Hal Menarik Lainnya

Minggu, 27 September 2015

MAKALAH IBADAH UMROH



IBADAH UMROH

Disusun untuk memenuhi tugas mandiri mata kuliah Fiqih Ibadah 2
Dosen pengampu : Dr. Tobibatusa’adah
  
Disusun oleh: 

 Ahmad Muslih1
NPM.141257210
JURUSAN SYARI`AH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JURAI SIWO METRO TAHUN 2015




BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
            Pada dasarnya orang-orang Arab pada zaman jahiliah telah mengenal ibadah haji dan umroh.  Ibadah ini mereka warisi dari nenek moyang terdahulu dengan melakukan perubahan di sana-sini. Akan tetapi, bentuk umum pelaksanaannya masih tetap ada, seperti thawaf,  dan melontar jumrah. Hanya saja pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai lagi dengan syariat yang sebenarnya. Untuk itu, Islam datang dan memperbaiki segi-segi yang salah dan tetap menjalankan apa-apa yang telah sesuai dengan petunjuk syara' (syariat), sebagaimana yang diatur dalam al-Qur'an dan sunnah rasul.
Sebenarnya antara umroh dan haji itu hampir sama, namun ada sedikit hal yang membedakan antara keduanya. Mengapa demikian? oleh karena itu kami akan menjelaskan bagaimana pengertian dari umroh, syarat-syarat, dan rukun-rukun yang berkenaan dengan pelaksanaan ibadah umroh.

B.   Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah pengertian Umroh?
2.    Bagaimanakah dalil tentang disyariatkannya Umroh?
3.    Bagaimanakah hukumnya melaksanakan Umroh?
4.    Apa saja syarat-syarat untuk orang yang melakukan Umroh?
5.    Apa saja rukun-rukun yang harus dilakukan ketika Umroh?

C.   Tujuan
1.    Untuk mengetahui pengertian dari Umroh.
2.    Untuk mengetahui dalil tentang disyariatkannya Umroh.
3.    Untuk mengetahui Bagaimana hukumnya melaksanakan Umroh.
4.    Untuk mengetahui Apa saja syarat-syarat untuk orang yang melakukan Umroh.
5.    Untuk mengetahui Apa saja rukun-rukun yang harus dilakukan ketika Umroh.

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Umroh

            Umroh secara bahasa berasal dari kata i’timar yang berarti ‘ziarah’ atau ‘berkunjung’. Umroh di sini adalah menziarahi Ka’bah, thawaf di sekelilingnya, sa’i antara Shafa dan Marwah, serta bercukur atau bergunting rambut.[1] Atau dengan kata lain datang ke Baitullah untuk melaksanakan umroh dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.[2]
            Dengan demikian, dalam definisi ibadah umroh ada 4 unsur penting. Yaitu berpergian, baitullah, rukun umroh (serangkaian ibadah umroh), dan syarat umroh.

B.   Dalil Disyariatkannya Umroh

            Di dalam Al-Qur’an telah diterangkan mengenai ibadah umroh yaitu pada surat Al-Baqarah ayat 196 yang berbunyi:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّه[3]ِ
Artinya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.”
            Selain dalil yang bersumber dari Al-Qur’an, ada juga dalil dari Al-Hadits yang menerangkan tentang ibadah umroh. Di antara hadits-hadits tersebut adalah:

Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda,
عُمْرَةٌ فِى رَمَضَانَ تَعْدِلُ حِجَّةً (رواه ابن ماجه)[4]
Artinya: “Umrah di bulan Ramadhan sama dengan satu kali haji.”[5]
Dari Abu Hurairah r.a bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda,
العمرة إلى العمرة كفارة لما بينهما والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة (رواه (البخاري
Artinya: “Antara umroh yang satu dan yang selanjutnya itu menjadi pelebur dosa antara kedua umroh tersebut. Sedangkan haji yang mabrur tidak ada ganjarannya yang pantas kecuali surga.”

C.   Hukum Umroh

            Ada dua pendapat hukum mengenai ibadah umroh. Sebagian ulama menyimpulkan hukum mengerjakan umroh adalah fardhu, tetapi sebagian lain mengatakan sunnah mu’akkadah.[6]
            Menurut golongan Syafi’i dan Imam Ahmad, ibadah umroh adalah fardhu. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala pada surat al-Baqarah ayat 196, “Dan sempurnakanlah haji dan umroh karena Allah.” Umroh pada ayat tersebut dirangkaikan kepada haji, sedang ia wajib sehingga umrah menjadi wajib pula.
            Adapun menurut golongan Hanafi dan Imam Malik berpendapat bahwa ibadah umroh itu adalah sunnah. Hal ini berdasar pada sebuah hadits Jabir r.a., “Nabi saw. ditanya mengenai umroh, apakah ia wajib? Sabda beliau, ‘Tidak. Akan tetapi, jika kamu berumroh maka hal itu lebih utama!’ ”
            Pendapat kedua ini lebih kuat. Penulis kitab Fat-hul Allam berkata “Mengenai masalah ini ada beberapa hadits yang tidak dapat dipakai sebagai alasan.” Diriwayatkan pula oleh Tirmidzi dari Syafi’i bahwa ia pernah mengatakan “Tidak ada keterangan yang sahih mengenai umroh. Maka hukumnya adalah sunnah.”

D.   Syarat-syarat Umroh
            Syarat-syarat untuk melakukan umroh pada dasarnya sama dengan ibadah haji. Di antaranya syarat-syarat tersebut adalah:
1.    Beragama Islam
            Beragama islam merupakan syarat mutlak yang pertama dalam kegiatan ibadah umroh. Orang nonmuslim tidak akan sah dalam melaksanakan haji atau umrah. Jika dia berkunjung ke tanah suci bahkan mengikuti ibadah haji atau umrah seperti thawaf dan sa'i maka perjalanan haji atau umrahnya hanya sebatas melancong atau berwisata saja.
2.    Baligh
            Anak kecil tidak diwajibkan berhaji atau pun umroh, baik yang sudah mumayyiz maupun yang belum. Kalau sebelum mumayyiz ia naik haji atau umroh maka sah, tetapi pelaksanaan haji atau umroh yang sebelum mumayyiz itu merupakan sunnah dan kewajiban melaksanakan haji atau pun umroh tidak gugur. Setelah baligh dan bisa atau mampu, ia wajib melaksanakan haji atau pun umroh lagi, menurut kesepakatan ulama mazhab.[7]
3.    Berakal Sehat
            Orang gila sebenarnya tidak mempunyai beban atau bukan seorang mukallaf. Kalau dia naik haji atau umroh dan dapat melaksanakan kewajiban yang dilakukan oleh orang yang berakal, maka haji atau umrohnya itu tidak diberi pahala dari kewajiban ittu, sekalipun pada waktu itu akal sehatnya sedang datang kepadanya. Tapi kalau gilanya itu musiman dan bisa sadar (sembuh) sekitar pelaksanaan haji atau umroh, sampai melaksanakan kewajiban dan syarat-syaratnya dengan sempurna, maka dia wajib melaksanakannya. Tapi kalau diperkirakan waktu sadarnya itu tidak cukup untuk melaksanakan semua kegiatan-kegiatan haji atau umroh, maka kewajiban itu gugur.[8]
4.    Merdeka
            Maksud dari merdeka ini adalah tidak berstatus sebagai budak (hamba sahaya di masa Rasulullah Saw yang di masa modern ini hampir tidak ditemukan di dunia). Istilah merdeka juga bisa diartikan bebas dari tanggungan hutang dan tanggungan nafkah keluarga yang ditinggalkan.


5.    Mampu
            Para ulama mazhab sepakat menetapkan bisa atau mampu itu merupakan syarat kewajiban haji maupun umroh, berdasarkan firman Allah SWT dari surat Ali ‘Imron ayat 97 yang berbunyi:

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Artinya: Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”

E.    Rukun Umroh
            Rukun dalam ibadah umroh di bagi menjadi empat bagian yang mana tidak sah suatu ibadah umroh jika tidak mengerjakan rukun-rukun tersebut, rukun umroh antara lain :
1.    Ihram
            Bagi orang yang hendak beribadah umroh, maka ia wajib melakukan ihram krena hal tersebut bagian dari rukun umroh. Dalam ihram ada tiga hal yang wajib dilakukan yaitu:
a.    Niat
      Tidak ada perbuatan yang dilakukan dengan sadar tanpa adanya niat. Niat sebagai motivasi dari perbuatan, dan niat merupakan hakikat dari perbuatan tersebut. Dengan kata lain jika berihram dalam keadaan lupa atau main-main tanpa niat maka ihramnya batal.
b.    Talbiyah
      Lafadz talbiyah yaitu:
“labbaikallahumma labbaika, labbaikala syarika laka labbaika, innal hamda wan ni`mata laka wal mulka la syarika laka”.

c.    Memakai pakaian ihram
      Para ulama mazhab sepakat bahwa lelaki yang ihram tidak boleh memakai pakaian yang terjahit, dan tidak pula kain sarung, juga tidak boleh memakai baju dan celana, dan tidak boleh pula yang menutupi kepala dan wajahnya.
      Kalau perempuan harus memakai penutup kepalanya, dan membuka wajahnya  kecuali kalau takut dilihat lelaki dengan ragu-ragu. Perempuan tidak boleh memakai sarung tangan, tetapi boleh memakai sutera dan sepatu.
                        Hal-hal yang disunahkan ketika sebelum atau hendak ihram adalah:
a.    Membersihkan badan.
b.    Memotong kuku.
c.    Melakukan shalat ihram.
d.    Melebatkan rambut.
e.    Memakai wangi-wangian.[9]

                        Adapun hal-hal yang dilarang atau tidak boleh dikerjakan ketika ihram di antaranya adalah:

a.    Berhubungan intim/bersetubuh
b.    Memotong kuku
c.    Memotong rambut
d.    Menebang pohon
e.    Memakai pakaian berjahit
f.     Berbuat kefasikan dan bertengkar
g.    Memburu binatang



2.    Thawaf
            Thawaf merupakan salah satu dari rukun umrah yang wajib di laksanakan, adapun mengenai pembagiannya, ulama membagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a.    Thawaf qudum
      Tawaf ini dilakukan oleh orang-orang yang jauh(bukan orang mekkah dan sekitarnya) ketika memasuki mekkah.tawaf ini menyerupai sholat dua rakaat tahiyatul masjid. Tawaf ini hukumnya sunnah, dan yang meninggalkannya tidak dikenakan apa-apa.
b.    Thawaf ifadhah
      Tawaf ini dilakukan oleh orang yang haji (bukan orang yang umrah) setelah melaksanakan manasik di mina, dinamakan tawaf ziarah karena meninggalkan mina dan menziarahi baitullah. Tapi juga dinamakan tawaf ifadhah karenaia telah kembali dari mina ke mekkah.
c.    Thawaf wada’
      Tawaf ini merupakan perbuatan yang terakhir yang dilakukan oleh orang yang haji ketika hendak melakukan perjalanan meninggalkan mekkah.
3.    Sa’i
            Ulama sepakat bahwa sa`i dilakukan setelah thawaf. Orang yang melakukan sa`i sebelum towaf maka ia harus mengulangi lagi (ia harus berthawaf kemudian melakukan sa`i).
            Terdapat hal-hal yang disunnahkan bagi orang yang sedang melakukan sa`i diantaranya :
a.    Disunnahkan berdo`a diatas kedua bukit Safa dan Marwah  sekehendak hatinya, baik masalah agama maupun dalam masalah dunia sambil menghadap ke baitullah.
b.    Melambaikan tangan ke hajar aswad
c.    Minum air zam-zam
d.    Menuangkan sebagian air ke tubuh

     Barang siapa yang tidak mampu melakukan sa`i walau dengan mengendarai kendaraan, maka hendaklah meminta orang untuk mewakilinya, dan hajinya tetap sah. Boleh menoleh ke kanan, ke kiri, ke belakang ketika pergi dan pulang (kembali). Orang yang menambah lebih tujuh kali dengan sengaja, maka sa`i-nya dianggap batal, tetapi tidak batal kalau lupa. Apabila ragu-ragu dalam jumlah maka sa`inya tetap dianggap sah, dan tidak diwajibkan sesuatu apa-apa baginya.
     Kalau ia ragu apakah  ia memulai dari shafa, yang berarti sa`i-nya sah, atau mulai dari yang lainyang menjadikan sa`i-nya batal, maka hal ini perlu diperhatikan: kalau orang yang ragu tersebut dalam hal jumlah dan bilangan, tidak mengetahui berapa kali ia melakukannya maka-sa`inya batal. Tapi kalau ia benar-benar mengetahui berapa kali ia telah berjalan dan hanya ragu darimana ia memulai, maka kalau jumlah yang dilakukannya itu genap apakah dua kali, empat kali, atau enam kali dan ia sedang berada di shafa atau sedang menghadap ke shafa, maka sa`i-nya sahkarena ia mengetahui bahwa ia telah memulai dari shafa.[10]
4.    Tahalul
            Menurut pendapat imamiyah kalau orang yang melakukan umroh tamattu` telah selesai bersa`i, ia harus menggunting rambutnya, namun tidak boleh mencukurnya. Bila ia telah memotongnya, maka apa yang diharamkan baginya telah menjadi halal. Tapi kalau telah mencukurnya, maka ia harus membayar kifarah berupa seekor kambing. Tapi kalau berumroh mufrodah, maka ia boleh memilih antara menggunting atau mencukur, baik ia mengeluarkan kurban atau tidak.
            Tetapi kalau meninggalkan menggunting rambut itu dengan sengaja sedangkan ia bertujuan untuk melakukan haji tamattu` dan berihranm sebelum menggunting rambut, maka umrahnya batal. Ia wajib melakukan haji ifrad. Maksudnya  melakukan amalan-amalan haji, kemudian melakukan umrah mufradah setelah amalan-amalan haji itu. Dan lebih utama adalah mengulangi haji lagi pada tahun yang akan datang.




F.    Waktu Pelaksanaan Umroh
            Jumhur ulama berpendapat bahwa waktu umroh dalam setahun itu adalah sepanjang hari. Jadi, dapat dilakukan pada salah satu di antara hari-hari tersebut.
            Di pihak lain, Abu Hanifah menganggapnya makruh pada lima hari. Hari tersebut adalah hari Arafah, hari Nahar, dan hari-hari Tasyriq yang tiga. Sedangkan, menurut Abu Yusuf makruh melakukannya pada hari Arafah dan tiga hari setelah itu. Mereka semua sepakat boleh melakukannya pada bulan-bulan haji.
            Adapun waktu yang lebih utama mengerjakan umroh adalah pada bulan Ramadhan. Hal ini berdasarkan keterangan hadits dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda,
عُمْرَةٌ فِى رَمَضَانَ تَعْدِلُ حِجَّةً (رواه ابن ماجه)
Artinya: “Umrah di bulan Ramadhan sama dengan satu kali haji.” (H.R Ibnu Majah)[11]


BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
      Dari pembahasan rumusan masalah di atas, maka penulis membuat simpulan sebagai berikut:
1.    Umroh adalah berpergian menuju ke baitullah untuk melaksanakan serangkaian ibadah umroh, yakni tawaf dan sa’i. Atau dengan kata lain datang ke baitullah untuk melaksanakan umroh dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
2.    Dalil tentang disyariatkannya umroh adalah:
“ Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah.”
3.    Hukum mengenai disyariatkannya umroh ada dua pendapat, yaitu ada sebagian ulama yang menghukuminya dengan sunnah mu’akkad dan sebagian ulama yang lain mewajibkannya.
4.    Syarat-syarat umroh di antaranya adalah Islam, baligh, berakal sehat, merdeka, istitha'ah (mampu).
5.    Rukun-rukun umroh di antaranya adalah ihram, tawaf, sa`i, tahallul.

B.   Saran
            Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kemajuan kita bersama. Semoga makalah ini dapat bermanfa’at bagi kita semua.


DAFTAR PUSTAKA
v  Azzam, Abdul Aziz Muhammad & Hawwas, Abdul Wahhab Sayyed. 2010.Fiqh Ibadah. Jakarta: Amzah.
v  Maktabah al-Syamilah. Shohih al-Bukhoriy.
v  Maktabah al-Syamilah. Sunan Ibnu Majjah.
v  Mughniyah, Muhammad Jawwad. 1994. Fiqh Lima Mazhab. Jakarta: Basrie Press.
v  Rachimi, M. Abdurachman. 2012. Segala Hal Tentang Haji dan Umroh. Jakarta: Erlangga.
v  Sabiq, Sayyid. 2008. Juz 1 Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr.


[1] Sayyid Sabiq juz 1, Fiqh al-Sunnah, (Beirut; Dar al-Fikr, 2008), hal. 436.
[2] M. Abdurachman Rachimi, Segala Hal Tentang Haji dan Umroh, (Jakarta; Erlangga, 2012), hal. 26.
[3] Maktabah al-Syamilah, Sunan Ibnu Majjah, hadits no 3106.
[4] Maktabah al-Syamilah, Shohih al-Bukhoriy, hadits no 1683.
[5] Maksudnya, pahala mengerjakannya pada bulan Ramadhan sama dengan pahala mengerjakan haji sebanyak satu kali. Mengerjakan umroh ini tidaklah menggugurkan kewajiban melaksanakan haji fardhu.
[6] Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah. (Jakarta; Amzah, 2010), hal. 604.
[7] Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta; Basrie Press, 1994), hal. 261.
[8] Ibid. Hal. 262
[9] Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta; Basrie Press, 1994), hal. 285.
[10] Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta; Basrie Press, 1994), hal. 322.
[11] Maktabah al-Syamilah, Sunan Ibnu Majjah, hadits no 3106.