IBADAH UMROH
Disusun untuk memenuhi tugas mandiri
mata kuliah Fiqih Ibadah 2
Dosen pengampu : Dr. Tobibatusa’adah
Dosen pengampu : Dr. Tobibatusa’adah
Disusun oleh:
Ahmad Muslih1
NPM.141257210
Ahmad Muslih1
NPM.141257210
JURUSAN SYARI`AH SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JURAI SIWO METRO TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada dasarnya orang-orang Arab pada
zaman jahiliah telah mengenal ibadah haji dan umroh. Ibadah ini mereka warisi dari nenek moyang
terdahulu dengan melakukan perubahan di sana-sini. Akan tetapi, bentuk umum
pelaksanaannya masih tetap ada, seperti thawaf, dan melontar jumrah. Hanya saja pelaksanaannya
banyak yang tidak sesuai lagi dengan syariat yang sebenarnya. Untuk itu, Islam
datang dan memperbaiki segi-segi yang salah dan tetap menjalankan apa-apa yang
telah sesuai dengan petunjuk syara' (syariat), sebagaimana yang diatur dalam
al-Qur'an dan sunnah rasul.
Sebenarnya
antara umroh dan haji itu hampir sama, namun ada sedikit hal yang membedakan
antara keduanya. Mengapa demikian? oleh karena itu kami akan menjelaskan
bagaimana pengertian dari umroh, syarat-syarat, dan rukun-rukun yang berkenaan
dengan pelaksanaan ibadah umroh.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah pengertian
Umroh?
2.
Bagaimanakah dalil
tentang disyariatkannya Umroh?
3.
Bagaimanakah hukumnya
melaksanakan Umroh?
4.
Apa saja syarat-syarat
untuk orang yang melakukan Umroh?
5. Apa saja rukun-rukun yang harus dilakukan ketika Umroh?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui
pengertian dari Umroh.
2.
Untuk mengetahui dalil
tentang disyariatkannya Umroh.
3.
Untuk mengetahui
Bagaimana hukumnya melaksanakan Umroh.
4.
Untuk mengetahui Apa
saja syarat-syarat untuk orang yang melakukan Umroh.
5. Untuk mengetahui Apa saja rukun-rukun yang harus dilakukan ketika Umroh.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Umroh
Umroh
secara bahasa berasal dari kata i’timar yang berarti ‘ziarah’ atau
‘berkunjung’. Umroh di sini adalah menziarahi Ka’bah, thawaf di sekelilingnya, sa’i
antara Shafa dan Marwah, serta bercukur atau bergunting rambut.[1] Atau dengan kata lain datang ke Baitullah untuk melaksanakan umroh
dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.[2]
Dengan
demikian, dalam definisi ibadah umroh ada 4 unsur penting. Yaitu berpergian, baitullah,
rukun umroh (serangkaian ibadah umroh), dan syarat umroh.
B.
Dalil Disyariatkannya Umroh
Di
dalam Al-Qur’an telah diterangkan mengenai ibadah umroh yaitu pada surat
Al-Baqarah ayat 196 yang berbunyi:
Artinya: “Dan sempurnakanlah ibadah haji
dan umrah karena Allah.”
Selain
dalil yang bersumber dari Al-Qur’an, ada juga dalil dari Al-Hadits yang
menerangkan tentang ibadah umroh. Di antara hadits-hadits tersebut adalah:
Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Nabi Muhammad
saw. bersabda,
عُمْرَةٌ
فِى رَمَضَانَ تَعْدِلُ حِجَّةً (رواه ابن ماجه)[4]
Artinya: “Umrah di bulan Ramadhan sama
dengan satu kali haji.”[5]
Dari Abu Hurairah r.a bahwa Nabi Muhammad
saw. bersabda,
العمرة إلى
العمرة كفارة لما بينهما والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة (رواه (البخاري
Artinya: “Antara umroh yang satu dan yang
selanjutnya itu menjadi pelebur dosa antara kedua umroh tersebut. Sedangkan
haji yang mabrur tidak ada ganjarannya yang pantas kecuali surga.”
C.
Hukum Umroh
Ada dua pendapat hukum mengenai ibadah umroh. Sebagian ulama
menyimpulkan hukum mengerjakan umroh adalah fardhu, tetapi sebagian lain
mengatakan sunnah mu’akkadah.[6]
Menurut
golongan Syafi’i dan Imam Ahmad, ibadah umroh adalah fardhu. Hal ini
berdasarkan firman Allah ta’ala pada surat al-Baqarah ayat 196, “Dan
sempurnakanlah haji dan umroh karena Allah.” Umroh pada ayat tersebut
dirangkaikan kepada haji, sedang ia wajib sehingga umrah menjadi wajib pula.
Adapun
menurut golongan Hanafi dan Imam Malik berpendapat bahwa ibadah umroh itu
adalah sunnah. Hal ini berdasar pada sebuah hadits Jabir r.a., “Nabi saw.
ditanya mengenai umroh, apakah ia wajib? Sabda beliau, ‘Tidak. Akan tetapi,
jika kamu berumroh maka hal itu lebih utama!’ ”
Pendapat
kedua ini lebih kuat. Penulis kitab Fat-hul Allam berkata “Mengenai masalah
ini ada beberapa hadits yang tidak dapat dipakai sebagai alasan.” Diriwayatkan
pula oleh Tirmidzi dari Syafi’i bahwa ia pernah mengatakan “Tidak ada
keterangan yang sahih mengenai umroh. Maka hukumnya adalah sunnah.”
D.
Syarat-syarat Umroh
Syarat-syarat untuk melakukan umroh pada dasarnya sama dengan
ibadah haji. Di antaranya syarat-syarat tersebut adalah:
1.
Beragama Islam
Beragama islam
merupakan syarat mutlak yang pertama dalam kegiatan ibadah umroh. Orang
nonmuslim tidak akan sah dalam melaksanakan haji
atau umrah. Jika dia berkunjung ke tanah suci bahkan mengikuti ibadah haji atau
umrah seperti thawaf dan sa'i maka perjalanan haji atau umrahnya hanya sebatas
melancong atau berwisata saja.
2. Baligh
Anak kecil tidak
diwajibkan berhaji atau pun umroh, baik yang sudah mumayyiz maupun yang belum.
Kalau sebelum mumayyiz ia naik haji atau umroh maka sah, tetapi pelaksanaan
haji atau umroh yang sebelum mumayyiz itu merupakan sunnah dan kewajiban
melaksanakan haji atau pun umroh tidak gugur. Setelah baligh dan bisa atau
mampu, ia wajib melaksanakan haji atau pun umroh lagi, menurut kesepakatan
ulama mazhab.[7]
3. Berakal Sehat
Orang gila sebenarnya
tidak mempunyai beban atau bukan seorang mukallaf. Kalau dia naik haji atau
umroh dan dapat melaksanakan kewajiban yang dilakukan oleh orang yang berakal,
maka haji atau umrohnya itu tidak diberi pahala dari kewajiban ittu, sekalipun
pada waktu itu akal sehatnya sedang datang kepadanya. Tapi kalau gilanya itu
musiman dan bisa sadar (sembuh) sekitar pelaksanaan haji atau umroh, sampai
melaksanakan kewajiban dan syarat-syaratnya dengan sempurna, maka dia wajib
melaksanakannya. Tapi kalau diperkirakan waktu sadarnya itu tidak cukup untuk
melaksanakan semua kegiatan-kegiatan haji atau umroh, maka kewajiban itu gugur.[8]
4. Merdeka
Maksud
dari merdeka ini adalah tidak berstatus sebagai budak (hamba sahaya di masa
Rasulullah Saw yang di masa modern ini hampir tidak ditemukan di dunia).
Istilah merdeka juga bisa diartikan bebas dari tanggungan hutang dan tanggungan
nafkah keluarga yang ditinggalkan.
5. Mampu
Para
ulama mazhab sepakat menetapkan bisa atau mampu itu merupakan
syarat kewajiban haji maupun umroh, berdasarkan firman Allah SWT dari surat Ali
‘Imron ayat 97 yang berbunyi:
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَّقَامُ
إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ
الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ
غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya)
maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia;
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam.”
E. Rukun Umroh
Rukun dalam ibadah umroh di bagi menjadi
empat bagian yang mana tidak sah suatu ibadah umroh jika tidak mengerjakan
rukun-rukun tersebut, rukun umroh antara lain :
1. Ihram
Bagi orang yang hendak beribadah
umroh, maka ia wajib melakukan ihram krena hal tersebut bagian dari rukun
umroh. Dalam ihram ada tiga hal yang wajib dilakukan yaitu:
a. Niat
Tidak
ada perbuatan yang dilakukan dengan sadar tanpa adanya niat. Niat sebagai
motivasi dari perbuatan, dan niat merupakan hakikat dari perbuatan tersebut.
Dengan kata lain jika berihram dalam keadaan lupa atau main-main tanpa niat
maka ihramnya batal.
b. Talbiyah
Lafadz
talbiyah yaitu:
“labbaikallahumma labbaika, labbaikala syarika
laka labbaika, innal hamda wan ni`mata laka wal mulka la syarika laka”.
c. Memakai pakaian ihram
Para
ulama mazhab sepakat bahwa lelaki yang ihram tidak boleh memakai pakaian yang
terjahit, dan tidak pula kain sarung, juga tidak boleh memakai baju dan celana,
dan tidak boleh pula yang menutupi kepala dan wajahnya.
Kalau
perempuan harus memakai penutup kepalanya, dan membuka wajahnya kecuali kalau takut dilihat lelaki dengan
ragu-ragu. Perempuan tidak boleh memakai sarung tangan, tetapi boleh memakai sutera
dan sepatu.
Hal-hal yang
disunahkan ketika sebelum atau hendak ihram adalah:
a. Membersihkan badan.
b. Memotong kuku.
c. Melakukan shalat ihram.
d. Melebatkan rambut.
e. Memakai wangi-wangian.[9]
Adapun
hal-hal yang dilarang atau tidak boleh dikerjakan ketika ihram di antaranya
adalah:
a. Berhubungan intim/bersetubuh
b. Memotong kuku
c. Memotong rambut
d. Menebang pohon
e. Memakai pakaian berjahit
f. Berbuat kefasikan dan bertengkar
g. Memburu binatang
2. Thawaf
Thawaf merupakan salah satu dari rukun umrah yang wajib di laksanakan,
adapun mengenai pembagiannya, ulama membagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Thawaf qudum
Tawaf ini dilakukan oleh orang-orang yang
jauh(bukan orang mekkah dan sekitarnya) ketika memasuki mekkah.tawaf ini
menyerupai sholat dua rakaat tahiyatul masjid. Tawaf ini hukumnya sunnah, dan
yang meninggalkannya tidak dikenakan apa-apa.
b. Thawaf ifadhah
Tawaf
ini dilakukan oleh orang yang haji (bukan orang yang umrah) setelah
melaksanakan manasik di mina, dinamakan tawaf ziarah karena meninggalkan mina
dan menziarahi baitullah. Tapi juga dinamakan tawaf ifadhah karenaia telah
kembali dari mina ke mekkah.
c. Thawaf wada’
Tawaf
ini merupakan perbuatan yang terakhir yang dilakukan oleh orang yang haji
ketika hendak melakukan perjalanan meninggalkan mekkah.
3. Sa’i
Ulama sepakat bahwa sa`i dilakukan setelah thawaf. Orang yang melakukan
sa`i sebelum towaf maka ia harus mengulangi lagi (ia harus berthawaf kemudian
melakukan sa`i).
Terdapat hal-hal yang
disunnahkan bagi orang yang sedang melakukan sa`i diantaranya :
a. Disunnahkan berdo`a diatas kedua bukit Safa dan Marwah sekehendak hatinya, baik masalah agama maupun
dalam masalah dunia sambil menghadap ke baitullah.
b. Melambaikan tangan ke hajar aswad
c. Minum air zam-zam
d. Menuangkan sebagian air ke tubuh
Barang
siapa yang tidak mampu melakukan sa`i walau dengan mengendarai kendaraan, maka
hendaklah meminta orang untuk mewakilinya, dan hajinya tetap sah. Boleh menoleh
ke kanan, ke kiri, ke belakang ketika pergi dan pulang (kembali). Orang yang
menambah lebih tujuh kali dengan sengaja, maka sa`i-nya dianggap batal, tetapi
tidak batal kalau lupa. Apabila ragu-ragu dalam jumlah maka sa`inya tetap
dianggap sah, dan tidak diwajibkan sesuatu apa-apa baginya.
Kalau
ia ragu apakah ia memulai dari shafa,
yang berarti sa`i-nya sah, atau mulai dari yang lainyang menjadikan sa`i-nya
batal, maka hal ini perlu diperhatikan: kalau orang yang ragu tersebut dalam
hal jumlah dan bilangan, tidak mengetahui berapa kali ia melakukannya
maka-sa`inya batal. Tapi kalau ia benar-benar mengetahui berapa kali ia telah
berjalan dan hanya ragu darimana ia memulai, maka kalau jumlah yang
dilakukannya itu genap apakah dua kali, empat kali, atau enam kali dan ia
sedang berada di shafa atau sedang menghadap ke shafa, maka sa`i-nya sahkarena
ia mengetahui bahwa ia telah memulai dari shafa.[10]
4. Tahalul
Menurut pendapat imamiyah
kalau orang yang melakukan umroh tamattu` telah selesai bersa`i, ia harus
menggunting rambutnya, namun tidak boleh mencukurnya. Bila ia telah
memotongnya, maka apa yang diharamkan baginya telah menjadi halal. Tapi kalau
telah mencukurnya, maka ia harus membayar kifarah berupa seekor kambing. Tapi
kalau berumroh mufrodah, maka ia boleh memilih antara menggunting atau
mencukur, baik ia mengeluarkan kurban atau tidak.
Tetapi kalau meninggalkan
menggunting rambut itu dengan sengaja sedangkan ia bertujuan untuk melakukan
haji tamattu` dan berihranm sebelum menggunting rambut, maka umrahnya batal. Ia
wajib melakukan haji ifrad. Maksudnya
melakukan amalan-amalan haji, kemudian melakukan umrah mufradah setelah
amalan-amalan haji itu. Dan lebih utama adalah mengulangi haji lagi pada tahun
yang akan datang.
F. Waktu Pelaksanaan Umroh
Jumhur ulama berpendapat
bahwa waktu umroh dalam setahun itu adalah sepanjang hari. Jadi, dapat
dilakukan pada salah satu di antara hari-hari tersebut.
Di pihak lain, Abu Hanifah
menganggapnya makruh pada lima hari. Hari tersebut adalah hari Arafah, hari
Nahar, dan hari-hari Tasyriq yang tiga. Sedangkan, menurut Abu Yusuf makruh
melakukannya pada hari Arafah dan tiga hari setelah itu. Mereka semua sepakat
boleh melakukannya pada bulan-bulan haji.
Adapun waktu yang lebih
utama mengerjakan umroh adalah pada bulan Ramadhan. Hal ini berdasarkan
keterangan hadits dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda,
عُمْرَةٌ فِى
رَمَضَانَ تَعْدِلُ حِجَّةً (رواه ابن ماجه)
Artinya: “Umrah di bulan Ramadhan sama dengan satu kali haji.” (H.R
Ibnu Majah)[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan rumusan masalah di atas, maka penulis membuat simpulan
sebagai berikut:
1. Umroh adalah berpergian menuju ke baitullah untuk melaksanakan
serangkaian ibadah umroh, yakni tawaf dan sa’i. Atau dengan kata
lain datang ke baitullah untuk melaksanakan umroh dengan syarat-syarat
yang telah ditentukan.
2. Dalil tentang disyariatkannya umroh adalah:
“ Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah
karena Allah.”
3. Hukum mengenai disyariatkannya umroh ada dua pendapat, yaitu ada sebagian
ulama yang menghukuminya dengan sunnah mu’akkad dan sebagian ulama yang
lain mewajibkannya.
4. Syarat-syarat umroh di antaranya adalah Islam, baligh, berakal sehat,
merdeka, istitha'ah (mampu).
5. Rukun-rukun umroh di antaranya adalah ihram, tawaf, sa`i, tahallul.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak
kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kemajuan kita bersama. Semoga
makalah ini dapat bermanfa’at bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
v Azzam, Abdul Aziz Muhammad & Hawwas, Abdul Wahhab Sayyed. 2010.Fiqh
Ibadah. Jakarta: Amzah.
v Maktabah al-Syamilah. Shohih al-Bukhoriy.
v Maktabah al-Syamilah. Sunan Ibnu Majjah.
v Mughniyah, Muhammad Jawwad. 1994. Fiqh Lima Mazhab. Jakarta: Basrie
Press.
v Rachimi, M. Abdurachman. 2012. Segala Hal Tentang Haji dan Umroh. Jakarta:
Erlangga.
v Sabiq, Sayyid. 2008. Juz 1 Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar
al-Fikr.
[1]
Sayyid Sabiq juz 1, Fiqh al-Sunnah, (Beirut; Dar al-Fikr, 2008), hal.
436.
[2]
M. Abdurachman Rachimi, Segala Hal Tentang Haji dan Umroh, (Jakarta; Erlangga,
2012), hal. 26.
[3] Maktabah
al-Syamilah, Sunan Ibnu Majjah, hadits no 3106.
[4] Maktabah
al-Syamilah, Shohih al-Bukhoriy, hadits no 1683.
[5]
Maksudnya, pahala mengerjakannya pada bulan Ramadhan sama dengan pahala
mengerjakan haji sebanyak satu kali. Mengerjakan umroh ini tidaklah
menggugurkan kewajiban melaksanakan haji fardhu.
[6] Abdul
Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah. (Jakarta;
Amzah, 2010), hal. 604.
[7] Muhammad
Jawwad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta; Basrie Press, 1994), hal.
261.
[8] Ibid.
Hal. 262
[9] Muhammad
Jawwad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta; Basrie Press, 1994), hal.
285.
[10]
Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta; Basrie Press,
1994), hal. 322.
[11]
Maktabah al-Syamilah, Sunan Ibnu Majjah, hadits no 3106.