Hal Menarik Lainnya

Jumat, 19 April 2019

PRODUKSI DALAM ISLAM


Sumber Gambar: http://pustakamediasyariah.blogspot.com/2015/05/makalah-pes-konsep-produksi-dalam-islam.html

DEFINISI


Produksi merupakan nadi kegiatan ekonomi. Dalam kehidupan ekonomi, tidak akan pernah ada kegiatan konsumsi, distribusi, atupun perdagangan barang dan jasa, tanpa diawali proses produksi. Secara umum, produksi merupakan proses untuk menghasilkan suatu barang dan jasa atau proses peningkatan utility (nilai) suatu benda. Menurut istilah ekonomi, produksi merupakan suatu proses (siklus) kegiatan-kegiatan ekonomi untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu dengan memanfaatkan faktor-faktor produksi (amal, modal, tanah) dalam waktu tertentu.
Dalam perspektif Islam, definisi produksi tidak jauh berbeda dengan apa yang disebutkan di atas. Akan tetapi, ada beberapa nilai yang membuat sistem produksi Islam menjadi sedikit berbeda. Dalam Islam, barang yang ingin diproduksi, proses produksi, serta proses distribusi harus sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dalam arti, semua kegiatan yang bersentuhan dengan proses produksi dan distribusi harus dalam kerangka halal. Untuk itu, terkadang Islam memberikan pembatasan produksi terhadap barang-barang mewah dan bukan merupakan barang kebutuhan pokok. Dengan tujuan, untuk menjaga resources yang ada dan tetap optimal.
Bagi seorang produsen muslim, ada beberapa nilai yang dijadikan sebagai sandaran motivasi untuk melakukan proses produksi. Pertama, profit bukanlah merupakan satu-satunya elemen pendorong bagi seorang muslim untuk melakukan produksi, sebagaimana halnya yang terjadi pada sistem kapitalisme. Walaupun demikian, Islam tidak menafikan hal tersebut. Dalam konteks teori produksi dalam Islam, profit yang halal dan adil menjadi salah satu motivator bukan merupakan satu-satunya tujuan.
Kedua, seorang produsen muslim harus memperhatikan dampak sosial (social return) sebagai akibat atas proses produksi yang dilakukan. Produksi, harus memperhatikan efek negatif yang dapat merugikan lingkungan, seperti; limbah produksi, pencemaran lingkungan, kebisingan, ataupun hal lain yang dapat mengganggu ketentraman hidup masyarakat. Dengan adanya proses produksi pada suatu lingkungan masyarakat diharapkan, akan mampu mengatasi salah satu problematika sosial, yaitu masalah pengangguran. Human Resources Manager (bagian personalia) seharusnya melakukan recruitment terhadap masyarakat yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing, sehingga salah satu masalah sosial dapat diselesaikan.
Selain itu, barang yang diproduksi seorang muslim, harus merefleksikan kebutuhan dasar masyarakat. Ada beberapa barang dan jasa yang menjadi prioritas dan didahulukan untuk diproduksi. Seyogyanya, produsen muslim tidak akan memproduksi barang dan jasa yang bersifat tersier dan sekunder, selama kebutuhan primer masyarakat terhadap barang dan jasa belum terpenuhi.
Ketiga, nilai-nilai spiritualisme. Dalam berproduksi, seorang muslim harus memperhatikan nilai-nilai spiritualisme. Dalam arti, nilai tersebut harus dijadikan sebagai penyeimbang untuk melakukan produksi. Di samping produksi bertujuan untuk mendapatkn profit yang maksimal, seorang muslim harus mempunyai keyakinan bahwa apa yang ia lakukan hanyalah semata-mata untuk mencari ridla Allah. Segala kegiatan produksi yang dilakukan oleh seorang muslim, harus dalam kerangka menjaga perintah dan larangan Allah. Dalam menetapkan harga atas barang dan jasa seyogyanya tidak ada pula pihak yang terdzalimi, harus tetap menjaga nilai-nilai keadilan. Upah yang diberikan kapada karyawan harus mencerminkan daya dan upaya yang telah dilakukan oleh karyawan, sehingga tidak terdapat pihak yang tereksploitasi. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai spiritualisme merupakan pondasi dasar bagi seorang muslim untuk melakukan produksi. Allah berfirman;
“ Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan “.(Al Qashas; 77).
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan, Islam telah memberikan beberapa petunjuk bagi umatnya untuk memanfaatkan dan mengoptimalkan terhadap titipan Allah yang berupa kemampuan dan pemberian fasilitas-fasilitas kehidupan untuk menghasilkan barang dan jasa demi kemaslahatan hidup bersama. Segala sesuatu harus ditempatkan pada porsinya dan harus ada keseriusan serta kesungguhan dalam mengerjakannya. Untuk itu, Islam sangat menganjurkan adanya profesionalisme kerja dalam proses produksi. Dengan adanya konsep tersebut maka hasil yang akan didapatkan bisa optimal dan lebih effisien. Rasulullah bersabda; “Sesungguhnya Allah suka kepada seorang hamba yang sungguh-sungguh dan serius dalam pekerjaannya (profesional)”.
Planning (perencanaan) merupakan sebuah kelaziman bagi proses produksi. Kegagalan dalam membuat perencanaan, sama halnya dengan merencanakan sebuah kegagalan. Perencanaan mempunyai peran penting terhadap eksistensi dan pertumbuhan sebuah perusahaan. Segala elemen yang mendukung terhadap eksistensi sebuah perusahaan harus ditentukan dan dideskripsikan secara jelas dan matang. Sehingga, insya Allah kita akan dapat dengan mudah untuk menentukan kebijakan dan strategi perusahaan. Menurut teori manajemen, ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh seorang produsen demi eksistensi sebuah perusahaan. Langkah tersebut adalah; planning, organizing, actuating, dan controlling.
Produksi mempunyai dimensi ibadah bagi seorang muslim. Dengan alasan, apa-apa yang telah dan akan dilakukan seorang produsen muslim hanyalah semata-mata mencari ridla Allah. Sehingga, semua langkah yang ditempuh, mempunyai nilai ibadah di hadapan Allah. Selain itu, produksi merupakan suatu usaha untuk membangun infrastruktur sebuah masyarakat. Sehingga akan terbentuk sebuah masyarakat yang kokoh dan kuat terhadap sebuah tantangan dan perubahan zaman. Sesungguhnya, seorang muslim yang kuat, lebih baik daripada seorang muslim yang lemah. Seperti halnya sesuatu yang membuat sebuah kewajiban tidak sempurna tanpanya, maka sesuatu itu wajib adanya.

FAKTOR PRODUKSI

Di kalangan para ekonom muslim, belum ada kesepakatan tentang faktor-faktor produksi. (M. Nejatullah S., 1400). Faktor produksi yang disebutkan masing-masing ulama terdapat perbedaan. Antara lain, Al Maududi dan Abu Suud menjelaskan faktor produksi terdiri atas tanah (land), modal (capital), kerja (labor). Berbeda dengan yang disampaikan oleh M.A. Mannan, beliau menyebutkan, faktor produksi hanyalah tanah, dan kerja. Menurut Mannan, capital bukanlah merupakan faktor produksi yang independen, dikarenakan capital bukan merupakan faktor ashal(asli), ia hanya merupakan manifestasi dan barang musytaq (hasil) atas suatu pekerjaan. Sebenarnya, capital merupakan derivasi dari faktor produksi kerja(labor). Dalam term konvensional, capital yang telah diberikan menuntut adanya return, dan biasanya berupa interest rate (bunga). Walau demikian, terdapat kritik atas pendapat Mannan, yang menjelaskan bahwa capital bukan merupakan faktor independen dalam proses produksi;
  1. Kita menyadari, capital merupakan manifestasi amal yang telah dikerjakan. Akan tetapi, dewasa ini capital sudah dianggap sebagai faktor yang independen dan mempunyai peran sendiri bagi produksi. Dalam sistem produksi modern, capital merupakan sebuah kelaziman bagi proses produksi yang akan dilakukan. Diakui, capital mempunyai kontribusi yang cukup berarti dalam proses menghasilkan barang dan jasa ketika bergabung dengan faktor produksi yang lainnya. Selain itu, dengan adanya capital, barang dan jasa yang dihasilkan mempunyai utility lebih dari yang lain.
  2. Yang dimaksud dengan capital, bukanlah uang semata. Uang hanya merupakan medium of exchange (alat pembayaran) yang akan berubah menjadi capital setelah uang tersebut diinvestasikan. Dalam pemahaman ekonomi, capital adalah semua infrastruktur yang berfungsi untuk menjaga eksistensi sebuah perusahaaan. Seperti; mesin, alat-alat produksi, transportasi, dan lainnya. Atas kontribusinya dalam meningkatkan nilai suatu barang dan jasa, capital berhak mendapat return (kompensasi). Return yang diberikan tidak harus berupa harga yang fixed (pre-determined), akan tetapi bisa diwujudkan dengan uang sewa ataupun prosentase (bagi hasil) atas profit yang didapatkan.
Menurut Al Najjar, faktor produksi hanya terdiri dari dua elemen, yaitu kerja (labor), dan capital. Al Najjar berpendapat, land merupakan bagian dari capital, sedangkan manajemen merupakan manifestasi pekerjaan. Abu Sulaiman menyatakan, kerja bukanlah merupakan faktor produksi, pemikiran tersebut muncul berdasarkan atas falsafah kapitalisme yang menganggap produksi merupakan tujuan akhir kegiatan ekonomi. Menurut dia, faktor produksi hanya terdiri capital, dan land (M. Nejatullah Siddiqi, ibid). Menurut syariah, hukum asal dalam bermuamalah (bertransaksi) adalah ibahah (diperbolehkan) sepanjang tidak ditemukan nash atau dalil yang melarang atas langkah dan tindakan yang kita ambil. Maka, tidak ada salahnya apabila kita (Islam) mengadopsi pemikiran konvensionl tentang faktor-faktor yang berfungsi sebagai elemen penunjang kegiatan produksi. Dapat disimpulkan, faktor-faktor produksi adalah kerja, modal (capital) ,dan sumber daya alami (natural resources), dengan pemahaman yang berbeda.
  1. Kerja (Amal)
Dalam perspektif Islam, kerja adalah segala daya dan upaya yang telah dicurahkan oleh manusia, baik berupa fikriyah (pemikiran, ide, konsep), ataupun jasadiyah (tenaga, gerakan) untuk menghasilkan atau meningkatkan kemanfaatan atas barang atau jasa yang diperbolehkn secara syara’. Definisi kerja yang dijelaskan Islam sangat luas. Di sini, kerja akan dipersempit maknanya menjadi sebuah kreatifitas untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibenarkan secara syara’. Seperti rutinitas dalam sebuah industri atau perusahaan, perdagangan, pertanian, kedokteran, pendidikan, ataupun jasa-jasa lain yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Pemberian Allah atas segala kemampuan dan sumber-sumber kehidupan menuntut sebuah kewajiban bagi manusia untuk melakukan proses pemberdayaan, sehingga mendatangkan kemanfataan bagi kehidupan manusia. Dalam melakukan pekerjaan, ada dua tujuan yang ingin dicapai oleh seorang muslim, yaitu materialisme dan spiritualisme (akhirat). Dalam pandangan Islam, setiap langkah dan gerakan manusia dalam bekerja akan mempunyai nilai-nilai ibadah (spiritual), jika diniatkan dalam kerangka mencari ridla Allah. (Abdul Sami’ Al Mishri; 1402). Dapat dikatakan, pekerjaan yang kita lakukan merupakan ibadah kita dalam berekonomi. Rasulullah bersabda;” Bekerja merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim”. Riwayat lain menyatakan;”Bekerja secara halal merupakan kewajiban atas kewajiban lain yang telah kita lakukan”. (Muhammad bin Al Hasan As Syaibani: 1357). Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda; “ Barang siapa terlelap tidur karena kelelahan mencari rizki yang halal, maka orang tersebut tidur dalam ampunan Allah” (ibid).
Dalam Al Qur’an Allah memberikan beberapa petunjuk kepada manusia tentang tata cara mencari rizki, Allah berfirman:
” Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kapada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (Al Mulk: 15).
Dalam ayat lain Allah berfirman; “ Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung” (Al Jum’ah; 10).
Dalam beberapa hadist, Rasulullah memberikan beberapa motivasi pada muslim untuk giat bekerja dan menghindarkan diri dari sikap meminta-minta dan bergantung pada orang lain. Rasul bersabda; ”Apa yang dimakan oleh seseorang tidak lebih baik dari apa yang dimakannya atas hasil usahanya sendiri, sesungguhnya Nabi Daud as. memakan dari apa yang dihasilkan dari usahanya”. Dalam hadist lain, Nabi bersabda;” Pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar demi mendapatkan rizki, jauh lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain”. (Shahih Bukhari, jilid III).
Bekerja merupakan pondasi dasar sebuah kegiatan produksi, bekerja juga berfungsi sebagai pintu pembuka rizki. Menurut Ibnu Khaldun, bekerja merupakan unsur yang paling dominan bagi proses produksi dan merupakan sebuah ukuran yang benar (standart) atas sebuah nilai. Proses produksi akan sangat bergantung terhadap usaha atau kerja yang dilakukan oleh karyawan, baik secara kualitatif atau kuantitatif. Ibnu Khaldun menjelaskan, faktor produksi yang lain berfungsi sebagai komplementer atas daya dan upaya manusia dalam menghasilkan barang dan jasa. Selain itu, dengan adanya profesionalisme dalam bekerja akan meningkatkan nilai atas hasil produksi. Pendapat tersebut telah mendahului dari apa yang dituliskan oleh Adam Smith. (Ibnu Khaldun; 1978). Ibnu Khaldun berpendapat :
“ Ketahuilah, sesungguhnya bekerja dilakukan untuk memiliki dan bertujuan untuk menghasilkan sesuatu, maka untuk mendapatkan rizki harus ada usaha dan kerja walaupun untuk mendapatkannya ada beberapa cara. Allah berfirman; “ Maka carilah rizki di sisi Allah “. Usaha yang kita lakukan semata-mata atas kuasa dan ilham Allah, segala sesuatu dari Allah, akan tetapi kita perlu melakukan usaha manusiawi dalam setiap pekerjaan kita, walaupun obyek yang kita kerjakan bisa tumbuh dengan sendirinya, seperti hewan, tumbuhan, dan tambang, tetap dibutuhkan usaha manusia untuk mendapatkan manfaatnya seperti yang kita lihat…. (Ibnu Khaldun, 1978).

Etika Kerja dan Penetapan Upah

Bekerja merupakan inti kegiatan ekonomi, tanpa adanya bekerja, maka roda kegiatan ekonomi tidak akan pernah dapat berjalan. Berdasarkan atas urgensi kerja bagi kegiatan ekonomi, Islam mempunyai beberapa etika yang harus dijadikan sebagai pegangan. Baik etika yang mengatur tentang hubungan antar pekerja dengan pengusaha, pekerja dan pengusaha dengan lingkungan sekitar (negara), ataupun kriteria pekerjaan yang diperbolehkan oleh syariah. Bekerja merupakan kewajiban bagi setiap individu dan masyarakat, tidak ada alasan untuk bermalas-malasan dan bergantung kepada pihak lain demi tegaknya sebuah kehidupan masyarakat. Bekerja merupakan fardlu kifayah, jika bekerja itu dapat mendorong kegiatan ekonomi yang dapat menghadirkan barang dan jasa yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Seluruh individu masyarakat akan berdosa apabila tidak ada seorangpun yang mau untuk melakukan kegiatan tersebut. Selain itu, Islam telah memberikan beberapa nilai ataupun konsep dasar atas bekerja. Di antaranya, dalam bekerja harus ada kesungguhan dan kejujuran (siddiq), keadilan, kepercayan (amanah), dan keikhlasan. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah menyukai kesungguhan seorang hamba ketika melakukan sebuah pekerjaan”. ( Jalaluddin as Suyuthi, 1401).
Dalam konteks ekonomi makro, negara mempunyai beberapa peran yang harus dijalankan untuk mengatur dan mengawasi jalannya kegiatan ekonomi. Akan tetapi, peran yang dijalankan negara tidak berhubungan dengan intervensi atas kebebasan individu untuk memilih jenis pekerjaan yang diminati serta penetapan upah pekerja. (Muhammad al Mubarak; 1400). Adapun peran negara dalam kehidupan ekonomi adalah sebagai berikut;
  1. Menyediakan lapangan pekerjaan serta melakukan training dan pembinaan terhadap warga, serta mendorong bagi para investor untuk melakukan investasi bagi kegiatan ekonomi untuk mencapai kemaslahatan bersama (altruisme).
  2. Mengawasi jalannya kegiatan ekonomi, hubungan karyawan dan pengusaha, menciptakan suasana kondusif bagi proses produksi serta menentukan tingkat upah dan waktu pembayarannya.
  3. Mempunyai wewenang terhadap pihak tertentu untuk melakukan kegiatan ekonomi yang bersifat dlaruriyah bagi kehidupan masyarakat ataupun melarang kegiatan ekonomi yang dapat merusak tatanan sosial ekonomi masyarakat

Ibnu Taimiyah berpendapat,
“ Ketika masyarakat sangat membutuhkan pertanian, tekstil, ataupun konstruksi bangunan maka negara mempunyai wewenang untuk memaksa terhadap pihak tertentu untuk merealisasikannya ketika mereka menolak melakukan pekerjaan tersebut , tentunya tetap ada kompensasi. Tidak dimungkinkan bagi mereka untuk meminta tambahan atas  kompensasi yang seharusnya mereka dapatkan, dan dimungkinkan bagi masyarakat untuk mendzalimi mereka, dengan memberikan sesuatu yang bukan haknya. (Ibnu Taimiyah; Al Hisbah fi al Islam)
Berdasarkan penjelasan Ibnu Taimiyah, dapat dipahami seorang karyawan berhak mendapatkan upah atas segala sesuatu yang telah dilakukan. Islam mewajibkan kepada umatnya untuk memberikan upah kepada para karyawan atas jerih payah dan usaha yang dilakukan, ketentuan tersebut untuk menghapus sistem feodalisme yang mengeksploitasi pikiran dan tenaga karyawan. Dalam pemberian upah Islam tidak memberi ketentuan tentang macam upah yang harus diberikan serta mekanisme pembayarannya. Tetapi, Islam memberikan satu syarat ketika kita memberikan upah, yaitu prinsip keadilan. Penentuan kadar dan jumlah upah yang harus diberikan kepada karyawan tidak hanya berdasarkan kekuatan pasar (supply and demand) yang terkadang menimbulkan kedzaliman pada salah satu pihak. Upah yang diberikan karyawan harus cukup meng-cover kebutuhan dirinya dan keluarganya, ulama’ fiqh menyebutnya dengan “ Had al Kifayah “ (batas kecukupan). Proses pembayaran upah tersebut harus kontan dan tidak diperbolehkn adanya unsur kesengajaan untuk mengakhirkannya. Allah berfirman:
“ Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya … “ (At Thalaq; 6)
Rasulullah bersabda: “ Berikanlah upah kepada para pekerja, sebelum kering keringatnya “ (Ibnu Majah dan Thabari, jilid I).
Hubungan yang terjadi antara pengusaha dan karyawan, merupakan hubungan kerja (kontrak). Pemerintah tidak mempunyai hak untuk melakukan intervensi terhadap kesepakatan yang ada, ia hanya memiliki wewenang untuk mengawasi dan mengatur kegiatan ekonomi. Hak intervensi baru dapat dijalankan, ketika terjadi tindak kedzaliman dan eksploitasi di antara keduanya. Pemerintah bisa melakukan ijbar (pemaksaan) terhadap pengusaha dan karyawan untuk melakukan kegiatan produksi guna memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Dalam kondisi tersebut, intervensi pemerintah merupakan suatu kewajiban untuk mencegah terjadinya tindak kedzaliman dan eksploitasi. Ibnu Taimiyah berpendapat:
“ Pemerintah mempunyai hak intervensi dalam kegiatan ekonomi. Pemerintah mempunyai hak untuk melakukan ijbar terhadap pihak yang terkait untuk melakukan kegiatan produksi guna memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Atas usaha yang telah dilakukan, pihak terkait berhak mendapatkan ajr mitsli (kompensasi). Upah yang diberikan oleh pemerintah tidak boleh kurang dari ajr mitsli, begitu juga sebaliknya, pihak terkait tidak boleh meminta sesuatu lebih dari ajr mitsli. Usaha yang dilakukan pemerintah merupakan bentuk tas’irul amal (penentuan kerja)”.
(Ibnu Taimiyah, al Hisbah fil Islam).
  1. Modal (Capital)
Menurut pandangan ekonom, capital adalah bagian dari harta kekayaan yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa, seperti mesin, alat produksi, equipment (peralatan), gedung, fasilitas kantor dan transportasi, dan lainnya. Dalam operasionalnya, capital mempunyai kontribusi yang cukup berarti bagi terciptanya barang dan jasa. Sebagai konsekwensi, capital berhak mendapatkan kompensasi atas jasa yang telah diberikan. Dalam kapitalisme, capital berhak mendapatkan interest rate (bunga) sebagai return of loans (kompensasi pinjaman).
Merujuk pada Islam sebagai peta kehidupan ekonomi, kembalian pinjaman (return of loans) yang diberikan dibedakan berdasarkan atas jenis komoditas yang dipinjamkan (invested). Apabila capital yang diinvestasikan berupa uang, maka konsep syariah yang bisa digunakan adalah profit loss sharing (bagi hasil). Namun, jika yang diinvestasikan berupa mesin dan peralatan lainnya, yang wajib dibayarkan adalah biaya sewa atas peralatan tersebut.
Berdasarkan jangka waktu penggunaan capital, asset (capital) bisa dibedakan menjadi dua macam, fixed asset (aset tetap) dan variable asset (aset berubah). Fixed asset adalah capital yang digunakan untuk beberapa proses produksi dan tidak terjadi perubahan, seperti bangunan, mesin, dan peralatan. Variable asset adalah capital yang digunakan untuk satu proses produksi dan akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan proses produksi yang dilakukan, seperti; labor, sumber energi, bibit, pupuk dan lainnya. Seperti halnya capital yang digunakan untuk kegiatan perdagangan, pertanian, ataupun peternakan.

Urgensi Capital

Capital bisa kita dapatkan dengan cara mengambil dari sebagian income yang diproyeksikan untuk kegiatan investasi sebagai ganti atas kegiatan konsumsi yang kita lakukan (dengan cara menyimpan). Dengan adanya kegiatan tersebut, capital yang akan didapatkan oleh masyarakat akan menjadi besar sebagai akumulasi atas dana-dana tersebut. Sebagai efek domino, kegiatan produksi akan semakin berkembang dan roda perekonomian dapat berjalan.
Capital mempunyai peranan penting dalam kehidupan ekonomi, capital merupakan sesuatu yang lazim bagi perkembangan kegiatan produksi dalam Islam. Kita tidak akan mampu menghasilkan barang dan jasa, tanpa adanya kontribusi capital. Capital merupakan faktor komplemen bagi faktor produksi lainnya. Kita menyadari akan pentingnya capital dalam dunia ekonomi, namun kita tidak boleh menafikan eksistensi human resources (tenaga kerja) dalam melakukan kegiatan ekonomi. Adalah sebuah kelaziman bagi masyarakat muslim untuk melakukan investasi bagi perkembangan dan kemajuan manusia, baik intelektualitas ataupun kemampuan (skills) yang dimiliki. Mimpi tersebut bisa diwujudkan dengan cara mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, training center, atau lembaga lainnya. Sosok manusia harus diperhatikan keselamatan dan kesehatannya, untuk itu diperlukan pendirian rumah sakit, medical center, dan lainnya. Akhirnya, akan didapatkan sumber daya insani yang mempunyai kemampuan, ketrampilan, dan kesehatan yang cukup berarti untuk mengimbangi mesin dan peralatan produksi. (Theodore W. Schultz, 1961).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk memahami konsep modal. Kita harus bisa membedakan antara proses investasi dan membelanjakan uang yang kita miliki. Seseorang yang membelanjakan tabungannya untuk kegiatan mudharabah dalam pertanahan atau membeli saham di pasar modal, hal tersebut bukan merupakan kegiatan investasi. Karena hal tersebut tidak membentuk kumpulan modal baru. Lain halnya, jika seseorang menggunakan uangnya untuk kegiatan produksi, maka hal itu dinamakan investasi.
Harta merupakan pokok kehidupan, tanpa adanya harta segala kegiatan kehidupan akan mandul adanya. Untuk itu, Islam mempunyai beberapa petunjuk dalam kerangka membelanjakan harta. Islam mendorong seorang muslim untuk pandai dalam melakukan kegiatan konsumsi, harus ada prinsip keadilan, tidak boros dan tidak bakhil. Allah berfirman :
“ Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian “. (Al Furqan; 67)
Dalam berkonsumsi, kita tidak boleh terlalu boros dan jangan terlalu bakhil, akan tetapi harus ada keseimbangan di antara keduanya. Sebaik-baik perkara adalah tengah-tengah (keseimbangan). Islam memerintahkan kepada pribadi muslim untuk pandai-pandai dalam melakukan konsumsi, selain itu, Islam juga mengajak muslim untuk melakukan investasi sebagai pengganti atas penimbunan harta yang dilarang oleh agama. Allah berfirman:
“ Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengn jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih “. (At Taubah; 34).
Dalam konteks ayat tersebut, terdapat perbedaan dalam konsep penyimpanan dan penimbunan harta. Iddikhor (penyimpanan) adalah sebuah konsep tentang penyimpanan sebagian income dalam waktu tertentu dengan tujuan untuk investasi dan pre-caution (dana talangan untuk jaga-jaga). Sedangkan Iktinaz (penimbunan) adalah konsep penyimpanan harta tanpa adanya transaksi atas harta tersebut. Harta dibiarkan tersimpan tanpa adanya pembelanjaan. Dengan adanya kegiatan tersebut, current money (peredaran uang) yang ada di dalam pasar akan berkurang, sehingga pasar tidak dapat berjalan secara normal. Akan terjadi mismatch antara money supply dengan money demand dalam mekanisme pasar. Ulama fiqh menafsirkan, iktinaz adalah harta yang tidak dikeluarkan zakat atasnya dan tidak dimanfatkan dalam kegiatan ekonomi. Dengan adanya konsep zakat, akan terjadi kegiatan investasi tidak langsung. Dalam arti, dana zakat yang diberikan kepada para mustahik, akan menjaga kebutuhan dasar mereka terhadap barang dan jasa. Demand yang dilakukan para mustahik, akan menggairahkan sektor produksi sehingga pendapatan dan kesejahteraan bersama tetap terjaga (altruisme).
Dalam kegiatan investasi, negara juga dapat ikut andil di dalamnya. Usaha yang dilakukan dengan cara menyediakan infrastruktur bagi kegiatan ekonomi, membangun sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan ekonomi, seperti; perbankan, bank sentral, departemen keuangan, dan lainnya. Investasi yang dilakukan pemerintah bisa diwujudkan dengan membangun fasilits umum (public property), seperti; air port, pelabuhan, transportasi, dan lainnya. Di samping itu, negara tidak boleh melalaikan perannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal tersebut dimaksudkan demi terciptanya sumber daya insani yang mempunyai kecukupan dalam intelektualitas, etika, ataupun kemampuan (skills). 

Substansi Kembalian Modal dalam Islam (Return of Capital)

Ulama fiqh tidak berbeda pandangan tentang konsep capital dengan para ekonom. Capital adalah bagian dari harta kekayaan yang dimaksudkan untuk menghasilkan barang dan jasa, akan tetapi fokus pembahasan tersebut terletak pada konsep harta yang bersifat umum. Menurut As Suyuthi, harta adalah segala sesuatu yang dimungkinkan untuk dimiliki oleh manusia dan bermanfaat bagi lingkungan. Imam Syafi’I berpendapat, harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai dan dapat diperjualbelikan, dan diwajibkan bagi yang merusaknya untuk mengganti. (R. Sayyid al Iwadhi, 1400).
Pengertian tersebut, tidak berbeda jauh dengan definisi harta kekayaan yang meliputi segala barang ekonomi yang dapat dimiliki oleh individu dalam waktu tertentu. Untuk itu, sebenarnya definisi ulama tentang konsep harta sangat luas, dan bisa mencakup pengertian capital. Islam mempunyai batasan dan aturan yang jelas tentang penggunaan harta. Pemilik hakiki atas harta hanyalah Allah semata, manusia merupakan wakil Allah yang diberikan kekuasaan oleh Allah untuk memakmurkan bumi serta memberdayakan segala fasilitas kehidupan yang telah diberikan Allah demi terciptanya sebuah kemaslahatan. Untuk itu, kepemilikan manusia atas harta benda bukanlah merupakan kepemilikan mutlak, sebuah kepemilikan yang hanya terbatas pada pemanfaatan jika terdapat kebutuhan.
Selain itu, Islam menganjurkan pada umatnya untuk memberdayakan dan memanfaatkan harta kekayaan yang ada demi menjaga eksistensi sebuah kehidupan. Muslim, juga diwajibkan untuk menyerahkan hak orang lain terhadap harta kekayaan dengan membayar zakat, infaq, ataupun sadaqah pada kerabat atau orang yang membutuhkan. Untuk mengakomodasi keinginan manusia dalam memberdayakan harta kekayaan, Islam mempunyai beberapa konsep dasar, ataupun kaidah umum dalam bermuamalah, seperti tata cara berkonsumsi, jual beli, investasi, musyarakah, dan lainnya. Sebagai penyeimbang, Islam juga memberikan batasan ataupun larangan dalam melakukan kegiatan ekonomi, seperti larangan atas penipuan, jual beli barang haram, ataupun proses produksi yang dilarang. Pelarangan tersebut dimaksudkan untuk menjaga hak masing-masing pihak serta mencegah terjadinya dlarar bagi pihak lain. Islam juga memberikan hak kepada masyarakat untuk mengawasi kegiatan individu dalam memanfaatkan harta kekayaan supaya tidak terjerumus dalam bisnis yang sia-sia. Seperti palarangan terhadap safih (buta dalam ekonomi) untuk men-tasarruf-kan hartanya. Allah berfirman:
“ Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik “.(An Nisaa; 5).
Adapun return of capital yang berhak diterima oleh pemilik modal yang menginvestasikannya, adalah prosentase tertentu dari profit yang diterima dalam suatu usaha. Return yang berhak diterima orang lain atas investasi yang diberikan dalam suatu usaha, berdasarkan atas perbedaan jenis harta kekayaan yang diinvestasikannya. Harta investasi bisa berupa mesin, peralatan produksi, transportasi, ataupun uang.
  1. Fixed Asset
Pemanfaatan alat-alat produksi, mesin, bangunan, sarana transportasi dan lainnya dapat meningkatkan efisiensi. Namun, dalam waktu yang sama peralatan dan mesin tersebut mengalami penyusutan nilai (depresiasi). Pemanfaatan dan penyusutan nilai tersebut, menuntut kompensasi untuk menegakkan nilai-nilai keadilan. Kompensasi yang diberikan atas pemanfaatan dan penyusutan nilai disebut dengan konsep ajr (upah). Ulama fiqh yang telah membahas tentang konsep ajr dan ijarah adalah Ibnu Hazm al Andalusi. Ibnu Hazm berpendapat, Ijarah bisa diterapkan dalam semua jenis barang yang mempunyai nilai manfaat  dan tidak rusak ketika digunakan. Dalam arti, kemanfaatan atas barang tersebut tetap ada, dan barang tidak mengalami kerusakan. Makanan tidak bisa disewakan, karena kemanfaatan yang ada hanya sekali dan barang mengalami kerusakan. Bersandar atas keterangan yang dijelaskan oleh Ibnu Hazm, alat mesin, peralatan produksi, transportasi, dan bangunan bisa dijadikan sebagai obyek sewa.
Dalam fixed asset, akad yang digunakan lebih tepat dengan akad al Ijarah, bukan akad musyarakah. Misal; ada dua pihak yang mempunyai kemampuan berbeda, pihak I mempunyai peralatan produksi, sedang pihak II mempunyai kecakapan dalam menjalankan bisnis. Skim yang tepat untuk menjalankan usaha tersebut, pihak I menyewakan peralatan kepada pihak II dengan memberikan upah tertentu dan dalam waktu tertentu. Dalam akad tersebut, tidak tepat apabila menggunakan akad mudharabah. Dalam arti, pihak I memberikan kemampuan dan usahanya, pihak II memberikan peralatan dan modalnya. Kemudian kedua pihak melakukan partnership dan bersekutu dalam untung dan rugi. Dalam hal ini, ulama lebih memilih akad Ijarah daripada akad Mudharabah dengan beberapa alasan;
    1. Sempurnanya syarat-syarat akad al Ijarah, sebagaimana disebutkan Ibnu Hazm
    2. Mudah melakukan perhitungan matematis terhadap penggunaan peralatan berhubungan dengan upah yang harus dibayarkan.
    3. Rendahnya resiko investasi atas kontribusi peralatan produksi dalam menghasilkan barang. Dalam arti, fixed asset mempunyai peran yang lebih besar dalam proses produksi dibandingkan dengan faktor lainnya
    4. Tidak sempurnanya syarat Mudharabah, ra’sul maal (modal) yang diberikan biasanya berupa uang.
Walaupun begitu, ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa return of capital yang diberikan kepada pemiliknya, bisa dari keuntungan yang didapatkan  (prosentase tertentu). Ibnu Qudamah menyatakan, Mudharabah tidak bisa dengan menggunakan barang dagangan sebagai modal, dikarenakan mudharabah merupakan salah satu bentuk perdagangan atas barang, akan tetapi seseorang boleh menyerahkan barang yang dimiliki, atau hewan ternak bagi orang yang bekerja dengan hewan tersebut, kemudian hasil yang didapatkan dari barang dan hewan tersebut dapat dibagi dengan prosentase tertentu, hal tersebut diqiyaskan dengan Musaqah dan Muzara’ah. (Ibnu Qudamah, jilid V).
b. Financial Asset
Financial asset adalah sebuah modal yang berupa uang yang diinvestasikan untuk membiayai proses produksi. Skim yang digunakan untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut dapat menggunakan Syirkah. Sebuah skim yang terdiri atas kerja sama dari beberapa pihak dengan kemampuan yang berbeda untuk melakukan sebuah usaha. Apabila satu pihak mempunyai kemampuan untuk memberikan modal berupa uang, sedangkan pihak yang lain mempunyai kecakapan untuk menjalankan bisnis maka kesepakatan (akad) yang dipakai bisa menggunakan akad Mudharabah. Berdasarkan prinsip Mudharabah, masing-masung pihak mempunyai hak dan kewajiban yang sama atas keuntungan dan kerugian berdasarkan kesepakatan. Prinsip Mudharabah menjelaskan apabila bisnis yang dijalankan mendatangkan keuntungan maka keuntungan tersebut dibagikan kepada masing-masing pihak berdasarkan prosentase tertentu. Namun, bila terjadi kerugian, kerugian tersebut dikembalikan kepada pemilik modal, kerugian yang diterima oleh pelaku bisnis adalah segala daya dan upaya serta waktu yang telah dicurahkan (Abu Bakar Jabir al-Jazairi 1396 H)
Dalam konsep Mudharabah terdapat kaidah ar-ribhu ‘ala ma ittafaqa wal khasarah ‘ala qadri al-malaini, keuntungan yang didapatkan berdasarkan atas kesepakatan (presentase), dan kerugian yang timbul dibagikan atas usaha yang telah dilakukan (kontribusi usaha dan modal). Masing-masing pihak bersekutu dalam hal keuntungan dan kerugian. Islam tidak bisa mengakomodasi sebuah ketentuan prosentase tertentu misalnya 5 % atau 10 % atas modal yang telah diberikan dalam partnership. Dalam arti, uang yang telah diberikan menuntut kompensasi tetap, misalnya 5 % atau 10 % dalam waktu tertentu tidak memandang terhadap usaha yang dijalankan baik untung atau rugi. Konsep tersebut dinamakan dengan sistem pranata bunga. Sistem tersebut tidak bisa diterima dalam Islam dikarenakan dapat menimbulkan kedzaliman dan eksploitasi terhadap salah satu pihak. Kedzaliman yang ada jelas akan menafikan prinsip keadilan sebagai maqasidu al-syariah. Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman: “wahai hamba-Ku sesungguhnya Aku haramkan kedzaliman atas diri-Ku dan Aku jadikan kedzaliman sebagai sesuatu yang diharamkan, maka janganlah saling berbuat dzalim, (HR Muslim).
Menurut pandangan sebagian ekonom return of capital diperbolehkan dengan beberapa alasan. Ada beberapa teori yang digunakan  oleh ekonom untuk melakukan justifikasi terhadap interest rate. (Teori Abstinence menegaskan bahwa ketika kreditor menahan diri (absen), ia menagguhkan keinginannya memanfaatkan uangnya sendiri semata-mata untuk memenuhi keinginan orang lain. Ia meminjamkan modal yang semestinya dapat mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri, jika peminjam menggunakan uang tersebut untuk memenuhi keinginan pribadi ia dianggab wajib membayar sewa atas uang yang dipinjamnya. Ini sama halnya ia membayar sewa terhadap rumah, perabotan, atau kendaraan. Realitanya kreditor hanya akan meminjamkan uang yang tidak ia gunakan sendiri, kreditor hanya akan meminjamkan uang berlebih dari yang ia perlukan. Dengan demikian sebenarnya kreditor tidak menahan diri atas apapun, tentu ia tidak boleh menuntut imbalan atas hal yang tidak dilakukannya. Teori Opportunity Cost beranggapan bahwa dengan meminjamkan uangnya berarti kreditor menunggu atau menahan diri untuk tidak menggunakan modal sendiri guna memenuhi keinginan sendiri, hal itu serupa dengan memberikan waktu kepada peminjam. Dengan waktu itulah yang berhutang memiliki kesempatan untuk menggunakan modal pinjaman untuk memperoleh keuntungan, hal itu dijadikan alasan bagi kreditor berhak untuk menikmati sebagian keuntungan yang diperoleh. Sebenarnya, masih banyak teori lainnya seperti teori produktif- konsumtif, teori kemutlakan produktivitas modal dan lain-lain).
Dalam Islam teori tersebut tidak dibenarkan. Kompensasi yang diterima harus merefleksikan atas usaha yang dihasilkan. Salah satu teori yang digunakan sebagai justifikasi pengambilan interest rate adalah teori nilai uang pada masa mendatang lebih rendah dibanding masa sekarang, atau konsep inflasi. Inflasi secara umum dapat dipahami sebagai meningkatnya harga barang secara keseluruhan. Dengan demikian terjadi penurunan daya beli uang (purchasing power). Oleh karena itu menurut faham ini pengambilan bunga atas uang sangatlah logis sebagi kompensasi penurunan daya beli uang selama dipinjamkan. Argumentasi tersebut sangat tepat seandainya dalam dunia ekonomi yang terjadi hanyalah inflasi, tanpa ada deflasi atau stabilitas harga.
  1. Bumi (land)
Land (bumi) meliputi segala sesuatu yang ada di perut bumi, di atas bumi, atau di sekitar bumi yang menjadi sumber-sumber ekonomi seperti pertambangan, pasir, tanah pertanian, sungai, dan lain sebagainya. Bumi bisa diberdayakan untuk pertanian peternakan, pendirian kawasan industri, perdagangan, sarana transportasi, ataupun pertambangan. Di awal kedatangan Islam, bumi hanya diberdayakan untuk sektor pertanian sehingga fokus pembahasan ulama fiqh terletak pada tatacara pemberdayaan bumi oleh orang lain, serta penentuan return yang harus dibayarkan. Pembahasan fiqh terfokus pada konsep Ijarah, Muzara’ah, ataupun Musaqah.
Adapun wujud kepedulian kaum muslimin terhadap sektor pertanian adalah semasa kekhalifahan Umar bin Khatab telah dibuat saluran irigasi, pembuatan dam dan saluran air lainnya di negara-negara yang telah dikuasai oleh Islam. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengatur penggunaan air bagi pengairan sawah.
          Untuk mewujudkan keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi, Islam mewajibkan kepada umatnya untuk memanfaatkan bumi seoptimal mungkin. Hal tersebut diindikasikan dengan adanya keinginan kaum muslim kepada Umar Bin Khatab untuk membagi tanah-tanah hasil taklukan, seperti halnya dengan ghanimah (rampasan perang). Setelah Irak berhasil dikuasai, berdasarkan hasil musyawarah dengan sahabat lainnya Umar menetapkan bahwa bumi tersebut tetap menjadi milik penuh pemiliknya, akan tetapi pemilik harus membayar Kharaj. Umar ra. juga menarik kembali tanah-tanah yang telah diberikan Rasul kepada Bilal bin Harist al Mazni. Umar ra. berkata :
“ Sesungguhnya Rasul memberikan itu, bukan untuk menghalangi masyarakat lainnya. Namun, untuk kamu berdayakan, maka ambillah apa yang kamu mampu untuk mengelolanya dan kembalikanlah bagian yang lainnya. “

 

Mekanisme pemberdayaan bumi

Ulama fiqh berbeda pendapat tentang mekanisme yang dapat digunakan untuk memberdayakan lahan pertanian oleh orang lain dan penentuan return yang berhak diperoleh masing-masing pihak. Sebagian pendapat, mekanisme yang tepat adalah Muzaraah, akan tetapi ulama lain menolaknya dan menawarkan konsep penyewaan dengan uang (al-ijarah);
1. Muzaraah.
Al-Muzaraah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si-penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu misalnya setengah atau  sepertiga dari hasil panen sesuai dengan kesepakatan (Sayyid Sabiq, 1397). Dengan konsep tersebut mencerminkan nilai tolong menolong dan saling melengkapi dalam melakukan sesuatu. Terkadang kita temukan orang yang mempunyai lahan yang cukup potensial tetapi tidak mampu menggarapnya, dan sebaliknya. Dengan demikian ditemukan kerja sama dua orang yang mempunyai kemampuan berbeda dalam satu wadah kemaslahatan. Ke-absahan Muzaraah berdasarkan atas hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar bahwa Rasulullah pernah memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya untuk digarap dengan imbalan hasil buah-buahan dan tanaman (al-Bukhari, ibid).
Pendapat ulama sangat beragam tentang ke-absahan Muzaraah, ada sebagian ulama yang melarang tentang operasionalnya, seperti Ikrimah, Mujahid, Abu Hanifah. Pendapat tersebut berlandaskan atas larangan Nabi tentang konsep Muzaraah dengan prosentase tertentu. Larangan Nabi dalam Hadits tersebut tidak bersifat mutlak. Ada hadits lain yang dapat dijadikan pegangan dalam aplikasi Muzaraah. Dengan catatan return yang dibagikan merupakan hasil dari usaha yang dilakukan dan dengan prosentase yang jelas. Ibnu Hazm dan Ibnu Qudamah menambahkan, konsep Muzaraah telah dilakukan oleh Nabi sampai beliau meninggal, kemudian diteruskan oleh Khulafa al-Rasyidin dan para istri Nabi SAW (Ibnu Qudamah,  Ibid).
2. Sewa Tanah (al-Ijarah).
Ulama membolehkan pelaksanaan Muzaraah dengan menggunakan uang, makanan, atau segala sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai harta. Ibnu Qudamah menuliskan, sebagian besar ulama memperbolehkan menyewa lahan (tanah) untuk pemberdayaan sektor pertanian dan peternakan dengan menggunakan emas, perak, atau komoditas lain selain makanan. Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Imam Ahmad. Selain itu mekanisme Muzaraah diperkuat oleh hadits Rafi’ Ibnu Khadij yang memperbolehkan menyewakan tanah dengan menggunakan uang, namun, Ibnu Hazm mempunyai konsep lain. Ibnu Hazm tidak memperbolehkan menyewakan lahan dengan menggunakan dinar, dirham ataupun makanan. Menurut beliau hanya ada tiga mekanisme dalam upaya memberdayakan lahan pertanian:
a.   Diberdayakan oleh pemiliknya sendiri dengan ditanami
b.   Diserahkan kepada orang lain untuk digarap tanpa adanya kompensasi
c.  Memberikan otoritas kepada pihak lain untuk diberdayakan, diikuti dengan adanya bagi hasil, misalnya setengah , sepertiga, atau seperempat.
Setelah kita membaca atas hadits yang disebutkan, tidak ada nash yang secara jelas  mengharamkan mekanisme yang ada. Larangan tersebut ada, ketika terdapat sebuah ketentuan yang dapat merugikan pihak lain, seperti memaksa kepada penggarap untuk menanam sesuatu di luar batas kemampuannya atau memperkerjakan seseorang tanpa adanya upah. Penjelasan di atas memberikan pemahaman bahwa akad yang terjadi atas lahan pertanian atau lainnya bisa menggunakan konsep Muzaraah atau Ijarah dengan catatan tidak menimbulkan kedzaliman pada salah satu pihak.

PENUTUP

Dalam sistem kapitalisme return yang diterima oleh pemilik modal berdasarkan atas kekuatan supply and demand dalam mekanisme pasar (harga pasar). Dengan catatan mekanisme pasar dalam kondisi perfect competition, seperti apa yang dituliskan Adam Smith. Kondisi tersebut merupakan sesuatu yang langka terjadi. Dalam realita mekanisme pasar, terutama dari sisi permintaan terhadap faktor produksi, sering terjadi distorsi baik berupa ihtikar (penimbunan barang), false demand dan lain sebagainya. Di sisi yang lain, terdapat perserikatan buruh dan perkumpulan lainnya (sisi penawaran). Kondisi kekuatan tersebut tidak seimbang, dan tidak membantu dalam menetapkan kembalian (return) yang kompetitif terhadap faktor-faktor produksi. Dengan begitu mekanisme pasar beroperasi jauh dari kondisi normal seperti yang digambarkan Adam Smith, sehingga penentuan return yang disandarkan pada kekuatan pasar tidak terjadi keseimbangan. Dalam hal ini intervensi pemerintah merupakan sebuah keniscayaan.
Dalam Islam, penentuan kembalian (return) atas faktor-faktor produksi dibedakan berdasarkan macamnya, ada kalanya berupa upah (sewa) dan juga musyarakah atas keuntungan yang mungkin didapatkan. Penentuan besarnya return bisa berdasarkan atas kekuatan pasar, dengan catatan tidak boleh melanggar prinsip dasar dan etika yang telah ditentukan oleh Islam. Pasar dapat kita gunakan sebagai standart untuk menentukan harga, akan tetapi kita tidak boleh mengabaikan prinsip keadilan. Pasar merupakan tahapan dari beberapa tahapan dalam penentuan harga, yang berfungsi sebagai pelengkap atas kaidah-kaidah umum yang telah ditetapkan Islam dan terkadang dalam kondisi darurat diperlukan intervensi pemerintah di dalamnya. Dengan demikian, kita bisa menjawab pertanyaan atas return yang harus dibayarkan oleh sebuah perusahaan terhadap faktor-faktor produksi yang tidak beroperasi dengan sistem bunga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar