Hal Menarik Lainnya

Jumat, 19 April 2019

MAQASID SYARIAH (Tujuan Hukum Islam)



Pengertian Maqasid Syari’ah
            Secara bahasa, maqashid merupakan jama’ dari kata maqshid yang berarti kesulitan dari apa yang ditujukan atau yang dimaksud.Secara akar bahasa, maqashid berasal dari kata qashada, yaqshidu, qashdan, qashidun, yang berarti keinginan yang kuat, berpegang teguh, dan sengaja.[1]
            Sedangkanasy-syari’ah berasal dari akar kata syara’a, yasri’u, syar’an yang berarti memulai pelaksanaan suatu pekerjaan, dengan demikian asy-syari’ah mempunyai pengertian pekerjaan yang baru mulai dilaksanakan. Syara’a juga berarti menjelaskan, menerangkan, dan juga menunjukkan jalan. Syar’a lahum syar’an berarti mereka telah menunjukkan jalan kepada meraka atau bermakna sanna yang berarti menunjukkan jalan ataupun juga peraturan.[2]Jadi, secara bahasa syari’ah menunjukkan kepada tiga pengertian, di antaranya yaitu sumber tempat air minum, jalan yang lurus dan terang dan juga awal dari pada pelaksanaan suatu pekerjaan.[3]
            Secara istilah, maqasid syari’ah berarti bertujuan untuk Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.[4]

Pembagian Maqasid Syari’ah
            Abu Ishaq al-Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum disyari’atkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu menurut al-Syatibi terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu kebutuhan dharuriyat, kebutuhan hajiyat, dan kebutuhan tahsiniyat.[5]
a.    Kebutuhan Dharuriyat
      Kebutuhan dharuriyat ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak dipenuhi ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.
      Ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara kehormatan dan keturunan, serta memelihara harta. Untuk memelihara lima pokok inilah syari’at islam diturunkan. Setiap ayat hukum bila diteliti akan ditemukan alasan pada pembentukannya yang tidak lain adalah alasan untuk memelihara lima pokok di atas. Misalnya, firman Allah dalam mewajibkan jihad:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan perangilah mereka itu,sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.”[6]
Dan firman-Nya dalam mewajibkan qishash:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qishash itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu. Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.”[7]
      Dari ayat pertama dapat diketahui tujuan disyari’atkan perang adalah untuk melancarkan jalan dakwah bilamana terjadi gangguan dan mengajak umat manusia untuk menyembah Allah. Dan dari ayat kedua diketahui bahwa mengapa disyari’atkannyan qishash karena dengan itu ancaman terhadap keidupan manusia dapat dihilangkan.
b.    Kebutuhan Hajiyat
      Kebutuhan hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan skunder,sesuatu yang diperlukan keberadaannya untuk kemudahan dalam hidup. Jika tidak ada maka akan membawa kesulitan dalam hidup, namun tidak sampai mengancam keselamatannya. Syari’at islam menghilangkan segala kesulitan itu. Adanya hukum rukhshah (keringanan) adalah sebagai contoh dari kepedulian syari’at Islam terhadap kebutuhan ini.
      Dalam lapangan ibadat, Islam mensyari’atkan beberapa hukum keringanan bilamana kenyataannya mendapat kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif. Misalnya, Islam membolehkan tidak berpuasa bilamana dalam perjalanan dalam jara tertentu dengan syarat diganti pada hari yang lain dan demikian juga halnya dengan orang-orang yang sedang sakit. Kebolehan meng-qasar shalat adalah dalam rangka memenuhi kebuuhan hajiyat ini.
      Dalam lapangan mu’amalat disyari’atkan banyak macam akad (kontrak), serta macam-macam jual beli, sewa-menyewa, syirkah (perseroan) dan mudharobah (berniaga dengan orang lain dengan perjanjian bagi laba).dalam lapangan ‘uqubat (sanksi hukum), islam mensyari’atkan hukuman diyat (denda) bagi pembunuhan tidak disengaja, dan menangguhkan hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan. Sebuah kesempitan menimbulkan keringanan dalam syari’at islam adalah ditarik dari petunjuk-petunjuk ayat Al-Qur’an juga. Misalnya surat al-Maidah ayat 6:
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍَ
“Dan Dia Allah tidak sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.

c.    Kebutuhan Tahsiniyat
       Kebutuhan takhsiniyat adalah sesuatu yang sepatutnya ada karena tuntutan kesopanan dan adat istiadat. Jika tidak maka akan mencederai kesopanan dan dinilai tidak pantas. Hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat misalnya menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.
      Dalam berbagai kehidupan bidang kehidupan, seperti ibadah, mu’amalah, ‘uqubah, Allah telah mensyari’atkan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsiniyat. Dalam lapangan ibadah, kata Abd. Wahab khallaf umpamanya, islam mensyari’atkan bersuci baik dari najis atau hadas, baik pada badan maupun pada tempat lingkungan. Islam menganjurkan berhias ketika hendak ke Masjid, menganjurkan memperbanyak ibadah sunnah.
      Dalam lapangan mu’amalat, islam melarang boros, kikir, menaikan harga, monopoli, dan lain-lain. Dalam bidang ‘uqubat, Islam mengharamkan membunuh anak-anak dan kaum wanita dalam peperangan, dan melarang melakukan muslah (menyiksa mayit dalam peperangan).
      Tujuan Syari’at seperti tersebut tadi bisa di simak dalam beberapa ayat, misalnya ayat 6 Surat al-Maidah:
وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
            Ketiga tingkatan di atas berderet secara urut. Artinya, ketika terjadi sebuah kasus pertentangan antara dharuriyah dan hajiyah atau takhsiniyah, maka yang diutamakan adalah yang dharuriyah. Misalnya shalat, ketika pada satu kasus tidak bisa menutup aurat maka shalatnya tetap harus dilakukan, dan tidak boleh menggugurkan shalat gara-gara tidak bisa menutup aurat. Namun dalam keadaan normal, tingkatan-tingkatan ini saling melengkapi, yang takhsiniyat melengkapi hajiyat, kemudian melengkapi dharuriyat.

DAFTAR PUSTAKA

Lihasanah, Ahsan,  al-Fiqh al-Maqashid ‘Inda al-Imami al-Syatibi', Mesir: Dar al-Salam, 2008,
Efendi, Satria, “Ushul Fiqh”, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2005.
Umar Hasbi, Nalar Fiqih Kontemporer, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.


[1]Ahsan Lihasanah, “al-Fiqh al-Maqashid ‘Inda al-Imami al-Syatibi'”, Dar al-Salam: Mesir, 2008, hal. 11
[2]Hasbi Umar, “Nalar Fiqih Kontemporer”, Gaung Persada Press: Jakarta, 2007, hal. 36
[3]ibid
[4]Satria Efendi, “Ushul Fiqh”, Kencana Prenada Media Group: Jakarta, 2005, hal.233
[5]Ibid.
[6]QS. Al-Baqarah:193
[7]QS. Al-Baqarah:179

Tidak ada komentar:

Posting Komentar