Hal Menarik Lainnya

Kamis, 15 Oktober 2015

MAKALAH JUAL BELI



JUAL BELI

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Muamalah
Dosen Pengampu: Kholid Hidayatullah, M.H.I

Oleh:

 Ahmad Muslih   (141257210)


JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM PROGRAM STUDI S1 PERBANKAN SYARI’AH  SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JURAI SIWO METRO TAHUN 2015/2016

 
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam proses belajar Fiqih Muamalah.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Fiqih Muamalah  di program studi S1 Perbankan Syariah di STAIN Jurai Siwo Metro. Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
            Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR ISI

BAB I               PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
B.      Rumusan Masalah
C.      Tujuan

BAB II              PEMBAHASAN
A.      Pengertian Jual Beli 
B.      Hukum Jual Beli 
C.      Rukun (Unsur) Jual Beli
D.     Syarat Jual Beli 
E.      Jual Beli Kredit 
F.       Jual Beli Online

BAB III             PENUTUP
A.      Kesimpulan
B.      Saran 

DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
            Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Nah, hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain.
            Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja. Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.
            Sebenarnya bagaimana pengertian jual beli menurut Fiqih muamalah?Apa saja syaratnya? Lalu apakah jual beli yang dipraktekkan pada zaman sekarang sah menurut fiqih muamalah? Tentu ini akan menjadi pambahasan yang menarik untuk dibahas.

B.      Rumusan Masalah
            Dari beberapa uraian di atas tentang jual beli yang sebagian telah dipaparkan, maka ada beberapa pertanyaan yang perlunya untuk di jawab agar tidak ada keraguan lagi.
1.      Apakah yang dimaksud dengan jual beli?
2.      Bagaimanakah hukum jual beli menurut Islam?
3.      Bagaimanakah rukun jual beli?
4.      Bagaimanakah syarat jual beli?

C.      Tujuan Penulisan
            Tujuan dari penulisan makalah ini adalah;
1.      Untuk Mengetahui definisi jual beli
2.      Untuk Mengetahui hukum jual beli menurut Islam
3.      Untuk Mengetahui rukun jual beli
4.      Untuk Mengetahui syarat jual beli
5.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Muamalah


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Jual Beli
            Secara terminologi fiqih, jual beli disebut dengan al-ba’i yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal al-ba’i dalam terminologi fiqih terkadang dipakai untuk pengertian lawannya, yaitu lafal al-Syira yang berarti membeli. Dengan demikian, al-ba’i mengandung arti menjual sekaligus membeli atau jual beli. Menurut Hanafiah pengerttiam jual beli (al-ba’i) secara definitif yaitu tukar-menukar harta benda atau sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melaui cara tertentu yang bermanfaat. Adapun menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, bahwa jual beli (al-ba’i) yaitu tukar manukar harta dengan harta pula dalam bentuk kepemindahan milik dan kepemilikan. Dan menurut pasal 20 ayat 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ba’i adalah jual beli antara benda dan benda, atau pertukaran antara benda dan uang.[1]
            Berdasarkan Definisi di atas, maka paa intinya jual beli itu adalah tukar-menukar barang. Hal ini telah dipraktikkan oleh masyarakat primitif keika uang belum digunakan sebagai alat tukar-menukar barang, yaitu dengan sistem barter yang dalam terminologi fiqh disebut dengan ba’i al- muqayyadah. Meskipun jual beli dengan sistem barter telah ditinggalkan dan telah diganti dengan sistem mata uang, tetapi terkadang esensi jual beli jual beli seperti itu masih berlaku, sekalipun untuk menentukan jumlah barang yang ditukar tetapi diperhitungkan dengan nilai mata uang tertentu, misalnya, Indonesia membeli spare part kendaraan ke Jepang, maka barang yang diimpor itu dibayar.[2]

B.      Hukum Jual Beli
            Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Terdapat beberapa ayat Al-quran dan Sunnah Rasulullah saw, yang berbicara tentang jual beli, antara lain :
1.       Al Quran
       Ada beberapa ayat Al Quran yang membahas tentang jual beli, di antaranya:
a.       Surat Al Baqarah ayat 275
ذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

b.      Surat Al Baqarah ayat 198
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلًا مِّن رَّبِّكُمْ ۚ فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ ۖ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِن كُنتُم مِّن قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat”

c.       Surat An Nisa ayat 29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

2.       Al Hadits
a.      Hadits yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn Rafi’ : “Rasulullah saw, ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan apa yang paling baik. Rasulullah Saw. menjawab usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati. (H.R Al-Bazzar dan Al-Hakim). Maksud dari hadits ini adalah jual beli harus dilakukan dengan jujur, tanpa diiringi kecurangan-kecurangan agar mendapat berkah dari Allah.
b.      Hadits dari al-Baihaqi, ibn Majah dan ibn Hibban, Rasulullah menyatakan : “Jual beli itu didasarkan atas suka sama suka
c.       Hadits yang diriwayatkan al-Tirmidzi, Rasulullah bersabda: “Pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya disurga) dengan para nabi , shadiqqin, dan syuhada”.[3]
            Para ulama mujtahid sepakat bahwa jual beli dihalalkan, sedangkan riba di haramkan. Karena pada dasarnya kegiatan muamalah itu dasarnya adalah halal hingga ada dalil yang mengharamkannya. Para imam mazhab sepakat bahwa jual-beli itu di anggap sah jika dilakukan oleh orang yang sudah baligh, berakal, kemauan sendiri, dan berhak membelanjakan hartanya. Oleh karena itu jual beli tidak sah bila dilakukan oleh orang gila.
            Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai jual beli yang di lakukan oleh anak kecil. Menurut pendapat Maliki dan Syafi’i tidak sah. Hanafi dan Hambali berpendapat sah jika ia telah mumayyiz (dapat membedakan yang baik dan yang buruk). Akan tetapi Hanafi mensyaratkan harus ada izin terlebih dahulu dari walinya, dan dengan izin itu dibenarkan lagi sesudah penjualan. Hambali juga mensyaratkan demikian.[4]

C.      Rukun (Unsur) Jual Beli
            Rukun jual beli ada tiga, yaitu:
1.      Pelaku transaksi, yaitu penjual dan pembeli.
2.      Objek transaksi, yaitu harga dan barang.
3.      Akad (Transaksi), yaitu segala tindakan yang dilakukan kedua belah pihak yang menunjukan mereka sedang melakukan transaksi, baik itu tindakan berbentuk kata-kata maupun perbuatan.
            Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, unsur jual beli ada tiga, yaitu:
1.      Pihak-pihak. Pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian jual beli terdiri atas penjual, pembeli, dan pihak lain yang terlibat dalam perjanjian tersebut.
2.      Objek. Objek jual beli terdiri atas benda yang berwujud dan benda yang tidak berwujud, yang bergerak maupun benda yang tidak bergerak, dan yang terdaftar maupun tidak terdaftar. Syarat objek yang diperjualbelikan harus ada, barang yang dijualbelikan harus dapat diserahkan, barang yang dijualbelikan harus memiliki nilai/harga tertentu, barang yang dijualbelikan harus halal, barang yang dijualbelikan harus diketahui oleh pembeli, kekhususan barang yang dijualbelikan harus diketahui, penunjukan dianggap memenuhi persyaratan langsung oleh pembeli tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut, dan barang yang di jual harus ditentukan secara pasti pada waktu akad. Jual beli dapat dilakukan terhadap: barang yang teruur menurut porsi, jumlah, berat, atau panjang, baik berupa satuan atau keseluruhan, barang yang ditakar atau ditimbang sesuai jumlah yang ditentukan, sekalipun kapasitas dari takaran dan dan timbangan tidak diketahui, dan satuan komponen dari barang yang dipisahkan dari komponen lain yang telah terjual.
3.      Kesepakatan. Kesepakatan dapat dilakukan dengan tulisan, lisan dan isyarat, ketiganya mempunyai makna hukum yang sama.[5]

            Berkaitan dengan akad, ada dua bentuk akad, yaitu:
1.      Akad dengan kata-kata, dinamakan juga dengan ijab qabul. Ijab qabul yaitu kata-kata yang di ucapkan terlebih dahulu. Misalnya: Penjual berkata: “Baju ini saya jual dengan harga Rp. 10.000,-”. Kabul, yaitu kata-kata yang diucapkan kemudian. Misalnya: Pembeli berkata: “Barang saya terima.”
2.      Akad dengan perbuatan, dinamakan juga mu’athah. Misalnya: pembeli meberikan uang senilai Rp. 10.000 kepada penjual, kemudian mengambil barang yang senilai itu tanpa terucap kata-kata dari kedua belah pihak.[6]

D.     Syarat Jual Beli
            Suatu jual beli tidak sah bila tidak terpenuhi dalam suatu akad tujuh syarat, yaitu:
1.      Saling rela antara kedua belah pihak. Kerelaan antara kedua belah pihak untuk melakukan transaksi syarat mutlak keabsahannya, berdasarkan firman Allah dalam QS. An-Nisaa’/4: 29, dan Hadits Nabi Riwayat Ibnu Majah: “Jual beli haruslah atas dasar kerelaan (suka sama suka)”.
2.      Pelaku akad, adalah orang yang dibolehkan melakukan akad, yaitu orang yang telah baligh, berakal, dan mengerti. Maka akad yang dilakukan oleh anak di bawah umur, orang gila, atau idiot tidak sah kecuali dengan seizin walinya. Ini berdasarkan kepada firman Allah QS. An-Nisaa’/4: 5 dan 6.
3.      Harta yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebelumnya oleh kedua belah pihak. Maka, tidak sah jual beli barang yang belum dimiliki tanpa seizin pemiliknya. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi Saw. Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi, sebagai berikut: “Janganlah engkau jual barang yang bukan milikmu”.
4.      Objek transaksi adalah barang yang di bolehkan agama, maka tidak boleh menjual barang haram seperti khamar (minuman keras) dan lain-lain. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi Saw. Riwayat Ahmad: “Sesungguhnya Allah bila mengharamkan suatu barang juga mengharamkan nilai suatu barang tersebut.”
5.      Objek transaksi, adalah barang yang biasa diserah-terimakan. Maka tidak sah jual beli mobil hilang, burung di angkasa, karena tidak dapat diserah terimakan. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi Saw. Riwayat Muslim: “Dari Abu Hurairah r.a bahwa Nabi Muhammad Saw. melarang jual beli gharar (penipuan)”.
6.      Objek jual beli diketahui oleh kedua belah pihak saat akad. Maka tidak sah menjual barang yang tidak jelas. Misalnya, pembeli harus melihat terlebih dahulu barang tersebut. Hal ini berdasar Hadits Riwayat Muslim tersebut.
7.      Harga harus jelas saat transaksi. Maka tidak sah jual beli di mana penjual mengatakan: “Aku jual mobpl ini kepadamu dengan harga yang akan kita sepakati nantinya.” Hal ini berdasarkan Hadits Riwayat Muslim tersebut.[7]

E.      Jual Beli Kredit
1.      Pengertian jual beli kredit
     Salah satu diantara bentuk perniagaan yang marak dijalankan di masyarakat ialah jual-beli dengan cara kredit. Jual beli kredit adalah transaksi jual-beli dimana barang diterima pada waktu transaksi dengan pembayaran tidak tunai  dengan harga yang lebih mahal daripada harga tunai serta pembeli melunasi kewajibannya dengan cara angsuran tertentu dalam jangka waktu tertentu. Para ulama menyebut praktek tersebut dengan istilah bai’ut taqsith (jual-beli kredit) dengan tambahan harga.[8]
2.      Hukum jual beli kredit
     Secara umum, jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan oleh syariat. Hal ini berdasarkan pada beberapa dalil, di antaranya adalah:
a.      Firman Allah Ta’ala;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah : 282)
      Ayat di atas adalah dalil bolehnya akad hutang-piutang, sedangkan akad kredit merupakan salah satu bentuk hutang, sehingga keumuman ayat di atas bisa menjadi dasar bolehnya akad kredit.
b.      Hadits ‘Aisyah r.a;
Beliau mengatakan:
اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
Artinya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang dan beliau juga menggadaikan perisai kepadanya.” (HR. Bukhari: 2096 dan Muslim: 1603)
     Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli bahan makanan dengan sistem pembayaran dihutang, itulah hakikat kredit.
c.       Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash r.a:
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى خروج المصدق بأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه الألباني
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. (Hadits Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani).

     Pada kisah ini, Rasulullah Saw. memerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor unta dengan harga dua ekor unta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).

F.       Jual Beli Online
1.      Pengertian jual beli online
     Jual beli online adalah sebuah usaha penjualan yang dilakukan melalui internet, baik itu berupa barang ataupun jasa.[9] Dalam jual beli online, pembayaran barang yang dibeli dilakukan di awal, tetapi penyerahan barang yang dibeli ditangguhkan dalam waktu tertentu sesuai dengan akad yang telah di sepakati oleh pihak penjual dan pembeli. Jika dicermati, jual beli semacam ini sama definisinya dengan jual beli salam. Jual beli salam adalah membeli sesuatu barang dengan harga kontan, tetapi barang yang dibelinya diserahkan pada waktu kemudian yang telah ditentukan.[10]
2.      Hukum jual beli online
     Di dalam Islam, berbisnis mealui online diperbolehkan selagi tidak terdapat unsur-unsur riba, kezaliman, menopoli dan penipuan. Rasulullah Saw. mengisyaratkan bahwa jual beli itu halal selagi suka sama suka. Karena jual beli atau berbisnis seperti melalui online memiliki dampak positif karena dianggap praktis, cepat, dan mudah.
3.      Syarat-syarat mendasar diperbolehkannya jual beli online
     Jual beli online boleh dilakukan asal memenuhi syarat-syarat di antaranya:
a.      Tidak melanggar ketentuan syari’at Agama, seperti transaksi bisnis yang diharamkan, terjadinya kecurangan, penipuan, monopoli dan perjudian.
b.      Adanya kesepakatan perjanjian diantara dua belah pihak (penjual dan pembeli) jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan antara sepakat (Alimdha’) atau pembatalan (Fasakh). Sebagaimana yang telah diatur didalam Fiqih tentang bentuk-bentuk option atau alternative dalam akad jual beli (Al-Khiyarat) seperti Khiyar Almajlis (hak pembatalan di tempat jika terjadi ketidak sesuaian), Khiyar Al’aib (hak pembatalan jika terdapat cacat), Khiyar As-syarath (hak pembatalan jika tidak memenuhi syarat), Khiyar At-Taghrir/Attadlis (hak pembatalan jika terjadi kecurangan), Khiyar Alghubun (hak pembatalan jika terjadi penipuan), Khiyar Tafriq As-Shafqah (hak pembatalan karena salah satu diantara duabelah pihak terputus sebelum atau sesudah transaksi), Khiyar Ar-Rukyah (hak pembatalan adanya kekurangan setelah dilihat) dan Khiyar Fawat Alwashaf (hak pembatalan jika tidak sesuai sifatnya).
c.       Adanya kontrol, sanksi dan aturan hukum yang tegas dan jelas dari pemerintah (lembaga yang berkompeten) untuk menjamin bolehnya berbisnis yang dilakukan transaksinya melalui online bagi masyarakat.
          Jika bisnis lewat online tidak sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan yang telah dijelaskan di atas, maka hukumnya adalah “Haram” tidak diperbolehkan. Kemaslahatan dan perlindungan terhadap umat dalam berbisnis dan usaha harus dalam perlindungan negara atau lembaga yang berkompeten. Agar tidak terjadi hal-hal yang membawa kemudratan, penipuan dan kehancuran bagi masyarakat dan negaranya.

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
            Jual beli adalah kegiatan tukar-menukar harta benda atau sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melaui cara tertentu yang bermanfaat. Para ulama mujtahid sepakat bahwa jual beli dihalalkan, sedangkan riba di haramkan. Karena pada dasarnya kegiatan muamalah itu dasarnya halal hingga ada dalil yang mengharamkannya. Rukun jual beli ada tiga, yaitu:
1.      Pelaku transaksi, yaitu penjual dan pembeli.
2.      Objek transaksi, yaitu harga dan barang.
3.      Akad (Transaksi), yaitu segala tindakan yang dilakukan kedua belah pihak yang menunjukan mereka sedang melakukan transaksi, baik itu tindakan berbentuk kata-kata maupun perbuatan.
Adapun syarat-syarat jual beli adalah:
1.      Saling rela antara kedua belah pihak.
2.      Pelaku akad (Adanya penjual dan pembeli)
3.      Harta yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebelumnya oleh kedua belah pihak. Objek transaksi adalah barang yang di bolehkan agama.
4.      Objek transaksi harus jelas.
5.      Harga harus jelas saat transaksi.

B.      Saran
            Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kemajuan kita bersama. Semoga makalah ini dapat bermanfa’at bagi kita semua.



DAFTAR PUSTAKA

            Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012)
            al-Syathibi, Abu Ishaq,  Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Beirut : Daral-ma’rifah, 1975)
            Muhammad, Syaikh al-‘Allamah, Fiqih Empat Mazhab, Alih Bahasa: ‘Abdullah Zaki Alkaf, (Jeddah: wa an-Nasya wa at-Tawzi’)
            Alsubaily, Yusuf, Fiqh Perbankan Syariah: Pengantar Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Modern, Alih Bahasa: Erwandi Tarmizi, (TTp. T.th.)
            Ghozal, Ziyad, Masyru’ Qonunil buyu’ fid Daultil Islamiyah (‘Aman: Darul Wadhoh, 2010)
            http://www.nizham.com, diakses Senin, 12 Oktober 2015



                [1] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 101
                [2] Ibid.,
                [3] Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Beirut : Daral-ma’rifah, 1975), hal. 56.
                [4] Syaikh al-‘Allamah Muhammad, Fiqih Empat Mazhab, Alih Bahasa: ‘Abdullah Zaki Alkaf, (Jeddah: wa an-Nasya wa at-Tawzi’), hlm. 204.
                [5] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 102.
                [6] Yusuf Alsubaily, Fiqh Perbankan Syariah: Pengantar Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Modern, Alih Bahasa: Erwandi Tarmizi, (TTp. T.th.), hlm. 6.
                [7] Opcit., hlm. 105.
                [8] Ziyad Ghozal, Masyru’ Qonunil buyu’ fid Daultil Islamiyah (‘Aman: Darul Wadhoh, 2010), hlm. 135.
                [9] Dikutip dari http://www.nizham.com, diakses Senin, 12 Oktober 2015
                [10] Syaikh al-‘Allamah Muhammad, Fiqih Empat Mazhab, Alih Bahasa: ‘Abdullah Zaki Alkaf, (Jeddah: wa an-Nasya wa at-Tawzi’), hlm. 231.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar