Hal Menarik Lainnya

Minggu, 21 April 2019

JUAL BELI SALAM



JUAL BELI SALAM

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hadits Ekonomi dan Perbankan
Dosen Pengampu: M. Ramadhan H, MA

Disusun Oleh:
Ahmad Muslih (141257210)


JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM PROGRAM STUDI S1 PERBANKAN SYARI’AHSEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JURAI SIWO METRO TAHUN 2015/2016


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
            Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat yang lainnya. Salah satu bentuk hubungan muamalah adalah dengan cara jual beli. Penjual menyediakan barang dan pembeli yang mebeli barangnya.Tetapi pada kenyataannya konsumen kadang memerlukan barang yang tidak atau belum dihasilkan oleh produsen sehingga konsumen melakukan transaksi jual-beli dengan produsen dengan cara pesanan. Di dalam hukum Islam transaksi jual-beli yang dilakukan dengan cara pesanan ini disebut denga Salam (sebutan ini lazim digunakan oleh fuqaha Hijaz) atau Salaf (sebutan ini lazim digunakan oleh fuqaha Iraq).[1]
            Sebenarnya bagaimana pengertian jual beli salam? Apa saja syaratnya? Tentu ini akan menjadi pambahasan yang menarik untuk dibahas.

B.   Rumusan Masalah
      Berdasarkan latar belakang yang penulis paparkan di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.    Apakah yang dimaksud dengan jual beli salam?
2.    Bagaimanakah dasar hukum jual beli salam?
3.    Bagaimanakah rukun dan syarat jual beli salam?

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Jual Beli Salam
            As-salam dalam istilah fiqih disebut juga as-salaf. Secara etimologis, kedua kata tersebut memiliki makna yang sama, yaitu mendahulukan barang dan mengakhirkan barang. Penggunaan kata as-salam biasanya digunakan oleh orang-orang Hijaz, sedangkan penggunaan kata as-salaf  biasanya digunakan oleh orang-orang Irak.
            Secara terminologis salam adalah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan di kemudian hari.[2]Menurut Sayyid Sabiq, as-salam atau as-salaf (pendahuluan) adalah penjualan sesuatu dengan kriteria tertentu (yang masih berada) dalam tanggungan dengan pembayaran segera atau disegerakan.[3] Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, salam adalah jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yangpembiayaannya dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang.[4] Selain definisi tersebut, terdapat beberapa definisi lain mengenai salam yang berkembang di kalangan fiqaha.
            Fuqaha Syafi’iyah dan Hanbali mendefinisikan jual beli salam adalah akad yang disepakati dengan menentukan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya lebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian dalam suatu majlis akad. Sedangkan fuqaha mendefinisikan jual beli salam yaitu Jual beli yang modalnya dibayar dahulu, sedangkan barangnya diserahkan sesuai dengan waktu yang disepakati.[5]
            Dari beberapa definisi di atas, disimpulkan bahwa yang dimaksudjual belisalam adalah transaksi jual beli yang pembayarannya dilaksanakan ketika akad berlangsung dan penyerahan barang dilaksanakan di akhirsesuai dengan perjanjian yang telah disepakati oleh penjual dan pembeli.
            Dalam menggunakan akad salam, hendaknya menyebutkan sifa-tsifatdari objek jual beli salam yang mungkin bisa dijangkau oleh pembeli,baik berupabarang yang bisa ditakar, ditimbang maupun diukur.Disebutkan juga jenisnya dan semua identitas yang melekat pada barangyang dipertukarkan yang menyangkut kualitas barang tersebut. Jual beli salam juga dapat berlaku untuk mengimport barang-barang dari luar negeridengan menyebutkan sifat-sifatnya, kualitas dan kuantitasnya. Penyerahanuang muka dan penyerahan barangnya dapat dibicarakan bersama danbiasanya dibuat dalam suatu perjanjian.[6]Dalam dunia bisnis modern,bentuk jual beli salam dikenal dengan pembelian dengan cara pesan(indent).[7] Tujuan utama dari jual beli pesanan adalah untuk salingmembantu dan menguntungkan antara konsumen dengan produsen.

B.   Dasar Hukum Jual Beli Salam
1.    Al-Qur’an
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya…” (Al-Baqarah 2:282)
2.    Al-Hadits
     Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw datang ke Madinah di mana penduduknya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata;
“Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu  yang diketahui.”[8]
     Hadits di atas muncul sebagai reaksi rasulullah SAW terhadap kebiasaan orang madinah terhadap jual beli salam dalam waktu satu atau dua tahun. Koreksian diberikan oleh Rasulullah dalam hadits terhadap ketidak jelasan waktu penyerahan barang, atau pada spesifikasi barang yang di perjual belikan dari segi ukuran dan kualitasnya.
     Jual beli salam merupakan jual beli yang mempunyai potensi bagi penjual untuk melakukan penipuan dari segi kualitas kuantitas dan waktu. Oleh sebab itu Rasulullah memberikan aturan kusus tentang masalah ini. Ini bertujuan agar pihak-pihak yang bertransaksi tidak saling merugikan dan untuk menghindari terjadinya sengketa antara keduanya.
     Dalam hadits di atas, jual beli salam merupakan model jual beli yang sudah biasa di praktikkan oleh masyarakat Madinah sebelum islam masuk ke sana. Islam menerima model jual beli salam tersebut dengan syarat. Hal itu terlihat dari koreksian islam terhadap kebiasaan orang Madinah dengan menentukan persyaratan: jelas takarannya, ini tentunya untuk objek yang ditakar (yang menggunakan alat ukur liter, dan sejenisnya). Jelas timbangannya, ini tentu untuk objek yang di timbang (yang menggunakan timbangan) dan jelas pada waktu penyerahan barang.
     Jual beli salam hukumnya sah jika dilakukan sesuai dengan memperhatikan ketentuan yang sudah disepakati pada waktu transaksi dilakukan, baik kualitas barang, kuantitas barang, harga dan waktu penyerahan barang.[9]

C.   Rukun dan Syarat Jual Beli Salam
            Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa rukun jual beli salam ini hanya ijab (ungkapan dari pihak pemesan dalam memesan barang) dan qabul (ungkapan pihak produsen untuk mengerjakan barang pesanan). Lafaz| yang dipakai dalam jual beli pesanan (indent) menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah adalah lafaz| as-salam, as-salaf, atau al-bay’ (jual beli). Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, lafaz| yang boleh dipergunakan dalam jual beli pesanan ini hanya as-salam dan as-salaf. Alasan ulama Syafi’iyah adalah bahwa menurut kaidah umum (analogi) jual beli seperti ini tidak dibolehkan, karena barang yang dibeli belum kelihatan ketika akad. Akan tetapi, syara’ membolehkan jual beli ini dengan mempergunakan lafaz| as-salam dan as-salaf. Oleh sebab itu, perlu pembatasan dalam pemakaian kata itu sesuai dengan pemakaian syara’.
Adapun rukun jual beli salam menurut jumhur ulama, selain Hanafiyah, terdiri atas:
1.    Al-Aqid
            Al-Aqid adalah orang yang melakukan akad. Dalam perjanjian salam, pihak penjual disebut dengan al-Muslam Ilaih (orang yang diserahi) dan pihak pembeli disebut al-Muslam atau pemilik as-salam (yang menyerahkan).[10] Keberadaan aqid sangatlah penting, sebab tidak dapat dikatakan akad jika tidak ada aqid, begitu pula tidak akan terjadi Ijab dan qabul tanpa adanya aqid.
2.    Objek Jual Beli Salam
            Yaitu harga dan barang yang dipesan. Barang yang dijadikan sebagai objek jual beli disebut dengan al-Muslam Fiih. Barang yang dipesan harus jelas ciri-cirinya dan waktu penyerahannya. Harga (ra’su maalis salam) dalam jual beli salam harus jelas serta diserahkan waktu akad.
3.    Shigaat (Ijaab dan Qabuul)
            Ijaab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabuul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada objek perikatan. Yang dimaksud dengan "sesuai dengan kehendak syari’at" adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak boleh, apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu oranglain, atau merampok kekayaan orang lain. Sedangkan pencantuman kalimat "berpengaruh pada objek perikatan" maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan qabul).

            Adapaun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli salam adalah sebagai berikut:
1.    Jual beli ini pada barang-barang yang memiliki kriteria jelas.
Jual beli salam merupakan jenis akad jual beli barang dengan kriteria tertentu dengan pembayaran tunai. Sehingga menjadi sebuah keharusan, barang yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan kriterianya dengan jelas, seperti jenis, ukuran, berat, takaran dan lain sebagainya. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh kedua belah pihak dan menghindarkan sengketa.
            Dalam memberikan kriteria masuk dalam syarat ini perlu diperhatikan bahwa masalah kriteria ini akan berbeda dari zaman ke zaman. Sehingga tidak semua yang disampaikan para Ulama ahli fiqh zaman dulu sebagai kriteria barang yang tidak bisa diberikan kreteria jelas itu pasti benar, sebab dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan muncul alat yang dapat mendeteksi criteria dengan jelas sehingga dapat diserahkan sesuai dengan criteria yang disepakati ketika akad.[11]
2.    Pembayaran dilakukan pada saat akad (transaksi). Sebagaimana terfahami dari namanya, yaitu as-salam (penyerahan), atau as-salaf (mendahulukan), maka para Ulamâ' sepakat bahwa pembayaran jual beli salam itu harus dilakukan di muka atau kontan saat transaksi, tanpa ada yang terhutang sedikitpun. Jika pembayaran ditunda (dihutang) sebagaimana yang sering terjadi, maka akadnya berubah menjadi akad jual beli hutang dengan hutang (bai’ud dain bid dain) yang terlarang dan hukumnya haram. Diantara contoh yang terlarang, memesan barang dengan tempo setahun, kemudian pembayaran dilakukan dengan menggunakan cek atau bank garansi yang hanya dapat dicairkan setelah beberapa bulan berikutnya.
            Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Allâh mensyaratkan pada akad salam agar pembayaran dilakukan dengan kontan. Apabila ditunda, niscaya kedua belah pihak sama-sama berhutang tanpa ada faedah yang didapat. Oleh karena itu, akad ini dinamakan dengan as-salam, karena ada pembayaran di muka. Sehingga bila pembayaran ditunda, maka itu termasuk kategori jual beli hutang dengan hutang, bahkan itulah praktik jual beli hutang dengan hutang yang sebenarnya, dan beresiko tinggi, serta termasuk praktek untung-untungan.[12]
3.    Penyebutan kriteria, jumlah dan ukuran barang dilakukan saat transaksi berlangsung. Dalam akad jual beli salam, penjual dan pembeli wajib menyepakati kriteria barang yang dipesan. Kriteria yang dimaksud di sini ialah segala yang bersangkutan dengan jenis, macam, warna, ukuran, jumlah barang serta setiap kriteria yang diinginkan dan berpengaruh pada harga barang. Contoh ; Apabila Ali hendak memesan beras kepada Budi, maka Ali wajib menyebutkan jenis beras yang diinginkan (misalnya Beras Rojolele), asal barangnya, kualitas dan kuantitasnya, perkarung diisi berapa kilogram serta produk tahun kapan. Kriteria-kriteria ini pasti berpengaruh pada harga. Karena harga beras akan berbeda sesuai dengan perbedaan jenis, kualitas, asal daerah dan tahun panennya.
4.    Jual beli salam harus ditentukan dengan jelas tempo penyerahan barang pesanan. Kedua transaktor pada akad jual beli salam harus ada kesepakatan tentang tempo penyerahan barang pesanan.
5.    Barang pesanan sudah tersedia di pasar saat jatuh tempo agar dapat diserahkan pada waktunya. Kedua belah pihak wajib memperhitungkan ketersediaan barang pada saat jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan spekulasi perjudian, yang keduanya diharamkan dalam syari'at Islam. Seandainya barang pesanan dipastikan tidak ada pada saat jatuh tempo maka jual beli salam tidak sah. Disamping menyebabkan tidak sah, pengabaian syarat ini juga akan sangat berpotensi memancing percekcokan dan perselisihan yang tercela. Padahal setiap perniagaan yang rentan menimbulkan percekcokan antara penjual dan pembeli pasti dilarang.
6.    Barang pesanan adalah barang yang pengadaannya ada dalam tanggung jawab penjual, bukan dalam bentuk satu barang yang telah ditentukan dan terbatas. Maksudnya, barang yang dipesan hanya ditentukan kriterianya. Dan pengadaannya, diserahkan sepenuhnya kepada penjual. Sehingga ia memiliki kebebasan dalam pengadaan barang yang sesuai dengan semua kreteria dan ukuran atau jumlah yang diinginkan pembeli. Penjual bisa mendatangkan barang miliknya yang telah tersedia atau membelinya dari orang lain. Persyaratan ini ditetapkan agar akad salam terhindar dari unsur gharar (penipuan). Sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo, karena faktor tertentu, penjual tidak bisa mendatangkan barang dari miliknya atau dari perusahaannya.

D.   Hikmah Jual Beli Salam
            Di antara hikmat-hikmat diharuskan jualbeli secara salam ialah :[13]
1.    Untuk memberi kemudahan kepada anggota masyarakat menjalankan urusan perniagaan.
2.    Untuk menanamkan perasaan tolong menolong di antara satu sama lain.

E.    Budi Pekerti Dalam Jual Beli Salam
            Di antara budi pekerti dalam jual salam, ialah :
1.    Masing-masing hendaklah bersikap jujur dan tulus ikhlas serta hendaklah amanah dalam perjanjian-perjanjian yang telah dibuat.
2.    Penjual hendaklah berusaha memenuhkan syarat-syarat yang telah ditetapkan itu.
3.    Pembeli janganlah cuba menolak barang-barang yang telah dijanjikan itu dengan membusssat berbagai-bagai alasan palsu.
4.    Sekiranya barang yang dibawa itu terkurang sedikit daripada syarat-syarat yang telah dibuat, masing-masing hendaklah bertolak ansur dan mencari keputusan yang sebaik-baiknya.


DAFTAR PUSTAKA
Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat),   (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003).
Sabiq,Sayyid, Fiqih Sunnah, Juz 12, (Bandung: Al-Ma’arif, 1988).
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
al-Zuhaili,Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz IV, (Damaskus: Darul         Fikr, 2008)
Mustafa Kamal, et. al., Fikih Islam, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003)
Antonio, Muhammad Syafi’i Bank Syariah, (Jakarta: Gema Insani, 2001)
Enizar, Hadits Ekonomi..,
Chairuman pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam,      (Jakarta: Sinar Grafika, 1994).
Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah.
Ibnul Qayyim, I'lâmul Muwaqqi'in,



                [1] Dikutip dari www.khoirumansyahbtr.blogspot.com, pada tanggal 18 September 2015.
                [2]M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 103.
                [3]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz 12, (Bandung: Al-Ma’arif, 1988), hlm. 110.
                [4]Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Pasal 20 ayat (34).
                [5]Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz IV, (Damaskus: Darul Fikr, 2008), hlm. 359.
                [6]M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, hlm. 144.
                [7]Mustafa Kamal, et. al., Fikih Islam, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003), hlm. 356.
                [8] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah, (Jakarta: Gema Insani, 2001), Hlm. 108.
                [9] Enizar, Hadits Ekonomi.., Hlm. 153-154.
                [10] Chairuman pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), 48.
                [11] Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/197.
                [12] I'lâmul Muwaqqi'in, Ibnul Qayyim, 2/20
                [13] Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Rawamangun: Kencana Prenada Media Group,2010)hal:70-78