yang dihadapi mukallaf, maka diperlukan pengecualian hukum, yang dalam pelaksanaannya diperhatikan tabiat manusia, kondisi dan kemampuan memikul hukum. Akan tetapi ada standar umum yang sebenarnya bukan kesukaran dan karenanya tidak menyebabkan kemudahan di dalam pelaksanaan ibadah, seperti digigit semut pada waktu sholat, malas berzakat padahal mencapai nishab, atau terasa lapar apabila sedang berpuasa, dalam hal ini Dr.Wahbah az-Zuhaili membagi Al-Masyaqqah (kesukaran) menjadi tiga tingkatan, yaitu :
1)      Al-Masyaqqah al-‘Azhimah (kesukaran yang sangat berat), seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/atau rusaknya anggota badan. Hilangnya jiwa dan/atau anggota badan menyebabkan kita tidak bisa melakasanakan ibadah dengan sempurna. Kesukaran semacam ini membawa kemudahan.
2)      Al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesukaran yang pertengahan, tidak sangat berat juga tidak sangat ringan). Kesukaran semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada kesukaran yang sangat berat, maka ada kemudahan di situ. Apabila lebih dekat kepada kesukaran yang ringan, maka kemudahan di situ. Hal ini tergantung kondisi seseorang dengan berbagai pertimbangan.
3)      Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesukaran yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, malas naik haji padahal sudah dikategorikan mampu, dan lain sebagainya. Kesukaran (masyaqqah) semacam ini bisa ditanggulangi dengan mudah dengan cara sabar dalam melaksanakan ibadah.[36] Alasannya, kemaslahatan dunia dan akhirat, taat kepada perintah Allah lebih utama daripada kesukaran (masyaqqah) yang ringan ini, apalagi masyaqqah ini bisa ditanggulangi.
                        Dari tiga tingkatan yang penulis kutip berdasarkan pendapat Dr.Wahbah az-Zuhaili di atas, yang menjadi kategori masyaqqah tajlib at-taisir (Kesukaran itu dapat menarik kemudahan) adalah kategori yang pertama, alasannya karena lebih tepat terhadap kaidah kemudharan harus dihilangkan (al-dharar yuzal), sedangkan pada kategori kedua dan ketiga adalah apa yang dimaksud masyaqqah tajlib at-taisir (Kesukaran itu dapat menarik kemudahan).
                        Adapun dalam hal kemudahan (at-taisir) para ulama juga telah menyebutkan sebab-sebab yang menimbulkan (akibat diperbolehkan) kemudahan (rukhsah), yaitu:[37]
1)      Kekurangmampuan bertindak hukum ( النَّقْصُ), Misalnya, orang gila dan anak kecil tidak wajib melaksanakan sholat, puasa, bayar zakat dan naik haji. Dalam ilmu hukum, yang berhubungan dengan perilaku ini disebut unsur pemaaf.
2)      Kesulitan yang umum (عُمُوْمُ اَلْبَلْوَى), seperti debu yang berserakan di jalan, maka tidak mungkin seseorang untuk menghindar, atau adanya hama tikus yang jumlahnya sangat banyak menyerang satu desa kemudian meninggalkan air kencingnya yang kering.
3)      Bepergian (اسَّفَرُ), Misalnya, boleh qasar shalat, buka puasa, dan meninggalkan shalat jumat.
4)      Keadaan sakit (اَلْمَرَضُ),  Misalnya, boleh bertayamum ketika sulit memakai air, shalat fardhu sambil duduk, berbuka puasa bulan Ramadhan dengan kewajiban qadha setelah sehat. Ditundanya pelaksanaan had sampai terpidana sembuh, wanita yang sedang mentruasi.
5)      Keadaan terpaksa (اَلْاءِكْرَاهُ), Seperti di ancam orang lain untuk membatalkan puasa ramadhan, sehingga membahayakan jiwanya.
6)      Lupa (اَلنِّسْيَانُ), Seperti seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa.
7)      Ketidaktahuan (اَلْجَهْلُ), Misalnya, orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian berdagang dengan praktik riba.
4.      Kaidah keempat:        الضّرريزال
“Kemudharatan harus dilenyapkan”
a.       Dasar-dasar pengambilan
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”[38]

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”[39]
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”[40]
Hadits Nabi Saw.:
لاَضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَفِى الأِسلاَمِ
“Tidak boleh memberi mudharat kepada orang lain dan tak boleh membalas kemudharatan dengan kemudharatan di dalam Islam.” (HR. Malik, Ibnu Majah dan Ad-Daruqutni)
b.      Uraian kaidah
             Makna dari kaidah اَلضُّرَرُيُزَالُ“Kemudharatan harus dihilangkan” Maksudnya ialah jika sesuatu itu dianggap sedang atau akan bahkan memang menimbulkan kemadharatan, maka keberadaanya wajib dihilangkan.[41]
             Menurut bahasa dharurah berasal dari kata dharar, Sedang kata dharar sendiri, mempunyai tiga makna pokok, yaitu lawan dari manfaat (dhid al-naf’i), kesulitan/kesempitan (syiddah wa dhayq), dan buruknya keadaan (su`ul haal).[42]
             Kata dharurah, dalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasith  mempunyai arti kebutuhan (hajah), sesuatu yang tidak dapat dihindari (laa madfa’a lahaa), dan kesulitan (masyaqqah).[43]
             Menurut istilahnya, dharurah (darurat) mempunyai banyak definisi yang hampir sama pengertiannya, beberapa pengertian diantaranya yaitu:
1)      Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Nah hal seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas batas tertentu.
2)      Abu Bakar Al Jashas, mengatakan  “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak  makan”.
3)      Menurut Ad Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat”.
4)      Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
5)      Menurut Asy Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.[44]
             Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.

5.      Kaidah kelima:           العادةمحكّمة
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”
a.       Dasar-dasar pengambilan
وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”[45]
             Menurut As-Suyuthi seperti dikutip Syaikh yasin bin Isa al-Fadani kata al-‘urf  pada ayat diatas bisa diartikan sebagai kebiasaan atau adat. Ditegaskan juga, adat yang dimaksud di sini adalah adat yang tidak bertentangan dengan syariat. Namun pendapat ini dianggap lemah oleh komunitas ulama lain. Sebab jika al-‘urf diartikan sebagai adat istiadat, maka sangat tidak selaras dengan asbab al-nuzul-nya, dimana ayat ini diturunkan dalam konteks dakwah yang telah dilakukan Nabi SAW kepada orang-orang Arab yang berkarakter keras  dan kasar, juga kepada orang-orang yang masih lemah imannya.[46]
            Sedangkan Abdullah bin Sulaiman Al-Jarhazi menyatakan, sangat mungkin kaidah al-‘aadah muhakkamah ini diformulasikan sesuai dengan muatan pesan yang terkandung dalam al-Qur an surat Al-Nisa’ ayat 115:
 وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Barang siapa menentang Rasul setelah datangnya petunjuk dan mengikuti selain jalan orang-orang Mukmin, maka Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka jahanam. Dan jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Nisa’:155)
                        Al-Jarhazi berargumen, kata sabil adalah sinonim dengan thariq yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti sama, yaitu jalan. Dengan demikian, sabil al-mukmin di sini dapat diejawantahkan sebagai sesuatu yang diyakini sebagai etika dan norma yang baik dalam pandangan kaum muslimin, serta sudah menjadi langganan budaya sehari-hari mereka[47].

Hadits Nabi Saw.:
الوزن وزن أهل مكّة والمكيال مكيال أهل مدينة
“Ukuran berat (timbangan) yang dipakai adalah ukuran berat ahli Makkah, sedangkan ukuran isi yang dipakai adalah ukuran isi ahli madinah” (HR: Abu Dawud).
                        Ukuran berat atau timbangan yang dipakai adalah timbangan ahli Makkah, karena kebiasaan penduduk Makkah adalah pedagang. Sedangkan ukuran kapasitas (isi) yang digunakan adalah yang biasa digunakan oleh penduduk Madinah, karena kebanyakan mereka bergerak dibidang pertanian. Maksudnya, apabila terjadi persengketaan, maka ukuran tersebut yang dipakai pada zaman nabi.
ما رأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka baik pula di sisi Allah”. (HR. Ahmad dari Abi Mas’ud)[48]

b.      Uraian Kaidah
             Secara bahasa, al-‘aadah diambil dari kata al-‘aud (العود) atau al-mu’aawadah (المعاودة) yang artinya berulang (ألتكرار)[49]. Dalam kamus kontemporer bahasa Arab-Indonesia, aadah berarti adat atau kebiasaan[50].
             Secara umum, adat adalah sebuah kecenderungan (berupa ungkapan atau pekerjaan) pada satu obyek tertentu, sekaligus pengulangan akumulatif pada obyek pekerjaan dimaksud, baik dilakukan oleh pribadi atau kelompok. Akibat pengulangan itu, ia kemudian dinilai sebagai hal yang lumrah dan mudah dikerjakan. Aktifitas itu telah mendarah daging dan hampir menjadi watak pelakunya[51]
             Para Ulama mengartikan al-aadah dalam pengertian yang sama dengan pengertian urf, karena substansinya sama, meskipun dengan ungkapan yang berbeda, misalnya al-‘urf  didefinisikan dengan; “Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ulangnya dalam ucapannya dan perbutannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum”[52]
             Az-Zuhaili dalam karya monumentalnya “Ushul Fiqh al-Islami” menyatakan bahwa urf adalah “suatu perbuatan ataupun ucapan  yang telah menjadi kebiasaan dan dikenal oleh masyarakat yang berlaku secara umum”[53]. 
             Menurut Shalih ibn Ghanim, sebenarnya antara al-aadah dan urf  dari segi bahasa terdapat kesamaan dalam segi mashadaqnya (sesuatu yang ditunjuk), namun keduanya mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dari segi mafhumnya. Menurutnya, al-aadah lebih umum dari al-urf. Al-aadah mencakup segala jenis kebiasaan yang berulang-ulang, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik berasal dari individu maupun kelompok dan tanpa memperdulikan apakah kebiasaan itu baik ataukah jelek. Sementara cakupan urf hanya mencakup apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘aadah al-ammah) yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan[54]. Namun, pada akhirnya para fuqaha’ tetap memandang keduanya sebagai sesuatu yang secara substansi sama.
             Dari dua definisi diatas, ada dua hal penting yaitu pertama, di dalam al-‘aadah ada unsur berulang-ulang dilakukan dan kedua, dalam al-‘Urf ada unsur (al-ma’ruuf) dikenal sebagai sesuatu yang baik. Kata-kata al-‘Urf ada hubungannya dengan tata nilai di masyarakat yang dianggap baik. Tidak hanya benar menurut keyakinan masyarakat tetapi juga baik untuk dilakukan dan atau diucapkan. Hal ini erat kaitannya dengan ‘al-amr bi al-ma’ruuf wa al-nahy ‘an al-munkar’ dalam Al-qur an.
            Dari eksplorasi definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa al-‘aadah atau al-‘urf  ini didefinisikan dengan: “apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘aadah al-ammah) yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.”
             Suatu perbuatan yang sudah menjadi adat kebiasaan yang sangat tenar di masyarakat, tetapi karena perbuatan itu bertentangan dengan ketentuan syari’at, misalnya dalam pesta selalu disajikan minuman keras atau disediakan alat-alat perjudian, maka adat yang demikian itu tidak dapat dioper menjadi ketetapan syariat yang diperbolehkan.
             Oleh karena itu suatu adat kebiasaan yang hanya terjadi pada satu segi saja dari suatu perbuatan tidak dapat menduduki tempat suatu syarat. Demikianah menurut pendapat jumhur ulama fiqih yang dilukiskan dalam suatu kaidah yang berbunyi:
“Adat kebiasaan yang ditetapkan dalam suatu segi tidak dapat menduduki tempat syarat”  
             Umpamanya; apabila merata pada masyarakat suatu adat kebiasaan yang mengizinkan kepada orang yang menerima gadai mengambil manfaat dari barang yang digadaikan (dijadikan jaminan suatu utang), maka perizinan pemanfaatan barang yang digadaikan itu tidak menduduki suatu persyaratan dalam gadai. Dengan kata lain bahwa  dalam gadai itu tidak di isyaratkan orang yang menerima gadai itu harus mengambil mengambil manfaat daribarang yang digadaikan.[55]
 
D.    Kaidah-kaidah Cabang
1.      حرم الرّبا
            Riba merupakan tambahan yang diambil atas adanya suatu utang piutang antara dua pihak atau lebih yang telah diperjanjikan pada saat awal mulainya perjanjian. Menrut bahasa, riba adalah zayadah, yaitu tambahan yang diminta atas utang pokok. Dalam istilah fiqih, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok secara batil[56] baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam.[57] Setiap tambahan yang diambil dari transaksi utang piutang bertentangan dengan prinsip Islam. Ibn Hajar Askali mengatakan bahwa, riba adalah kelebihan baik itu berupa kelebihan bentuk barang maupun uang, seperti dua rupiah sebagai penukaran dengan satu rupiah.[58]
            Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah, sedang kelompok kedua ada dua macam, yaitu riba fadl dan riba nasi’ah.[59]
a)      Riba qardh
        Riba qardh adalah suatu tambahan atau kelebihan yang telah disyaratkan dalam perjanjian antara pihak pemberi pinjaman dan peminjam. Dalam perjanjian tersebut bahwa pihak pemberi pinjaman meminta adanya tambahan sejumlah tertentu kepada pihak peminjam pada saat peminjam mengembalikan pinjamannya.
b)      Riba jahiliyah
                    Riba jahiliyah  adalah utang yang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak dapat membayar pada waktu yang ditentukan.[60] Misalnya, Annisa meminjam uang sebesar Rp.10.000.000,- kepada Antony dengan jangka waktu pengembalian satu bulan. Dalam perjanjian disebutkan bila Annisa tidak mengembalikan pinjamnnya dalam satu bulan, maka setiap bulan keterlambatan pembayarannya akan dikenakan tambahan 2% dari pokok pinjaman. Dalam contoh ini, misalnya Annisa melunasi pinjamannya pada bulan kedua, maka Annisa akan membayar sebesar Rp. 10.200.000,- (102% x Rp.10.000.000). Kelebihan pembayaran dari pokok pinjaman sebesar Rp. 200.000,- adalah riba.[61]
c)      Riba fadl
                    Riba fadl adalah tambahan yang diberikan atas pertukaran barang yang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda. Barang yang menjadi objek pertukaran ialah termasuk dalam jenis barang ribawi. Dua pihak melakukan transaksi pertukaran barang yang sejenis, namun satu pihak akan memberikan barang ini dengan jumlah, kadar atau takaran yang lebh tinggi. Maka, kelebihan atas kadar atau takaran barang ribawi yang dipertukarkan merupakan riba.[62]
d)     Riba nasi’ah
                    Riba nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba ini muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.[63]



2.      الغرر
                        Kata ”al-gharar“ dalam bahasa Arab adalah isim mashdar dari kata (غرر) yang berkisar pengertiannya pada kekurangan, pertaruhan (al-khathr) , serta menjerumuskan diri dalam kehancuran dan ketidakjelasan.
                        Sedang secara istilah, Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa : “gharar adalah sesuatau yang majhul(tidak diketahui) akibatnya.”[64]
                        Menurut M.Ali Hasan gharar adalah keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain. Suatu akad yang mengandung unsure penipuan,karena tidak ada kepastian, baik yang mengenai ada atau tidak ada objek akad,besar kecil jumlah maupun menyerahkan objek akad tersebut.[65]
                        Firman Allah Swt.:
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
”Dan janganlah (saling) memakan harta di antara kalian dengan (cara yang) batil dan (jangan pula) membawa (urusan harta) itu kepada hakim (untuk kalian menangkan) dengan (cara) dosa agar kalian dapat memakan sebahagian harta orang lain, padahal kalian mengetahui.” (QS. Al-Baqarah ayat 188)
                        Jika kita kaitkan dengan jual beli gharar kata  “Dan janganlah (saling) memakan harta di antara kalian dengan (cara yang) batil” merupakan suatu contoh jual beli gharar. Dimana apabila seseorang melakukan jual beli yang mengandung gharar akan dikategorikan sebagai memakan harta orang dengan cara yang batil dimana kalau kita lihat pengertian gharar ini adalah ketidakjelasan. Dan akan mempunyai potensi untuk merugikan baik si penjual ataupun si pembeli. Sebagai contoh : ada seseorang yang memiliki pohon durian dan pohon tersebut nampak memilki bunga,si A yang merupakan sorang penjual buah durian di pasar membayar buah durian tersebut sebelum matang atau masih dalam keadaan bunga. Si B pun menyetujuinya dan menerima uang dari si A yang telah membayar pohon si B. Suatu saat si A ingin memanen buah yang telah di belinya tersebut kepada si B tetapi kenyataanya buah tersebut kebanyakan rusak,tidak sesuai dengan harapan si A.
                        Dalam contoh di atas jelas kita lihat bahwa si A dirugikan karena tidak mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan si A. Islam merupakan agama yang paling sempurna melarang jual beli seperti itu. dalam buku yang ditulis oleh  Afzalur Rahman kitab suci Al-Qur’an dan Hadis dengan tegas telah melarang semua transaksi bisnis yang mengandung unsur  kecurangan dalam segala bentuk terhadap pihak lain : Hal itu mungkin dalam bentuk penipuan atau kejahatan,atau memperoleh keuntungan dengan tidak semestinya atau resiko. Yang menuju ketidakpastian di dalam suatu bisnis atau sejenisnya.[66]

3.      بيع الدين بالدين (Menjual hutang dengan hutang)
      Dalam fiqh trnasaksi seperti ini dikenal dengan sebutan bai’ ad-dayn by ad-dayn atau dalam hadits disebut bai’ al-kali bil kali ( بيع الكاليء بالكاليء ). Bentuk transaksi jual beli seperti ini adalah dilarang secara syariah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ (رواه النسائي في الكبرى والحاكم والدارقطني)
“Dari Ibnu Umar ra bahwasanya Nabi SAW melarang jual beli hutang dengan hutang.” (HR. An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra, Daruquthni dan Al-Hakim).[67]
Menjual piutang dengan hutang, bisa terjadi dalam dua bentuk :
a.       ( بيع الدين للمدين ) Menjual piutang kepada orang yang berhutang tersebut, yaitu seperti seseorang yang berkata kapeada orang lain,
·         Saya beli dari kamu satu mud gandum dengan harga satu dinar dengan serah terima dilakukan setelah satu bulan.’
·         Atau seseorang membeli barang yang akan diserahkan pada waktu tertentu lalu ketika jatuh tempo, penjual tidak mendapatkan barang untuk menutupi utangnya, lantas berkata kepada pembeli, ‘;Juallah barang ini kepadaku dengan tambahan waktu lagi dengan imbalan tambahan barang’. Lalu pembeli menyetujui permintaan penjual dan kedua belah pihak tidak saling sarah terima barang.
Cara seperti ini merupakan riba yang diharamkan, dengan kaidah ‘berikan tambahan waktu dan saya akan berikan tambahan jumlah barang.’ ( زدني في الأجل وأزيدك في القدر )
b.      ( بيع الدين لغير المدين ) Menjual piutang kepada orang lain yang bukan orang yang berhutang.
             Hal ini seperti seseorang berkata kepada orang lain, ‘Saya jual kepadamu 20 mud gandum milikku yang dipinjam oleh fulan dengan harga sekian dan kamu bisa membayarnya kepadaku setelah satu bulan.’ Maka transaksi jual beli seperti ini juga termasuk transaksi yang tidak diperbolehkan. 

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Qawa’id Fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.
            Perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid fiqhiyah. Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil umum. Sementara qawaid fiqhiyah merupakan kaidah-kaidah yang membahas tentang hukum yang bersifat umum. Jadi, qawaid ushuliyah membicarakan tentang dalil-dalil yang bersifat umum, sedangkan qawaidul fiqhiyyah membicarakan tentang hukum-hukum yang bersifat umum.
            Kaidah-kaidah pokok fiqih ada lima kaidah yaitu:
1.      الأموربمقاصدها
2.      اليقين لايزال بالشّكّ
3.      المشقّة تجلب التّيسير
4.      الضّرريزال
5.      العادةمحكّمة
            Ada banyak sekali kaidah-kaidah cabang fiqh, tiga di antaranya adalah:
1.      حرم الرّبا
2.      الغرر
3.      بيع الدين بالدين


DAFTAR PUSTAKA 

Ahmad Muhammad Asy-Syafii, ushul fiqh al-Islami, (iskandariyah muassasah        tsaqofah al- Jamiiyah .1983)
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta. Bulan bintang. 1976)
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. (Amzah : Jakarta)
Abdul Wahab Khallaf. Ushul Fiqih. (Semarang: Dina Utama.1994)
Imam Musbakin, Qawaid al-Fiqhiyyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,           2001)
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan             Bintang, 1990)
Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Qalam) Juz I
Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarh Majallat al-ahkam, Jilid 1 (Beirut: Dar al-       Kutub al Ilmiyah)
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah Dalam Prespektif Fiqqih, (Jakarta:     Pedoman Ilmu Jaya, 2004)
Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 1
Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, juz 1
Imam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, juz 1
Imam An-Nawawi, Syarh An-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, juz 2
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaidh Fiqhiyah: Dalam perspektif Fiqih, Pedoman    Ilmu Jaya, Jakarta, 2004
Muhammad Ma’Shum Zein, Sistematika Teori Hukum Islam (Qawa’id-Fiqhiyah), Jawa Jombang: Al-Syarifah Al-Khadijah, 2004
A.Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam          Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta : Kencana, 2007.
Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaidah fiqih Konseptual,   (Surabaya; Khalista, 2009)
Dzajuli, A, Kaidah-kaidah Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010)


                [1] Ahmad Muhammad Asy-Syafii, ushul fiqh al-Islami, (iskandariyah muassasah tsaqofah al- Jamiiyah .1983). hal.4.
                [2] Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta bulan bintang 1975). hal. 25
                [3] Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta. Bulan bintang. 1976).  hlm. 11.
                [4] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. (Amzah : Jakarta) hal. 13
                [5] Abdul Wahab Khallaf. Ushul Fiqih. (Semarang: Dina Utama.1994)  hlm. 45
                [6] Imam Musbakin, Qawaid al-Fiqhiyyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 37
                [7] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 436
                [8] Imam Musbakin, Qawaid al-Fiqhiyyah, opcit., hlm. 37
                [9] Ibid., 38
                [10] Ibid.,
                [11] Q.S Ali Imran 3:145
                [12] Q.S Al-Bayyinah 98:5
                [13] Q.S Al-Zumar 39:2
                [14] Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Qalam) Juz I, hlm. 21
                [15] Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarh Majallat al-ahkam, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al Ilmiyah) hlm. 17
                [16] Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah Dalam Prespektif Fiqqih, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2004), hlm. 11
                [17] Apabila seseorang bersumpah di hadapan hakim yang menyuruh dia bersumpah, maka ucapannyalah yang kita pegang, yakni berdasarkan niat hakim dan niat yang menyuruh bersumpah sendiri, berdasarkan hadits Nabi Saw.:
اليمين على نيّة المستحلف [رواه مسلم]
“Sumpah adalah menurut niat orang yang menyuruh bersumpah” (HR. Muslim, Syarah An-Nawawi 11;hlm. 17)
                [18] Imam Musbakin, opcit., hlm. 43
                [19] Ibid., hlm. 50
                [20] Asyumi A Rahman. Qaidah-qaidah fiqh, ( Jakarta: Bulan Bintang) ,1976.
                [21] Hadist riwayat Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 1 hal. 400. Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, juz 1 hal. 269. Imam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, juz 1 hal. 382.
                [22] Imam An-Nawawi, Syarh An-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, juz 2 hal. 414.
                [23] Ibn Mandzur, Lisan Al-Arab, juz 13 hal. 457. Al-Jurjani, At-Ta’rifaat, hal 332.
                [24] Al-Jurjani, At-Ta’rifaat, hal 322
                [25] Abu Al-Baqa’, Al-Kulliyat, juz 5 hal. 116.
                [26] As-Suyuthi, Al-Asybah Wa An-Nadzair, hal. 58.
                [27] Ibn Mandzur, Lisan Al-Arab, juz 10 hal. 451. Ibn Nujaim, Al-Asybah Wa An-Nadzair, hal 82.
                [28] Al-Maqarri, Al-Mishbah Al-Munir, juz 1 hal. 320.
                [29] Al-Jurjani, Op. Cit. hal 168.
                [30] QS. Al-Hajj ayat 78
                [31] QS. Al-Baqarah ayat ayat 286
                [32] Imam Musbakin, opcit., hlm. 83
                [33] Tim, Kamus Al-Munir(Kamus Lengkap Arab-Indonesia , (Surabaya: Kashiko, 2000). hlm. 302.
[34] Ahmad Sudirman Abbas, Qawaidh Fiqhiyah: Dalam perspektif Fiqih, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 2004. hlm. 84.
[35] Muhammad Ma’Shum Zein, Sistematika Teori Hukum Islam (Qawa’id-Fiqhiyah), Jawa Jombang: Al-Syarifah Al-Khadijah, 2004. hlm. 54.
                [36] A.Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta : Kencana, 2007, hlm. 58.
                [37] Imam Musbakin, opcit., hlm. 87
                [38] QS. Al-Qashas ayat 77
                [39] QS. Al-A’raf ayat 56
                [40] QS. Al-Baqarah ayat 195
[41] As-Suyuti, Op. Cit. hal. 59
[42]Menurut Al-Jurjani dalam At-Ta’rifat hal. 138
[43]Kamus Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 538
                [45] QS. Al-A’raf ayat 199
                [46] Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaidah fiqih Konseptual, (Surabaya; Khalista, 2009), hal. 270.
                [47] Ibid., hal. 271
                [48] Shalih ibn Ghanim, Al-Qawaid al-Kubra, (riyadl: Dar Belensiah,), hal. 342.
                [49] Dzajuli, A, Kaidah-kaidah Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hal. 79
                [50] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kampus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), hal. 1258
                [51] Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaidah Fiqih Konseptual, (Surabaya; Khalista, 2009), hal. 274
                [52] Dzajuli, A, Op. Ci, hal. 80
                [53] Wahbah az-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), hal.828.
                [54] Shalih ibn Ghanim, Al-Qawaid al-Kubra, (riyadl: Dar Belensiah, t.t), hal. 335.
                [55] Imam Musbakin, opcit., hlm.96
                [56] QS. al-Rum, 30: 39 [Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).]
                [57] Antonio. Bank Syari’ah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) hlm. 37
                [58] Ismail. Perbankan Syari’ah, (Jakarta : Kencana, 2011) hlm. 11
                [59] Ilfi Nur Diana. Hadis-hadis Ekonomi, (Malang: UIN-Maliki Press, 2012) hlm. 133
                [60] Ibid., hlm. 133
[61] Ismail. Opcit., hlm. 14
                [62] Ibid., hlm. 15
                [63] Ilfi Nur Diana. Opcit., hlm. 135
                [64] Ibnu Taimiyyah, Majmu Al-Fatawa, Juz III, Dar Al-Fikri, Beirut, hal. 275
                [65] M.Ali Hasan,Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam,(Jakarta:Rajawali Pers,2004) hlm. 147
                [66] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 4,(Jakarta:PT.Dana Bhakti Wakaf,1995) hlm. 162
                [67] Hanya saja Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Bulughul Maram mengomentari bahwa hadits ini dha’if (1/316, lihat Al-Maktabah As-Syamilah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar